Sistem Informasi Pasar Kerja Akan Dibuat Satu Atap
Pemerintah berencana memadukan dan mengintegrasikan sistem informasi pasar kerja di bawah satu atap dengan merangkul beragam ”job portal” dan layanan pelatihan swasta ke dalam ekosistem Sistem Informasi Ketenagakerjaan.
Oleh
Agnes Theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sistem informasi pasar kerja yang terpadu menjadi bagian penting dari upaya membangun tenaga kerja yang terampil dan kompetitif di era digital. Pemerintah akan mengintegrasikan berbagai layanan informasi pasar kerja di bawah satu payung Sistem Informasi Ketenagakerjaan atau Sisnaker yang efektif berlaku mulai Februari 2022.
Hasil studi Bank Dunia dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada tahun 2020 menunjukkan, sistem informasi pasar kerja (SIPK) atau Labor Market Information System (LMIS) Indonesia berada di tingkat dasar menuju menengah dibandingkan negara lain.
Ketidaksesuaian (mismatch) antara suplai dan permintaan di pasar kerja kerap ditemukan lantaran layanan pusat informasi pasar kerja yang terbatas dan terserak di berbagai portal. Akibat basis data lemah, berbagai program pendidikan vokasi dan pelatihan pun tidak menjawab kebutuhan dunia usaha dan industri.
Sistem informasi yang terpadu adalah salah satu infrastruktur dasar untuk menyelenggarakan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) atau tunjangan pengangguran bagi pekerja korban pemutusan hubungan kerja (PHK). Manfaat program itu akan mulai berlaku Februari 2022.
Keberadaan sistem informasi yang mutakhir diperlukan karena selain bantuan uang tunai, JKP juga menyediakan manfaat akses informasi pasar kerja, konseling, dan pelatihan bagi pekerja korban PHK agar siap untuk segera terjun kembali ke pasar kerja.
Saat ini, Kementerian Ketenagakerjaan sedang menata ulang sistem informasi pasar kerja secara digital melalui Sistem Informasi Ketenagakerjaan (Sisnaker). Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi, Selasa (14/9/2021), mengatakan, pemerintah sedang mengumpulkan data yang relevan untuk mengembangkan SIPK yang komprehensif.
”Dari sisi pengembangan perangkat lunak (software)-nya sudah lewat Sisnaker. Sekarang trial anderror sedang kami lakukan sampai akhir tahun ini, agar langsung siap berjalan tahun depan,” katanya.
Merangkul Kartu Prakerja
Rencananya, sistem informasi pasar kerja akan dibuat terpadu dan terintegrasi di bawah satu atap. Pemerintah akan merangkul beragam job portal dan layanan pelatihan swasta ke dalam ekosistem Sisnaker, termasuk ”platform” Kartu Prakerja milik pemerintah yang saat ini dikelola Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
”Harapannya, semua platform, baik milik swasta atau milik pemerintah seperti Kartu Prakerja, akan dikonsolidasikan, dibuat satu pintu di bawah Sisnaker,” kata Anwar.
Seperti diketahui, baru-baru ini, Kartu Prakerja memperluas ekosistemnya melalui kerja sama dengan dua situs job portal untuk memberikan fitur baru berupa rekomendasi lowongan kerja di dasbor masing-masing peserta yang muncul usai peserta menuntaskan sesi pelatihan. Fitur informasi lowongan dan tren pekerjaan secara digital itu diperlukan untuk mempermudah peserta dalam mencari kerja (Kompas, 13/9/2021).
Terkait integrasi dengan ekosistem Kartu Prakerja yang sudah duluan diterapkan selama pandemi, Anwar mengatakan, hal itu masih dibahas lintas sektor dan kementerian. Regulasi untuk menata kedua program lintas sektor dan kementerian itu juga sedang dibahas.
Ada dua opsi yang akan ditempuh, yaitu menjadikan keduanya program yang saling melengkapi tapi terpisah (program komplementer) atau menggabungkan pelaksanaan dan ekosistem Kartu Prakerja di bawah payung Sisnaker atau Kemenaker. Menurut Anwar, perkembangan sejauh ini condong ke opsi kedua.
Seluruh proses penataan ulang itu diharapkan selesai Februari 2022 mendatang sesuai target peluncuran program JKP. ”Ini akan menjadi pilihan kebijakan yang bukan political driven, tetapi mission driven, sesuai peluang dan kebutuhan pasar tenaga kerja ke depan. Diskusi kami (dengan Kemenko Perekonomian) cukup konstruktif, kami tidak ingin saling menegasikan,” ujar Anwar.
Penataan kelembagaan
Menurut Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar, untuk menghadapi tantangan pasar kerja yang kompetitif serta angka pengangguran yang kian meninggi akibat Covid-19, memang sudah saatnya pemerintah membenahi sistem informasi pasar kerja yang komprehensif dan terpadu.
”Kalau semua terintegrasi, kita akan punya satu database besar yang lengkap dan terpadu, yang bisa menjembatani antara kebutuhan pekerja dan kebutuhan pelaku usaha. Database ini bahkan bisa memandu kebijakan pemerintah dalam menangkap tren dan membuat kebijakan pengembangan angkatan kerja yang tepat,” kata Timboel.
Akan tetapi, ia menilai, perlu ada penataan ulang kelembagaan yang memisahkan antara kementerian sebagai regulator dengan pembentukan badan khusus nasional sebagai operator yang akan mengelola berbagai program pengembangan SDM berorientasi pasar kerja tersebut.
”Kementerian tidak usah melakukan dan mengelola program-program pelatihan lagi, cukup sebagai regulator. Harus ada pembagian yang tegas agar masing-masing fungsi dijalankan dengan maksimal,” katanya.
Laporan Pathways to Middle-Class Jobs in Indonesia oleh Bank Dunia pada Juni 2021 menekankan krusialnya peran layanan pusat informasi pasar kerja untuk mendorong penciptaan pekerjaan produktif yang sejalan dengan keterampilan yang dimiliki pekerja dan selaras dengan kebutuhan pemberi kerja.
Berbagai portal lowongan kerja yang ada saat ini dinilai masih terbatas untuk pasar kerja Indonesia yang dinamis dan luas. Sementara pekerjaan berkualitas dengan standar kelas menengah umumnya baru dapat diakses lewat metode pencarian kerja yang proaktif dan pusat informasi pasar kerja yang memadai.
Survei Angkatan Kerja Nasional 2018 dan penelitian Bank Dunia menunjukkan, sekitar 80 persen tenaga kerja di Indonesia masih menempuh metode pencarian kerja secara informal, seperti lewat informasi yang didapat dari keluarga dan teman. Sekitar 30 persen mencari kerja dengan cara merespons iklan lowongan kerja di media cetak/elektronik.
Sekitar 20 persen angkatan kerja lebih proaktif dengan cara mengontak perusahaan yang sedang membuka lowongan kerja. Hanya sekitar 18 persen yang aktif mendaftarkan diri di portal pencarian kerja. Sementara pekerja yang aktif mengiklankan dirinya sebagai pencari kerja melalui media sosial atau media cetak/elektronik di bawah 10 persen.