Hujan masih mengguyur di sejumlah sentra produksi garam sehingga panen terganggu. Teknologi produksi untuk membenahi budidaya garam harus didorong.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Produksi garam nasional pada tahun ini diprediksi turun akibat faktor cuaca. Musim kemarau basah sepanjang tahun ini menyebabkan panen garam rakyat kurang optimal. Terobosan teknologi produksi perlu didorong untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi.
Direktur Jasa Kelautan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Miftahul Huda mengemukakan, hujan yang masih terus mengguyur sejumlah sentra produksi garam menyebabkan panen garam terhambat. Dalam kondisi normal, panen garam berlangsung pada periode Juli-November. Namun, akibat pengaruh cuaca, masa panen garam diperkirakan berlangsung lebih singkat.
”Produksi garam pasti tergantung dari kondisi musim,” kata Huda saat dihubungi, Selasa (7/9/2021).
Data yang dikutip Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi menyebutkan, produksi garam nasional tahun 2021 diperkirakan 2,1 juta ton. Sementara kebutuhan garam nasional diperkirakan 4,67 juta ton. Adapun pemerintah berencana mengimpor 3,07 juta ton garam industri tahun ini, naik ketimbang tahun lalu yang sebanyak 2,7 juta ton (Kompas, 12/3).
Industri mensyaratkan garam dengan kadar NaCl 97-98 persen, sedangkan garam rakyat rata-rata berkadar NaCl di bawah 97 persen. Tahun 2020, produksi garam nasional tercatat 1,36 juta ton. Adapun total luas lahan produksi garam berkisar 21.000-22.000 hektar.
Data yang dikutip Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi menyebutkan, produksi garam nasional tahun 2021 diperkirakan 2,1 juta ton. Sementara kebutuhan garam nasional diperkirakan 4,67 juta ton.
Huda mengemukakan, pihaknya berupaya mendorong teknologi produksi untuk membenahi budidaya garam dengan pola tradisional serta meningkatkan kualitas garam rakyat. Tahun ini, uji coba teknologi produksi dilakukan di Pati, Jawa Tengah, dengan metode filtrasi air tua untuk mendorong kualitas garam agar memenuhi kadar NaCl di atas 97 persen.
Dari sisi hilir, pemerintah telah membangun tujuh pabrik pencucian dan pemurnian garam (washing plant), yakni di Karawang, Brebes, Indramayu, Pati, Gresik, Pasuruan, dan Sampang. Pabrik pencucian garam itu diharapkan mendorong sentra produksi garam rakyat mengembangkan industri pengolahan sendiri.
Stok tak terserap
Secara terpisah, Ketua Himpunan Petani Garam Jawa Timur Mohammad Hasan mengemukakan, faktor cuaca yang kurang stabil memengaruhi produksi garam rakyat. Ia memperkirakan produksi garam tahun ini bisa turun hingga 25 persen atau menjadi 1,7 juta ton akibat terpengaruh cuaca.
”Cuaca kemarau basah akan menyebabkan terjadi penurunan produktivitas garam,” kata Hasan.
Hasan menambahkan, masih ada stok garam nasional yang belum terserap sekitar 600.000 ton. Dengan demikian, produksi garam yang turun pada tahun ini diprediksi masih cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi garam nasional.
Sebelumnya, anggota Komisi IV DPR dari Fraksi PAN, Slamet Ariyadi, dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Senin, menyoroti permasalahan klasik yang terus berulang pada usaha garam rakyat, yakni harga garam yang tidak stabil. Ia meminta pemerintah memastikan pencapaian target produksi diimbangi dengan peningkatan kualitas garam agar harga jualnya lebih stabil.
Pabrik pencucian garam itu diharapkan mendorong sentra produksi garam rakyat mengembangkan industri pengolahan sendiri.
Di sisi lain, KKP diminta berkoordinasi dengan kementerian terkait untuk mengantisipasi keran impor garam pada 2022. Upaya pemulihan ekonomi masyarakat yang terdampak pandemi Covid-19, termasuk petambak garam, jangan sampai terlibas akibat dibukanya keran impor garam.
Anggota Komisi IV DPR dari Fraksi PKS, Slamet, menyoroti anggaran program pemberdayaan usaha garam rakyat tahun 2022 senilai Rp 52 miliar. Menurut dia, alokasi anggaran pemerintah untuk peningkatan produksi garam harus ditopang penyerapan garam rakyat secara optimal.
Pada musim panen 2020, petani garam terpuruk karena harga jual anjlok dan tidak bisa menutup biaya produksi. Harga garam saat itu di kisaran Rp 250-Rp 350 per kilogram. Padahal, ongkos produksinya rata-rata mencapai Rp 450-Rp 550 per kg.
Pemerintah menjanjikan untuk memasukkan garam sebagai barang kebutuhan pokok serta menetapkan harga pokok pembelian. Namun, janji itu belum terealisasi. Padahal, jika harga garam stabil, petambak akan memacu produksi.