Larangan untuk menangkap dan memperdagangkan ikan belida yang hidup di alam ini butuh solusi peningkatan budidaya. Dengan begitu, ikan yang banyak diolah untuk kuliner itu tetap bisa dimanfaatkan secara berkelanjutan.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
Larangan untuk menangkap, menjual, dan mengonsumsi ikan belida menuai pro dan kontra. Ikan belida yang kerap menjadi bahan baku beberapa kuliner khas Palembang, mulai dari pempek, kemplang, hingga pindang, populasinya di alam dinyatakan kritis. Oleh karena itu, belida termasuk dalam kategori jenis ikan yang dilindungi penuh.
Larangan mengonsumsi ikan belida tertuang dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 1 Tahun 2021 tentang Jenis Ikan yang Dilindungi. Aturan itu melarang penangkapan, penjualan, dan konsumsi 19 spesies ikan, termasuk empat jenis ikan belida, yakni belida borneo (Chitala borneensis), belida sumatera (Chitala hypselonotus), belida lopis (Chitala lopis), dan belida jawa (Notopterus notopterus).
Pelanggar peraturan tersebut akan dikenai sanksi denda mulai dari Rp 250 juta hingga Rp 1,5 miliar. Sanksi pidana juga diberikan apabila pelanggar melakukan usaha tanpa izin atau penyelundupan ikan.
Selama beberapa dekade, eksploitasi ikan belida, mulai dari ukuran kecil hingga besar, menyebabkan ikan air tawar itu semakin langka di alam. Namun, di tengah kebijakan yang digulirkan per 4 Januari 2021 itu, muncul keresahan pelaku industri yang terbiasa memanfaatkan ikan habitat sungai itu. Larangan penangkapan belida dikhawatirkan bakal memukul dunia usaha.
Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (PRL) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Andi Rusandi mengemukakan, larangan penangkapan, penjualan, dan konsumsi ikan belida diberlakukan untuk seluruh hasil tangkapan alam, mulai dari ukuran benih hingga ukuran besar. Larangan itu telah didasarkan riset ilmiah, karena populasi belida sudah semakin kritis.
Namun, aturan itu tidak berlaku untuk ikan belida hasil budidaya. Saat ini, teknologi budidaya belida sedang dikembangkan. Pengambilan indukan belida di alam untuk pengembangbiakan wajib mengantongi izin pemanfaatan jenis ikan (SIKJI) yang diterbitkan unit pelaksana teknis PRL-KKP. Adapun penjualan ikan belida hasil budidaya wajib disertai sertifikasi hasil budidaya.
”Intinya, larangan (pemanfaatan belida) itu untuk hasil tangkapan alam. Belida hasil budidaya tetap boleh dimanfaatkan,” kata Andi Rusandi, (Minggu 5/9/2021), sambil menambahkan, kebijakan baru itu belum optimal disosialisasikan di tengah pandemi Covid-19.
Larangan penangkapan, perdagangan, dan konsumsi ikan belida dari alam membuka jalan bagi pengembangan budidaya. Laju penangkapan ikan belida di alam yang lebih tinggi daripada laju reproduksi alami memerlukan intervensi dalam hal pemijahan atau pengembangan budidaya. Terobosan budidaya diperlukan demi keberlanjutan komoditas yang memiliki peluang besar di pasar dalam negeri.
Laju penangkapan ikan belida di alam yang lebih tinggi daripada laju reproduksi alami memerlukan intervensi dalam hal pemijahan atau pengembangan budidaya.
Persoalannya, upaya pembudidayaan ikan belida, mulai dari pembenihan hingga pembesaran, selama bertahun-tahun cenderung berjalan lamban. Pemijahan ikan belida rata-rata masih dalam skala riset di balai-balai perikanan milik pemerintah. Beberapa balai juga masih dalam proses domestifikasi, atau pengadaptasian ikan yang hidup di alam liar untuk bisa dikembangkan melalui kegiatan budidaya.
Pelaksana Tugas Kepala Badan Riset Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan KKP Kusdiantoro mengemukakan, pemijahan ikan belida kalimantan sudah berhasil dan mulai dibudidayakan di Balai Perikanan Budidaya Air Tawar Mandiangin, Kalimantan Selatan. Adapun belida sumatera dalam proses domestifikasi dan pemijahan alami di Balai Riset Perikanan Perairan Umum dan Penyuluhan Perikanan, Mariana-Palembang, Sumatera Selatan.
Kepala Balai Perikanan Budidaya Air Tawar (BPBAT) Mandiangin Andi Artha Donny Oktopura mengemukakan, pemijahan belida dilakukan oleh balai itu sejak tahun 2004. Secara teknologi, pembudidayaan ikan belida dapat diterapkan, mulai dari pembenihan sampai pembesaran.
Namun, masih terdapat dua kelemahan mendasar, yakni fekunditas telur ikan belida yang tergolong rendah. Satu induk betina memiliki fekunditas hanya 50-300 ekor per tahun. Masalah lain, masa pembesaran ikan belida tergolong lama, yakni butuh 1 tahun untuk mencapai ukuran konsumsi 300-500 gram per ekor.
Setiap tahun, BPBAT Mandiangin membudidayakan ikan belida sekitar 500 kilogram. Harga jual ikan belida itu berkisar Rp 30.000-Rp 40.000 per kg. Harga itu masih jauh di bawah ikan gabus hasil budidaya, yang juga banyak digunakan untuk bahan baku pempek. Harga ikan gabus di kisaran Rp 60.000-Rp 80.000 per kg.
”Selama ini, orang belum terobsesi untuk budidaya ikan belida karena menganggap masih dapat diperoleh di alam dan budidaya belida masih kurang ekonomis. (Produksi) ini bisa dioptimalkan jika ada prioritas untuk budidaya. Namun, harus ada pergeseran paradigma pasar untuk beralih ke (belida) hasil budidaya,” kata Andi Artha.
Selama ini, orang belum terobsesi untuk budidaya ikan belida karena menganggap masih dapat diperoleh di alam dan budidaya belida masih kurang ekonomis. (Produksi) ini bisa dioptimalkan jika ada prioritas untuk budidaya.
Pasar olahan belida yang sudah terbentuk seharusnya menjadi landasan untuk mempercepat pengembangan budidaya ikan belida di Tanah Air secara lebih serius. Dengan cara itu, permintaan pasar dengan sendirinya akan beralih ke produk hasil budidaya.
Andi mengemukakan, budidaya belida di dalam negeri bisa dikembangkan lebih luas dengan melibatkan balai-balai perikanan pemerintah pusat dan daerah untuk pembenihan, ataupun masyarakat dalam proses pendederan atau pembesaran. Selain itu, perlu digiatkan pula upaya menggandeng swasta dalam pengembangan industri budidaya belida.
Pembudidayaan belida dengan menjaga nilai keekonomian membutuhkan sinergi hulu-hilir. Inilah momentum mendorong budidaya ikan Belida di dalam negeri sehingga larangan perdagangan belida tidak berujung dilema dalam pemanfaatannya akibat ketidaksiapan para pelaku budidaya.