Demi Target Emisi Nol, Kebijakan di Indonesia Dinilai Belum Progresif
Upaya merealisasikan komitmen ”net zero emission” menghadapi berbagai tantangan, mulai dari regulasi, perencanaan pembangunan, hingga akses pendanaan. Langkah Indonesia untuk mengejar target dinilai belum progresif.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komitmen Indonesia mencapai net zero emission atau emisi nolpada tahun 2060 memerlukan penyelarasan regulasi secara progresif di antara lintas kementerian/lembaga. Selain itu, agenda pembangunan ekonomi semestinya sudah memasukkan risiko perubahan iklim.
Pendiri dan Chairman Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) Dino Patti Djalal menyampaikan pandangan itu saat menghadiri Konferensi Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2021 di Jakarta, Senin (20/9/2021). Target Perjanjian Paris, yakni menahan kenaikan rata-rata suhu bumi tidak melewati ambang batas 1,5 derajat celsius tahun 2050, mesti dihormati. Target itu telah memperhitungkan dampak bisnis, politik, lingkungan, dan pertumbuhan ekonomi.
Indonesia akan menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi G-20 dan Presidensi G-20. Kredibilitas Indonesia diuji dalam mengejar target pengurangan emisi gas rumah kaca. ”Banyak negara lain sudah memasang target net zero emission lebih ambisius dibandingkan Indonesia,” ujarnya.
Selain menyelaraskan regulasi dan memasukkan risiko perubahan iklim ke dalam agenda pembangunan ekonomi butuh lebih progresif, Dino menyebut masih ada tantangan lain menuju net zero emission. Salah satunya menyangkut investasi dari sisi pemerintah yang diperkirakan mencapai 100 miliar dollar AS. Pemerintah membutuhkan dukungan swasta.
BloombergNEF, Bloomberg Philanthropies, dan Institute for Essential Services Reform (IESR) melalui laporan Scaling Up Solar in Indonesia: Reform and Opportunity (2021) menyebutkan, program surya nasional dengan target 18 gigawatt (GW) pemanfaatan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dapat membantu Indonesia menarik investasi hingga 14,4 miliar dollar AS dan mencapai tujuannya memenuhi target 23 persen bauran energi terbarukan pada tahun 2025.
Biaya listrik PLTS saat ini berkisar 65-137 dollar AS per MWh, tetapi diperkirakan turun menjadi 27-48 dollar AS per MWh pada 2030 karena didorong oleh biaya peralatan dan pengembangan yang lebih rendah serta diikuti ketentuan pembiayaan yang lebih menarik.
”Untuk memenuhi komitmen net zero emission, komposisi pemakaian energi terbarukan bisa berubah dinamis. Sebab, komitmen itu harus dicapai dari berbagai sisi, seperti dari pembangkit listrik, industri, dan transportasi. Hal yang Indonesia butuhkan sekarang adalah pembaruan serta integrasi data kebutuhan pasokan dan permintaan energi hijau,” kata Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa.
Setelah itu, lanjut Fabby, Indonesia memerlukan kebijakan dan regulasi yang menarik investasi hijau. Indonesia bisa memanfaatkan momentum redupnya investasi batubara.
Executive Secretary United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) Patricia Espinosa juga memiliki pandangan senada. Pemerintah perlu menjadi pemimpin jalan menuju komitmen net zero emission, mulai dari perencanaan, realisasi, hingga promosi investasi infrastruktur energi yang dibutuhkan. Hal fundamental lainnya yang tidak boleh dilewatkan adalah perumusan kebijakan fiskal yang mendukung.
”Pemerintah harus sadar bahwa menuju net zero emission berarti perubahan sistemik di seluruh pelayanan publik dan industri. Seluruh kementerian/lembaga harus satu suara dan konsisten melaksanakan kebijakan ataupun regulasi yang mendukung tercapainya target net zero emission,” tuturnya.
Sebagai target transformasi jangka panjang, pemerintah perlu juga mengidentifikasi potensi masalah yang muncul. Misalnya, kesenjangan teknologi dan akses pendanaan.
Patricia menyampaikan, pada akhir tahun 2020, UNFCCC menerima 28 rencana pembangunan rendah emisi karbon dari sejumlah negara. Rencana tersebut didominasi oleh pembangunan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan.
Dia menilai, Indonesia sebagai salah satu pelaku industri yang punya peran signifikan di sektor energi, mulai dari batubara hingga minyak bumi. Indonesia juga dianggap telah menunjukkan kemajuan dalam adopsi energi terbarukan. ”Transformasi ini (net zero emission) memang sangat berat, tetapi harus dilakukan agar kita semua bisa bertahan dari dampak perubahan iklim,” ujar Patricia.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Kementerian ESDM) Dadan Kusdiana menyebutkan, dari sisi pembangkit listrik, pihaknya telah memutuskan akan memensiunkan pembangkit listrik tenaga uap yang diambil dari batubara. Investasi baru di bidang ini tidak diterima, hanya ada investasi yang telanjur masuk. Setelah tahun 2050, Indonesia dipastikan tidak ada lagi pembangkit listrik tenaga uap dari batubara.
Dadan mengakui belum bisa memastikan proyeksi emisi karbon secara nasional. Dia hanya mengantongi perhitungan proyeksi emisi dari sisi pembangkit listrik. Emisi sektor energi pada 2021 sebesar 519 juta ton CO2-e, kemudian mendekati tahun 2030 terdapat emisi sebesar 681 juta ton CO2-e dan akan ada penurunan tajam menjadi 645 juta ton CO2-e.
”Puncak emisi terjadi sekitar tahun 2040, lalu berkurang signifikan setelah tahun 2049, mengikuti selesainya kontrak pembangkit listrik energi fosil. Pada tahun 2060, emisi pada pembangkit listrik di Indonesia diharapkan sudah nol,” kata Dadan.