Naikkan Produktivitas Tanaman Kopi, Sambung Pucuk Dijalankan di Sumsel
Produksi kopi di Sumatera Selatan dinilai masih belum optimal, yakni di bawah 1 ton per hektar per tahun. Mekanisme sambung pucuk diharapkan menjadi solusi untuk meningkatkan produksi.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Produksi kopi di Sumatera Selatan dinilai masih belum optimal, yakni di bawah 1 ton per hektar per tahun. Padahal, produksi kopi di negara produsen kopi lain sudah mencapai 3 ton per hektar per tahun. Program sambung pucuk menjadi andalan untuk meningkatkan produksi dan diharapkan dapat mendongkrak produksi petani dalam tiga tahun ke depan.
Ketua Dewan Kopi Sumatera Selatan Zain Ismed, Senin (27/9/2021), di Palembang, menuturkan, selama ini produksi kopi di Sumsel sekitar 800-900 kilogram per hektar per tahun. Jumlah tersebut masih sangat jauh dibandingkan produksi negara lain, seperti Vietnam, yang kini telah mencapai 3 ton per tahun.
Padahal, kalau dilihat sejarahnya, pengetahuan petani Vietnam dalam mengolah kopi didapatkan dari Indonesia pada tahun 1970.
Menurut Zain, banyak hal yang membuat produksi petani kopi di Sumsel tidak optimal, mulai dari cara penanaman kopi yang masih konvensional hingga usia kebun yang rata-rata sudah tua. ”Bahkan, banyak tanaman kopi di Sumsel yang sudah ada sejak masa kolonial Belanda,” katanya.
Jika tidak diantisipasi, ujar Zain, bukan tidak mungkin kopi Sumsel akan kalah ”pamor” dengan negara lain, seperti Vietnam atau Kolombia yang memang sejak awal sudah fokus pada pasar kopi rosbusta.
Selain pengolahan biji kopi yang masih konvensional, petani Sumsel juga terkendala akses pasar. Selama ini, kebanyakan petani menjual biji kopi ke Lampung atau ke Sumatera Utara karena mereka yang memiliki akses pasar untuk ekspor. Sementara Sumsel tidak memiliki akses ke sana. ”Bahkan, organisasi ekspor kopi di Sumsel sudah tidak ada lagi,” kata dia.
Untuk itu, ujar Zain, pemerintah harus serius dalam membina petani sehingga produksi kopi di Sumsel dapat ditingkatkan termasuk membuka peluang akses pasar ekspor. Keunggulan kopi di Sumsel bisa menjadi daya tarik untuk menembus pasar ekspor. ”Tinggal bagaimana cara kita untuk memanfaatkan peluang di tengah ketatnya persaingan pasar,” ujar Zain.
Pegiat kopi Asep Somanhudi (29) menilai sangat sulit untuk mengubah pola pikir petani dalam mengolah biji kopi utamanya robusta. ”Petani menganggap cara pengolahan kopi yang mereka terapkan sudah benar,” ucapnya.
Hal ini dia rasakan ketika bermitra petani kopi di kawasan Semendo, Kabupaten Muara Enim. Para petani masih terbiasa memetik biji kopi asalan dibanding petik merah. ”Selain lebih mudah dijual, mereka sudah memiliki pasar tersendiri, yakni para eksportir kopi yang memang menerima petik asalan dan kemudian disortir,” katanya.
Hal itu berbeda dibandingkan petani kopi arabika. Mereka akan lebih terbuka ketika menerima pengetahuan baru karena menanam arabika menjadi budaya baru di Sumsel.
Muhammad Surandi (21), pegiat kopi yang bermitra dengan petani kopi di Ogan Komering Ulu Selatan, juga mengalami hal demikian. Padahal, potensi kopi Sumsel sangat besar.
”Cita rasa kopi Sumsel cukup digemari di kalangan pasar domestik,” katanya. Itu terlihat dari pelanggannya yang sudah merambah ke beberapa kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Balikpapan, dan Banjarmasin.
Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Dinas Perkebunan Sumatera Selatan Rudi Alpian menuturkan, pemerintah sudah membuat program sambung pucuk (stek) di beberapa daerah sejak tiga tahun terakhir. Setidaknya 2 juta batang tanaman sudah mendapatkan sambung pucuk di beberapa daerah utamanya di Pagaralam.
Dalam penerapannya, ujar Rudi, pemerintah menggunakan varian kopi pasemah 1, 2, 3, 4 yang memang cocok dengan kondisi tanah di Pagaralam. Dengan cara ini diharapan produksi kopi Sumsel dapat meningkat hingga 5 persen. Jika berhasil, varian ini akan dikembangkan ke daerah sentra produksi lain di Sumsel, seperti Muara Enim, Empat Lawang, Lahat, dan Ogan Komering Ulu Selatan.
Dengan cara ini diharapan produksi kopi Sumsel dapat meningkat hingga 5 persen. (Rudi Alpian)
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, produksi kopi di Indonesia tahun 2020 mencapai 745.269 ton. Dari jumlah tersebut, Sumsel berkontribusi sekitar 22 persen, yakni mencapai 191.081 ton.
Capaian itu membuat Sumsel menjadi produsen kopi terbesar di Indonesia. Sebanyak 95 persen di antaranya merupakan jenis kopi robusta.
Hanya saja, jika dilihat dari rata-rata produksi per hektar lahan, Sumsel masih di bawah produksi Jambi dan Sumatera Utara. Rata-rata produksi kopi di Sumsel mencapai 903 kg per hektar per tahun.
Sementara rata-rata produksi kopi di Jambi mencapai 989 kg per hektar per tahun. Semenetara Sumatera Utara berada di posisi pertama dengan rata-rata produksi kopi mencapai 1,13 ton per hektar per tahun.
Terkait peluang ekspor, Rudi berharap rencana pembangunan pelabuhan laut dalam Tanjung Carat dapat membuka peluang ekspor kopi Sumsel ke kancah dunia. ”Jika pembangunan pelabuhan bisa terealisasi, mudah-mudahan kopi Sumsel bisa mendunia,” kata dia.
Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru berharap agar semua pihak mempromosikan kopi lokal asal Sumsel. Apalagi, kualitas kopi lokal tidak kalah baiknya dengan kopi luar negeri. ”Saya yakin kopi Sumsel kita bisa bersaing di dunia internasional,” kata dia.