Kopi Pagaralam dari Sumatera Selatan menyabet penghargaan bergengsi di Paris, Perancis. Kekuatan rasa pahit yang kuat dan aroma rempah memukau para penilai.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG,KOMPAS — Kopi Pagaralam dari Sumatera Selatan menyabet medali bergengsi di kancah internasional. Kekuatan rasa pahit yang kuat dan aroma rempah memukau para penilai di Paris, Perancis. Gelar ini diharapkan dapat meningkatkan citra Kopi Pagaralam dan berdampak pada petani yang kian sejahtera.
Ketua Dewan Kopi Sumatera Selatan Zain Ismed di Palembang, Kamis (19/11/2020), mengatakan, Kopi Pagaralam menjadi satu dari dari enam varian kopi di Indonesia yang menyabet gelar dari Badan Penilaian Produk Pertanian (Agence pour la Valorisation des Produits Agricoles /AVPA) Paris, Perancis. Kopi Pagaralam memperoleh Medali Gourmet untuk kategori puissant amer (rasa pahit yang kuat)
Pada kompetisi AVPA itu, ada 15 negara produsen kopi di dunia yang ikut serta dengan membawa 130 jenis kopi. Kopi Pagaralam ini sendiri dibawa oleh Komunitas Kopi Tanah Air Kita yang sudah membina petani kopi di Pagar Alam sejak 2019 lalu. Dari jumlah jenis kopi yang diuji itu, hanya 74 yang mendapat penghargaan.
Selain Kopi Pagaralam, lima jenis kopi lain asal Indonesia yang mendapat penghargaan dari AVPA adalah Kopi Kintamani, Bali, tiga jenis kopi dari Jawa Barat, dan satu jenis kopi dari Pasuruan, Jawa Timur. ”Kopi Pagaralam adalah satu-satunya jenis kopi yang menyabet gelar dari Sumatera,” kata Zain.
Zain mengatakan, Kopi Pagaralam mendapatkan penghargaan karena cita rasa pahit robusta yang sangat kuat (powerful bitter). Belum lagi rasa rempah kayu manis dan cengkeh yang mengikutinya. ”Dengan penghargaan ini, citra Kopi Pagaralam pun terangkat,” ucapnya.
Pascapanen
Zain memaparkan, untuk dapat mengikuti kompetisi ini, petani diajarkan mengelola kopi pascapanen secara baik, mulai dari pemetikan hingga menjadi bubuk kopi. Biji kopi yang dipetik harus petik merah, penjemuran dilakukan selama 30 hari dengan tidak menyentuh tanah, proses pemanggangan pun harus teliti.
Pengelolaan kopi yang baik ini tentu akan berdampak pada kenaikan harga di tingkat petani. ”Jika petik biji kopi asalan, petani hanya memperoleh Rp 18.000 per kilogram, sedangkan jika petik merah, petani bisa memperoleh harga lebih dari Rp 34.000 per kg,” ujar Zain.
Penghargaan itu juga diharapkan menjadi tolak ukur dan percontohan bagi petani kopi di Sumsel untuk mengelola pascapanen secara lebih baik. ”Dengan begitu, kopi asal Sumsel pun akan diakui tidak hanya di Indonesia, tetapi sampai ke kancah dunia,” ungkap Zain.
Kopi yang dibawa ke Paris itu merupakan hasil pegelolaan 206 petani kopi di dua desa, yakni Gunung Agung Ilir dan Talang Darat, Kecamatan Dempo Utara, Pagar Alam. Para petani di bawah pembinaan Komunitas Desa Wisata Sekolah Kopi (Dewi Sekopi) Basemah.
Sekretaris Dewi Sekopi Basemah Kristian Tri Purnomo mengungkapkan, tidak mudah untuk mengubah pola pikir petani yang sudah terbiasa mengolah kopi dengan skema petik asalan. Petik asalan adalah istilah untuk proses pascapanen ketika biji kopi masih belum matang. Itu ditandai dengan biji kopi yang berwarna hijau atau kuning. Proses penjemuran pun hanya dilakukan selama tiga hari di atas aspal dan dibiarkan dilindas oleh kendaraan yang melintas. ”Kebiasaan ini sudah mendarah daging sejak dulu,” kata Kristian yang juga petani kopi.
Proses penjemuran pun hanya dilakukan selama tiga hari di atas aspal dan dibiarkan dilindas oleh kendaraan yang melintas.
Selain sudah membudaya, pilihan untuk petik asalan adalah petani terbentur kebutuhan. ”Mereka butuh uang cepat sehingga petik asalan menjadi pilihan,” katanya. Adapun jumlah petani yang ikut serta dalam komunitas itu hanya sebagian kecil dari keseluruhan petani kopi di desa itu yang berjumlah 15.000 petani.
Harapannya, jika petani lain melihat keberhasilan itu, mereka pun akan meninggalkan kebiasaan lama itu. ”Jika semua petani kopi di Pagar Alam sudah menyadari betapa pentingnya pengelolaan pascapanen, mereka tentu akan lebih sejahtera,” ujar Kristian.
Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru mengapresiasi presetasi tersebut. Menurut dia, ini merupakan kerja kreatif masyarakat Pagar Alam. ”Mereka meyadari kopi bisa menjadi tumpuan ekonomi masyarakat setempat,” ucapnya.
Dengan area perkebunan kopi seluas 230.000 hektar, Sumsel menjadi provinsi penghasil kopi robusta terbesar di Indonesia, bahkan nomor tiga di dunia. Dengan fakta tersebut, Herman berharap agar pemerintah pusat, terutama Kementerian Perhubungan, turut membantu membuat pelabuhan laut dalam. ”Tentu provinsi tidak bisa bekerja sendiri,” katanya.
Jika hal itu terwujud, komoditas unggalan di Sumsel dapat segera merambah ke pasar ekspor dengan lebih masif. ”Tidak hanya memperkuat branding, tetapi juga akan membuat pelaku usaha lebih bersemangat,” katanya.