Perusahaan batubara kecil dan menengah didorong membuat konsorsium atau berkerja sama dengan perusahaan besar yang ada di wilayahnya untuk mengembangkan produk turunan batubara.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral terus mendorong perusahaan batubara di Indonesia melaksanakan program hilirisasi batubara agar penggunaan komoditas ini bisa berkelanjutan. Sejumlah insentif disiapkan. Beberapa produk hilirisasi batubara terus dikaji, seperti dimethyl ether, metanol, dan pupuk organik.
Hal ini disampaikan Direktur Pembinaan Pengusahaan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Sujatmiko di Palembang, Sumetara Selatan, Selasa (21/8/2021).
Dia menerangkan, saat ini ada dua perusahaan batubara yang sedang merancang program hilirisasi batubara, yakni PT Bukit Asam (PTBA) dan PT Kaltim Prima Coal. PTBA yang bekerja sama dengan Pertamina dan perusahaan dari Amerika Serikat, yakni Air Products and Chemicals, tengah mengembangkan teknologi gastifikasi batubara dalam bentuk dimethyl ether (DME).
”DME ini bisa mengurangi penggunaan LPG (liquefied petroleum gas) yang sebagian besar masih impor,” kata Sujatmiko.
Berdasarkan kalkulasi, jika program hilirisasi ini terwujud, dari pasokan batubara sebanyak 6 juta ton per tahun bisa menghasilkan 1,4 juta ton DME. Dengan begitu, bisa menghemat cadangan devisa hingga Rp 9,7 triliun dan menghemat neraca perdagangan hingga Rp 5,5 triliun per tahun.
Hingga saat ini, lanjut Sujatmiko, progres pelaksanaannya sudah dalam tahap finalisasi perjanjian. PTBA menyediakan batubara, sedangkan Air Products and Chemicals menyediakan teknologi gasifikasi batubaranya. Hal yang masih dibahas adalah terkait bagaimana penyimpanan karbon dioksida sebagai hasil dari proses gasifikasi tersebut. ”Diharapkan program hilirasi di dua perusahaan ini bisa terwujud pada 2024,” kata Sujatmiko.
Sementara itu, PT Kaltim Prima Coal yang juga bekerja sama dengan Air Products and Chemicals tengah mengembangkan produk turunan batubara berupa metanol yang bisa digunakan sebagai bahan bakar industri petrokimia, bahan bakar kapal, dan sebagai penyokong bahan bakar hijau B30 dari kelapa sawit.
Untuk pembuatan metanol, ujar Sujatmiko, digunakan sekitar 6 juta ton batubara yang bisa menghasilkan 1,8 juta ton metanol setiap tahunnya. Program ini juga diharapkan dapat teralisasi pada 2024.
Kedua program hilirisasi ini sudah menjadi prioritas pemerintah. Pembuatan DME masuk dalam proyek strategis nasional, sedangkan produksi metanol masuk dalam program kawasan ekonomi khusus.
Selain itu, beberapa industri batubara di Sumsel dan Lampung juga sedang mengkaji pengembangan batubara ke dalam bentuk pupuk organik cair. ”Kami terus berkomunikasi agar rencana tersebut dapat terwujud.
Sujatmiko menyarankan agar perusahaan batubara kecil dan menengah bisa membuat konsorsium atau bekerja sama dengan perusahaan besar yang ada di wilayahnya untuk mengembangkan produk turunan batubara.
Dia berharap agar semua perusahaan batubara di Indonesia mulai merancang program hilirisasi karena dalam beberapa tahun ke depan pemakaian batubara untuk bahan bakar PLTU mungkin akan dikurangi. Hal itu dilakukan karena adanya komitmen sejumlah bangsa didunia untuk mengurangi emisi gas buang akibat batubara, termasuk di antaranya Indonesia.
Hal itu dilakukan karena adanya komitmen sejumlah bangsa didunia untuk mengurangi emisi gas buang akibat batubara, termasuk di antaranya Indonesia.
Apalagi insentif yang akan berikan cukup besar, mulai dari keringanan pajak berupa 0 persen tarif royalti hingga perpanjangan izin usaha pertambangan (IUP) sampai masa usia pabrik berakhir. Hal ini juga tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara yang merupakan turunan dari Undang-Undang Minerba Nomor 3 Tahun 2020.
Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sumatera Selatan Hendriansyah menuturkan, potensi batubara di Sumsel sangatlah besar. Berdasarkan data dari Kementerian ESDM, dari total sumber daya batubara nasional 149,01 miliar ton, Sumsel berkontribusi sekitar 43 miliar ton. Adapun dari cadangan batubara nasional yang mencapai 37,60 miliar ton, Sumsel berkontribusi 9,3 miliar ton.
Kekayaan ini harus terus dikelola dan dikembangkan dengan baik, termasuk memberikan nilai tambah dengan menghasilkan produk turunan yang lebih ramah lingkungan. Pembuatan pupuk cair juga menjadi solusi terbaik, apalagi saat ini kawasan pertanian di Sumsel terus dikembangkan dengan penerapan program lumbung pangan (food estate).
Hendriansyah optimistis hilirisasi batubara dapat terlaksana lantaran ada beberapa perusahaan yang sudah menerapkannya dan sejumlah negara telah berhasil menjalaninya. ”Tidak ada salahnya kita mengadopsi teknologi tersebut,” kata Hendriansyah.
Asisten II Pemprov Sumsel Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan Eko Retnaningsih menuturkan, peranan komoditas batubara bagi Sumatera Selatan cukup besar. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Sumsel pada triwulan II-2021 mencapai 5,71 persen dibanding periode yang sama tahun lalu dan meningkat 4,3 persen dibanding triwulan I-2021.
Peningkatan ini disebabkan membaiknya pertumbuhan lapangan usaha di beberapa sektor, yakni usaha pertambangan dan penggalian (1,68 persen), perdagangan (1,26 persen), serta pertanian (0,61 persen). Oleh karena itu, ujar Eko, pengembangan usaha batubara harus terus dilakukan agar pertumbuhan ekonomi di Sumsel bisa terus menggeliat.