Implementasi fasilitas pusat data nasional diharapkan bisa mengefisienkan anggaran belanja server tiap instansi pemerintahan mulai dari tingkat kementerian/lembaga hingga pemerintah daerah.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Belanja pusat data dan server di instansi pemerintahan kementerian/lembaga akan mulai dipangkas. Hal ini sejalan dengan proses pengembangan fasilitas pusat data nasional.
Kebijakan pemerintah untuk memiliki fasilitas pusat data nasional tidak terlepas dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Sesuai dengan PP tersebut, data strategis terkait pelayanan publik dikelola oleh negara.
Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), dalam sistem pemerintahan berbasis elektronik (SPBE) saat ini terdapat 27.400 aplikasi dan database, jutaan link interoperabilitas, 2.700 pusat data dan server, serta ada lebih dari 300.000 koneksi internet.
Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kemkominfo Semuel Abrijani Pangerapan saat menghadiri diskusi daring ”Data Center Development Trends and Opportunities in Indonesia”, Selasa (21/9/2021) di Jakarta, menyebut, hasil penilaian Kemkominfo tahun 2018 terhadap 2.700 fasilitas pusat data dan server instansi pemerintahan baik di pusat maupun daerah menunjukkan kebanyakan dari fasilitas tersebut ternyata hanya berwujud ruang server. Hanya sedikit yang benar-benar bisa dikatakan sebagai fasilitas pusat data. Salah satu di antaranya adalah fasilitas pusat data milik Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi yang dinilai mumpuni.
Pengembangan fasilitas pusat data nasional akan berada di beberapa lokasi. Salah satu fasilitas pusat data nasional di Jakarta sedang dalam proses pembangunan. Fasilitas pusat data nasional berisi infrastruktur SPBE terintegrasi, jaringan intra sistem pemerintahan berbasis elektronik, dan sistem komunikasi pemerintahan yang terkoordinasi.
”Pembelian server (jaringan komputer yang memiliki ukuran sangat besar dengan beberapa komponen pendukung prosesor dan RAM/memori volatil yang berkapasitas besar) mulai tahun ini ditiadakan. Akan tetapi, ini baru mulai dari instansi pemerintahan kementerian/lembaga, belum sampai ke pemerintahan daerah,” ujar Semuel.
Menurut dia, hal itu disebabkan belanja instansi pemerintahan kementerian/lembaga memakai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sedangkan belanja pemerintah daerah menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Peniadaan pembelian server pusat data juga akan diikuti dengan dikeluarkannya revisi Peraturan Menkominfo Nomor 10 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pendaftaran Sistem Elektronik Instansi Penyelenggaraan Negara. Semuel menyebut target revisi selesai tahun ini.
Semuel menambahkan, efisiensi anggaran negara bisa dilakukan apabila fasilitas pusat data nasional dan integrasi satu data dijalankan secara optimal. Menurut hitungan pemerintah, penghematan anggaran bisa mencapai Rp 20 triliun.
Chairman Indonesia Cyber Security Forum (ICSF) Ardi Sutedja, saat dihubungi terpisah, berpendapat, apabila kebijakan satu data nasional disertai fasilitas pusat data terpusat bisa dijalankan serius, tentu akan menguntungkan masyarakat. Pengelolaan data layanan masyarakat oleh instansi pemerintah, seperti kementerian/lembaga, menjadi lebih integratif.
Namun, saat bersamaan, pemerintah harus bisa memastikan penegakan hukum apabila terjadi penyalahgunaan.
Menurut Ardi, setelah otonomi daerah diberlakukan hingga sekarang, masih banyak instansi pemerintahan di pusat ataupun daerah mengedepankan ego sektoral untuk pengembangan fasilitas, sistem pusat data, dan pengolahan data.
Pemerintah harus bisa memastikan penegakan hukum bila terjadi penyalahgunaan data.
”Ketika pemerintah sudah berkomitmen kebijakan satu data dan pusat data nasional harus jalan, pemerintah semestinya perlu menyadari apakah desain arsitektur fasilitas pusat data sudah mengacu ke standar terkini. Misalnya, pasokan energi ke fasilitas pusat data mesti ramah lingkungan,” ujar dia.
Hal penting lainnya yang seharusnya diperhatikan pemerintah ialah menyangkut infrastruktur jaringan akses telekomunikasi ke fasilitas pusat data nasional. Pelaku industri telekomunikasi nasional perlu dilibatkan dalam pembangunan fasilitas itu, selain pelaku pusat data.
”Dampak akhir keseriusan implementasi satu data serta pusat data nasional memang akan mengefisienkan anggaran negara,” imbuh Ardi.
Pelaksana Tugas Organisasi Riset Pengkajian dan Penerapan Teknologi di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Hammam Riza menceritakan, fasilitas pusat data Balai Jaringan Informasi dan Komunikasi yang dikelola Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi/BPPT (kini melebur ke BRIN) telah tersertifikasi Penyelenggara Sertifikasi Elektronik Kemkominfo. Fasilitas pusat data ini bisa dipakai menggerakkan sekitar 41 aplikasi layanan publik secara terintegrasi. Sebagai contoh, seleksi daring tenaga humas pemerintah dan seleksi calon pegawai negeri sipil nasional.
Presiden Joko Widodo telah mengamanatkan percepatan transformasi digital untuk layanan publik pemerintahan. Percepatan ini salah satunya ditandai dengan percepatan integrasi pusat data nasional. Menurut Hammam, fasilitas pusat data Balai Jaringan Informasi dan Komunikasi juga akan terus ditingkatkan kualitasnya sampai menjadi pusat data tier tiga.
Fasilitas pusat data tier tiga berarti memiliki tingkat uptime (hitungan waktu sistem harus daring) 99,982 persen atau dalam setahun waktu downtime (hitungan waktu sistem mati) maksimal 1,6 jam. Syarat lainnya ialah punya lebih dari satu sumber daya listrik dan infrastruktur jaringan telekomunikasi.