Ketika Bisnis Sampingan Ada dalam Genggaman
Era digital terasa datang lebih cepat, tak terbendung ”ulah” Covid-19. Begitu luasnya pemanfaatan digital, seakan berdagang pun kini sudah ada dalam genggaman. UMKM tak boleh terlambat memanfaatkan ruang digital ini.

Sebuah produk sedang dikemas oleh pemilik toko daring Loegwshop untuk dikirim ke konsumen di sekitaran Serpong, Banten, Kamis (16/9/2021).
Hanya dari sebuah ruang garasi, orderan dari berbagai wilayah dan kota kini dapat terlayani. Silih berganti, jasa pengantar barang berteriak dari depan rumah: ”Pick up…!”
Seakan terbiasa, barang diambil dari dalam kotak kecil yang tersedia di sudut garasi. Bisnis tak lagi wajib membutuhkan etalase karena semua dikendalikan dalam genggaman gawai, seperti telepon pintar. Sewa ruang kios, apalagi menempati pusat perbelanjaan, yang beberapa waktu ini terpaksa tutup demi mencegah paparan Covid-19, tak lagi diperlukan.
Erwin (40-an), karyawan bank swasta, baru saja menuntaskan pekerjaan utama dari rumahnya di kawasan Gading Serpong, Tangerang, Banten, awal September lalu. Sementara istrinya tengah membungkus rapi produk cemilan impor pesanan pelanggan. Tak berapa lama, tukang jasa antar datang dan mengambil barang dagangan itu.
Erwin mengungkapkan, ”Semua sudah ada dalam genggaman. Tinggal kita mau atau tidak memanfaatkan teknologi digital ini. Lokapasar sudah ada, enggak perlu sewa toko. Paling tinggal mengemas, bisa pakai kardus bekas dan bubble warp.”
Pemilik toko Loegwshop ini menyebut, bisnis sampingan itu digarap istrinya hanya dengan mengandalkan lokapasar. Bahkan, kini anak pertamanya ikut belajar berdagang dan memiliki toko digital sendiri melalui lokapasar. Diam-diam, lumayan juga omzetnya untuk level anak sekolahan.
Untuk mendongkrak penjualan, memang ada biaya promosi yang perlu sedikit disisihkan dari keuntungan. Ruang promo disediakan oleh lokapasar. Terbukti, orderan selalu saja masuk setiap harinya, bahkan boleh dibilang meningkat. Tinggal lebih serius lagi, penjualan berpotensi melejit.
Sewa ruang kios, apalagi menempati pusat perbelanjaan, yang beberapa waktu terpaksa tutup demi mencegah paparan Covid-19, tak lagi diperlukan.
Tak hanya toko, rumah produksi pun tidak harus dimiliki. Erwin memulai dari produk madu khusus penyakit jantung. Ini pun dijual karena dia sendiri juga mengonsumsi madu ini pascapemasangan empat ring di dalam tubuhnya.
Bukan berarti proses pengiriman selalu sukses. Pengalaman madu pecah di tangan konsumen pun pernah dialami. Dengan pelayanan penggantian, kini konsumennya di Cirebon, Jawa Barat, menjadi pelanggan tetapnya, minimal dua botol per bulan.

Sejumlah produk dagangan sedang dipersiapkan Martha Indah Wahyuni, pemilik toko daring Misjastip Official, untuk dikemas di rumahnya di Depok, Sabtu (18/9/2021).
Sambil menunjukkan beberapa stok dagangan lainnya, Erwin mengaku terinspirasi oleh rekan kantornya yang pada masa pandemi memutuskan keluar dari pekerjaannya. Tak terbayangkan, gaji lebih dari Rp 65 juta per bulan ditinggalkannya untuk beralih ke model bisnis perdagangan daring.
”Omzetnya mencapai Rp 300 juta per bulan. Dia hanya dibantu beberapa karyawan,” ujar Erwin.
Marta Indah Wahyuni, pegawai swasta bidang alat kesehatan, memandang digitalisasi sangat membuka lebar potensi untuk berkembang. Tidak dapat memproduksi sendiri, bukan berarti tidak bisa mengambil keuntungan.
Sebulan memasuki pandemi Covid-19, Martha yang melewati jeda menganggur, sebelum akhirnya bisa bekerja kembali, harus memutar otak mencari penghasilan. Sebelumnya, dia iseng membuka jasa titip atau dikenal jastip pembelian barang. Tanya sana-sini, bahkan sibuk menelusuri berbagai aplikasi lokapasar.
”Jangan sampai zonk segala yang akan kita mulai dari bisnis daring,” kata Martha, yang kini getol berjualan di Tokopedia.
Sewaktu mulai berjualan di lokapasar, promosi pun hanya dilakukan melalui aplikasi-aplikasi personal, seperti Whatsapp, Facebook, Instagram, dan Tiktok. Keberanian membayar fasilitas iklan di lokapasar baru dilakukan setelah lalu lintas orderannya semakin jelas. Yang terpenting, mulai saja lebih dahulu.
Menurut Martha, pemasaran digital tak harus memproduksi barang sendiri. Pengalaman menunjukkan, sistem lokapasar membuka peluang untuk membantu UMKM sebagai produsen.
Menurut Martha, pemasaran digital tak harus memproduksi barang sendiri. Pengalaman menunjukkan, sistem lokapasar membuka peluang untuk membantu UMKM sebagai produsen. Artinya, sejumlah barang dagangan diambil lebih dahulu sebagai stok dari produsen. Pertimbangannya, jarak yang mungkin cukup jauh antara rumah produksi dengan lokasi pemasaran, seperti Jakarta. Kemudian, setelah barang laku terjual, barulah dibayarkan dalam waktu yang sudah disepakati.
”Kerja sama ini dasarnya saling percaya, tetapi tidak harus juga barang diperoleh dari UMKM. Sering kali, saya malah mendapatkan barang dari distributor. Yang terpenting, kita mesti pintar-pintar mencari barang yang sedang ngehits dan dibutuhkan konsumen supaya bisa cepat penjualannya,” tutur pemilik akun belanja daring Misjastip Official ini.

Sistem lainnya adalah menawarkan dahulu barangnya melalui lokapasar. Begitu ada pemesanan, barulah barang itu diambil untuk dikemas sesuai standar pengiriman agar kualitas barang yang dikirim tetap baik di tangan konsumen.
Pilihan sistem penjualan daring lainnya adalah pembelian ”putus”. Barang bisa dibeli dari UMKM secara tunai, kemudian ditawarkan melalui lokapasar. Masker kain, misalnya, sempat booming. Bosan dengan desain masker biasa, bisa saja dipilih desain yang kira-kira bisa menyasar komunitas tertentu, seperti pencinta hewan.
Untuk mengantisipasi pemesan, tentu bukan hanya kuantitas yang disiapkan, melainkan juga aneka desain yang diminati konsumen. Karena itu, pembelian ”putus” harus dilakukan dengan konsekuensi stok barang memakan ruangan.
”Saya juga sempat blusukan ke daerah-daerah di Jawa Barat untuk dapat barang tertentu yang diproduksi UMKM. Sistemnya beli putus, tetapi masih ada sedikit kelonggaran waktu pembayaran. Itu tergantung kesepakatan dan rasa saling percaya saja. UMKM terbantu, kita pun bisa mendapatkan harga yang menguntungkan,” kata Martha.
Terbuka lebar
Jalan yang terbuka lebar itu acap kali ditunjukkan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Hampir di setiap kesempatan, aneka produk UMKM khas Jawa Tengah tak sungkan-sungkan diperkenalkan. Dari cemilan hingga produk kerajinan diperkenalkan ke publik.
Tentunya, kata Ganjar, produk-produk itu telah dikurasi dengan melibatkan banyak orang muda kreatif, terutama kreatif di bidang pemasaran digital. Berbagai instansi pemerintah dan swasta pun dilibatkan untuk membuat produk UMKM naik kelas.
Belum lama ini, Ganjar dalam sebuah webinar langsung memperkenalkan sebuah arloji dari bahan kayu. Ada pula tas wanita. Tanpa sungkan, Ganjar menunjukkan prosesnya. Selama ini, model tas serupa yang secara keseluruhan terbuat dari bahan kulit tidak banyak dilirik. Lewat masukan berbagai kalangan muda kreatif, tas itu dipadukan dengan bahan rajutan ditambah motif bunga-bunga. Alhasil, kata Ganjar, tas ini mulai dilirik di pasaran.
”Dari hasil riset Provinsi Jawa Tengah, problem tertinggi yang dihadapi UMKM adalah marketing. Mereka jualannya masih konvensional, belum (seluruhnya) kenal sistem digital,” kata Ganjar.
Bentuk dari adaptasi salah satunya memahami dan menyesuaikan produk atau usaha dengan perubahan tren pasar. Kemudian, transformasi digital menjadi kunci memulihkan dan membangkitkan sektor UMKM.
Untuk berjualan lebih banyak lagi, aplikasi-aplikasi bermunculan dan anak-anak muda mulai terlibat, bahkan dalam skala kecil. Aplikasi Tukangsayur.co, misalnya, untuk membantu tukang sayur kelas mikro. Ada aplikasi Becer atau belanja dalam bahasa Banyumas dan Tumbasin atau belanjakan.

Pedagang mixer di Pasar Loak Gembong Tebasan, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (7/1/2021). Pedagang yang biasanya menjadi rujukan warga yang ingin mendapatkan barang murah kini terdampak akibat lesunya daya beli karena pandemi. Pasar loak tersebut menyediakan sejumlah kebutuhan, mulai dari buku hingga alat-alat elektronik.
Ganjar menilai, ikhtiar Provinsi Jateng mendorong UMKM naik kelas melalui pemasaran digital ini cukup lumayan untuk go digital karena pengguna internet sudah mencapai 72,56 persen. Provinsi Jateng mendorong pemasaran dengan aplikasi Blangkon (belanja daring) ternyata tidak gampang karena legalitas dan administrasinya amburadul.
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki menuturkan, adaptasi dan transformasi menjadi kata kunci untuk bisa bertahan, bahkan berkembang di masa pandemi. Bentuk dari adaptasi salah satunya memahami dan menyesuaikan produk atau usaha dengan perubahan tren pasar. Kemudian, transformasi digital menjadi kunci memulihkan dan membangkitkan sektor UMKM.
Kemenkop dan UKM acap kali mengutip data dari iDEA bahwa sebanyak 15,2 juta atau baru 23,9 persen UMKM Indonesia yang terhubung dengan pasar digital. Transaksi e-dagang meningkat selama pandemi sebanyak 54 persen (lebih dari 3 juta transaksi per hari). Pendapatan ekonomi digital mencapai 44 miliar dollar AS atau setara Rp 640 triliun meski berada dalam situasi pandemi. Dan, potensi ekonomi digital Indonesia pada 2025 diperkirakan mencapai senilai 124 juta dollar AS atau kurang lebih sebesar Rp 1.700 triliun.
”Tantangan transformasi digital yang masih perlu dihadapi meliputi bagaimana literasi digital pelaku UMKM? Yang tak kalah pentingnya, bagaimana kapasitas dan kualitas produksi serta akses pasar?” ujar Teten dalam webinar ”UMKM Sebagai Tulang Punggung Ekonomi” di Jakarta, Senin (6/9/2021).
Bagaimanapun, UMKM membutuhkan partner strategis dalam mendorong produk-produknya untuk go nasional maupun go internasional. Mereka membutuhkan mahasiswa atau lulusan perguruan tinggi untuk bisa menjadi partner UMKM sebagai reseller atau drop shipper melalui platform digital.
Terlebih, pemerintah menargetkan sebanyak 30 juta UMKM dapat masuk ekosistem digital pada 2024. Waktu tinggal tersisa 3 tahun, target tersebut secara bertahap hanya dapat dicapai sebanyak 6 juta UMKM per tahun. Sementara ruang digital itu terbukti sangat luas. Tidak hanya UMKM yang memproduksi barang, kekuatan digital juga sangat terbuka bagi siapa pun, bahkan tanpa harus melakukan kegiatan produksi. Tantangan yang tak mudah!
Bukan hanya UMKM sebagai produsen yang harus melek digital karena kini digitalisasi juga dikuasai oleh mereka yang nonprodusen alias pemburu margin e-dagang. Era digital sangat mahaterbuka untuk dimanfaatkan semua kalangan, baik UMKM maupun pemburu keuntungan.