Pemerintah akan terus mengejar obligor/debitor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) guna menagih hak negara. Sebanyak 24 obligor/debitor telah dipanggil, tetapi tidak semuanya hadir dan mengakui utangnya.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menyatakan bakal terus mengejar hak negara atas dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang nilainya saat ini mencapai Rp 110,45 triliun. Pemerintah tidak akan membiarkan ada obligor dan debitor yang luput dari pengembalian dana BLBI.
Dalam konferensi pers yang berlangsung Selasa (21/9/2021), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, Satuan Tugas (Satgas) Penagihan Hak Tagih Negara Dana BLBI telah memanggil 24 obligor atau debitor pengemplang dana bail out pada 1997-1999.
Jumlah itu separuh dari total 24 obligor/debitor dengan nilai utang mencapai Rp 110,45 triliun. Nilai ini terus berubah karena ada bunga yang akan diterapkan. ”Tim akan terus melakukan tindakan-tindakan sesuai dengan landasan hukum yang ada untuk mengembalikan hak negara,” kata Sri Mulyani.
Idealnya, obligor ataupun debitor memenuhi panggilan Satgas BLBI dan mengakui punya utang atau kewajiban kepada negara, kemudian menyusun rencana penyelesaian utang. Namun, ada pula debitor/obligor yang hadir atau diwakili oleh kuasa hukum mengakui memiliki utang dan kewajiban negara, tetapi menyampaikan rencana penyelesaian utang yang dianggap pemerintah tidak realistis sehingga rencana tersebut ditolak.
Selain itu, ada juga debitor/obligor yang ketika dipanggil Satgas BLBI hadir, tetapi tidak mengaku punya utang kepada negara. Ada juga debitor/obligor yang tidak hadir, tetapi menyampaikan surat janji penyelesaian. ”Tapi, di antara semuanya, masih ada pengemplang dana yang tidak menghadiri pemanggilan sama sekali,” ujarnya.
Di antara semua obligor/debitor dana BLBI yang berada dalam pantauan pemerintah, ada pengemplang dana yang tidak menghadiri pemanggilan sama sekali.
Sejumlah dana piutang yang telah diterima negara berasal dari salah satu obligor BLBI, yakni atas nama Kaharudin Ongko, dengan total dana yang disita Rp 110,24 miliar. Kaharudin merupakan salah satu obligor BLBI yang merupakan eks pemegang saham dan Wakil Presiden Komisaris PT Bank Umum Nasional (BUN).
”Hasil sitaan ini sudah masuk ke kas negara sejak kemarin sore. Kami dari Satgas akan terus melakukan pemanggilan kepada obligor/debitor terkait untuk segera menyelesaikan utangnya,” ujar Sri Mulyani.
Akan tetapi, pembayaran utang yang dilakukan Kaharudin jauh dari ekspektasi, yakni Rp 8 triliun, sehingga pemerintah mengeluarkan surat paksa dan pencegahan yang bersangkutan pergi ke luar negeri.
Dalam pengumuman yang ditayangkan di media massa, Ketua Satgas BLBI Rionald Silaban memanggil Kaharudin pada Selasa (7/9/2021) di Gedung Syafrudin Prawiranegara Lantai 4 Utara, Kementerian Keuangan RI.
Agenda pertemuan itu adalah penyelesaian hak tagih negara atas dana BLBI setidaknya Rp 8,2 triliun. Rinciannya, Rp 7,82 triliun dalam rangka Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) Bank Umum Nasional dan Rp 359 miliar dalam rangka PKPS Bank Arya Panduarta.
Selain Kaharudin Ongko, nama-nama besar telah dipanggil satu per satu oleh Satgas BLBI, antara lain putra bungsu Presiden ke-2 Indonesia Soeharto, Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto, serta pemilik perusahaan produsen ban, PT Gajah Tunggal, Sjamsul Nursalim.
Dihubungi secara terpisah, ekonom dari Center of Reform on Economics Indonesia (CORE), Yusuf Rendy Manilet, mengatakan, pemerintah terlihat optimistis dengan serius dalam mengejar para debitor melalui pembentukan Satgas BLBI.
Menurut dia, tahapan penarikan utang yang jelas terlihat oleh publik adalah pengumuman pemerintah untuk memanggil obligor/debitor untuk pemeriksaan awal. ”Pemerintah juga sudah bergerak untuk menandai aset-aset para debitor. Arti dari semua ini, ada perkembangan (penanganan kasusnya) sehingga masyarakat umum bisa ikut mengawasi,” kata Yusuf.
Jika debitor dan obligor kooperatif, hal itu diharapkan jadi pintu masuk bagi Satgas BLBI untuk mengurangi pokok dan bunga utang yang harus ditanggung pemerintah selama ini.
Cara lain, menurut dia, adalah dengan mendorong kepastian hukum dalam pengusutan kasus BLBI, seperti aturan pemeriksaan korporasi. ”Harapannya dapat mengurangi pokok dan bunga utang BLBI sehingga (pemerintah) bisa mendorong ruang belanja kebijakan fiskal lebih luas untuk pos yang sifatnya lebih produktif,” kata Yusuf.