OJK Kejar Target Inklusi Keuangan 90 Persen pada 2024
Untuk mengejar target inklusi keuangan sebesar 90 persen pada 2024, OJK mengajak pelaku industri jasa keuangan untuk bersama-sama berusaha mencapainya. Adapun tingkat literasi keuangan pada 2019 sebesar 76,19 persen.
Oleh
Benediktus Krisna Yogatama
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Otoritas Jasa Keuangan atau OJK mengajak industri jasa keuangan untuk bersama mengejar target inklusi keuangan sebesar 90 persen pada 2024. Peningkatan inklusi sekaligus literasi keuangan masyarakat menjadi tanggung jawab seluruh pemangku kepentingan termasuk industri jasa keuangan.
Dengan semakin besarnya persentase inklusi keuangan menandakan semakin luas dan semakin banyak masyarakat yang mengakses layanan jasa keuangan yang berujung pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Hal itu mengemuka dalam webinar Bulan Inklusi Keuangan (BIK) 2021, Selasa (28/9/2021). Sebagai pembicara adalah Anggota Dewan Komisioner Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK Tirta Segara. Sementara sebagai penanggap, antara lain Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno, Ketua Komite Umum Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia (APEI) Heru Handayanto, dan perwakilan Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas) Dana Afriza.
“Memperluas inklusi layanan jasa keuangan itu menjadi tugas dan tanggung jawab semua pemangku kepentingan. Maka, OJK mengajak industri jasa keuangan terlibat mengedukasi literasi nasabah dan memberikan produk-produk untuk menjangkau masyarakat lebih luas,” kata Tirta.
Ia menjelaskan, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 114 Tahun 2020 tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusif, target inklusi keuangan pada 2024 adalah 90 persen. Artinya, pada tahun itu, diharapkan sebesar 90 persen penduduk Indonesia sudah mengakses layanan jasa keuangan.
Mengutip Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2019 yang dirilis OJK pada Desember 2020, indeks inklusi keuangan sebesar 76,19 persen. Angka tersebut meningkat dibandingkan 2016 yang sebesar 67,8 persen.
Untuk mencapai target itu, OJK setiap tahunnya menetapkan bulan Oktober sebagai bulan inklusi keuangan. Ia mengharapkan pelaku industri jasa keuangan bisa terlibat dengan membuat program edukasi dan mengeluarkan produk yang bisa memperluas inklusi keuangan.
Merespon hal itu, Suwandi menjelaskan, kegiatan untuk edukasi dan perluasan inklusi keuangan sudah kerap dan akan terus terus dilakukan perusahaan pembiayaan. Perusahaan pembiayaan yang menyasar pasar yang besar (mass market) menjadi bentuk perluasan inklusi keuangan yang terus dilakukan industri tersebut.
“Kami membantu memberikan akses pendanaan untuk kendaraan roda dua untuk umum, mungkin untuk menjadi pengemudi ojek daring atau kurir e-dagang,” kata Suwandi.
Literasi dan edukasi
Sementara itu, menurut Heru, perluasan inklusi keuangan itu sangat terkait dengan tingkat literasi keuangan calon nasabah atau masyarakat. Apabila tingkat literasinya rendah, maka tingkat inklusinya pun masih rendah.
Pasar modal menjadi sektor jasa keuangan yang angka literasi dan inklusinya terendah kedua setelah lembaga keuangan mikro. Pada SNLIK 2019, angka literasi pasar modal baru mencapai 4,92 persen dan angka inkluasi keuangannya 1,55 persen.
Meski memperoleh tambahan banyak investor ritel domestik baru selama masa pandemi Covid-19, Heru menambahkan, pihaknya masih perlu untuk terus-menerus mengedukasi masyarakat tentang cara kerja dan risiko berinvestasi di pasar modal.
“Industri kami ini literasi dan inklusinya kecil sekali. Tetapi, keluhan fraud dari masyarakat tinggi sekali. Maka, kami sangat mendukung perlunya edukasi dan peningkatan literasi keuangan masyarakat secara terus menerus,” ucap Heru.