Problem jagung membelenggu peternak dan industri perunggasan nasional lima tahun terakhir. Akurasi data produksi dan neraca jagung mendesak diperbaiki agar potensi lonjakan harga bisa diantisipasi lebih dini.
Oleh
Mukhamad Kurniawan
·4 menit baca
Kisah Suroto, peternak ayam petelur asal Blitar, Jawa Timur, sejatinya hanya secuil ”puncak gunung es” baru industri perunggasan nasional. Problem yang disuarakan Suroto, yakni soal tingginya harga jagung, sudah berulang kali terjadi lima tahun terakhir. Sayangnya, sampai sekarang belum ada jaminan problem teratasi dan cerita serupa tidak akan terulang lagi.
Suroto digelandang polisi saat membentangkan poster di tengah jalan ketika Presiden Joko Widodo lewat di Blitar, Jawa Timur, 7 September 2021. ”Pak Jokowi Bantu Peternak Beli Jagung dengan Harga Wajar. Telur Murah”. Demikian isi poster yang dibentangkan Suroto yang mewakili Perhimpunan Insan Perunggasan dan Peternak Ayam Petelur.
Dia berharap Presiden mendengar dan melihat langsung kondisi peternak yang tengah kesulitan mendapatkan jagung dengan harga terjangkau. Sepekan kemudian, yakni Rabu (15/9/2021), Suroto diundang ke Istana Negara, Jakarta, untuk berdialog langsung dengan Presiden Joko Widodo. Hasilnya, Presiden menginstruksikan Menteri Pertanian dan Menteri Perdagangan untuk segera mencari solusi terbaik bagi sektor perunggasan nasional.
Sejak itu, harga jagung berangsur turun. Harga jagung di tingkat peternak dilaporkan turun dari kisaran Rp 6.000-6.300 per kilogram pada pertengahan September menjadi Rp 5.300 per kg pada pekan ketiga September 2021. Penurunan harga itu sedikit mengobati peternak. Namun, apakah penurunan harga itu sudah cukup? Tentu belum. Sebab, risiko serupa masih rentan terjadi, terutama karena ketiadaan data atau neraca jagung yang akurat dan terkini.
Sebelum aksi Suroto, para peternak yang tergabung dalam Paguyuban Peternak Rakyat Nusantara menggugat pemerintah ke Pengadilan Tata Usaha Negara, Juli 2021. Mereka menilai, pemerintah gagal menstabilkan harga ayam hidup di tingkat produsen sesuai dengan regulasi. Mereka juga menuntut ganti rugi Rp 5,4 triliun atas kerugian yang diderita peternak rakyat. Sebab, harga jual ayam hidup berulang anjlok, sementara harga sarana produksi cenderung tinggi, seperti pakan, obat, bibit, dan jagung.
Neraca jagung
Dinamika lima tahun terakhir bisa menjadi cermin yang baik untuk melihat problem jagung dan industri perunggasan nasional. Tingginya harga jagung berulang dikeluhkan peternak unggas. Oleh karena menjadi bahan baku yang dominan dalam struktur produksi, kenaikan harga jagung sangat berdampak ke industri pakan dan peternakan, khususnya peternak unggas rakyat yang bermodal cekak.
Jika dirunut sampai tahun 2015, masalah berakar pada ketidakakuratan data produksi. Pada 2016, pemerintah memutuskan untuk mengurangi impor jagung, lalu menghentikannya mulai tahun 2017 karena yakin produksi jagung di dalam negeri cukup. Namun, situasi harga di lapangan justru berkebalikan. Bukannya turun, harga justru berulang kali naik meski produksinya diklaim surplus.
Situasi awal tahun ini bisa jadi contoh asimetri data. Kementerian Pertanian memperkirakan produksi jagung dengan kadar air 15 persen mencapai 11,73 juta ton sepanjang Januari-Mei 2021. Dengan total kebutuhan untuk industri pakan, konsumsi langsung, dan benih mencapai 9,44 juta ton, semestinya ada surplus jagung sebanyak 2,29 juta ton di lima bulan pertama tahun 2021.
Akan tetapi, peternak masih saja mengeluhkan tingginya harga jagung di lapangan tinggi serta melebihi harga acuan sesuai Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 7 Tahun 2020, yakni Rp 4.500 per kg dengan kadar air 15 persen. Selain tidak sinkron dengan data produksi, fluktuasi harga jagung menyulitkan peternak dan pelaku industri pakan untuk merencanakan strategi bisnis.
Dalam sejumlah kesempatan, tuntutan yang disampaikan peternak sebenarnya sederhana, yakni sediakan jagung dalam jumlah dan harga yang terjangkau. Mereka menilai data produksi yang menjadi dasar bagi pemerintah untuk menetapkan kebijakan mesti akurat. Keputusan untuk menghentikan impor, misalnya, mesti ditopang produksi yang kokoh di dalam negeri.
Data surplus yang semu terbukti berulang mengacaukan industri pakan dan perunggasan nasional. Alih-alih berpacu untuk mengefisienkan produksi, para peternak harus berulang mengorbankan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk mencari jagung atau memprotes pemerintah.
Oleh karena itu, rencana pemerintah mengevaluasi dan menyusun ulang metode penghitungan data produksi jagung mesti segera diselesaikan dan diumumkan kepada publik. Perubahan metode penghitungan produksi bisa jadi contoh yang baik. Dengan demikian, peternak bisa lepas dari belenggu problem jagung.