PLN mendukung rencana pemerintah merevisi aturan terkait pengembangan PLTS atap. Namun, memang terdapat sejumlah potensi komponen biaya yang akan muncul dari pengembangan tersebut.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana pemerintah merevisi peraturan tentang penggunaan sistem pembangkit listrik teknologi surya atap berpotensi membebani anggaran negara. Pasalnya, dengan skema ekspor kelebihan tenaga listrik yang baru, Perusahaan Listrik Negara tidak lagi mendapatkan kompensasi atas risiko penyimpangan.
Pemerintah berencana merevisi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Aturan ini mengatur besaran kompensasi yang ditanggung PLN atas kelebihan tenaga listrik yang diekspor dari pelanggan PLTS atap ke jaringan listrik PLN.
Dalam aturan tersebut, kelebihan tenaga listrik milik pelanggan PLTS atap yang diekspor ke PLN dalam satuan kilowatt jam (kWh) dikali 0,65. Sebagai ilustrasi, apabila kelebihan tenaga listrik pelanggan dalam sebulan mencapai 100 kWh, maka yang dihitung sebagai kompensasi untuk dijual ke PLN hanya 0,65 x 100 kWh atau 65 kWh saja.
Revisi dilakukan untuk mengganti ketentuan 0,65 menjadi 1, sehingga berapa pun kelebihan tenaga listrik pelanggan PLTS atap yang dijual ke PLN, seluruhnya akan dihargai sesuai dengan tarif berlaku.
Adapun revisi dilakukan untuk mengganti ketentuan 0,65 menjadi 1, sehingga berapa pun kelebihan tenaga listrik pelanggan PLTS atap yang dijual ke PLN, seluruhnya akan dihargai sesuai dengan tarif berlaku.
Ekspor listrik ini akan digunakan untuk perhitungan energi listrik pelanggan PLTS atap dan bisa mengurangi tagihan listrik pelanggan setiap bulan. Perhitungan energi listrik pelanggan PLTS atap dilakukan setiap bulan berdasarkan selisih antara nilai kWh ekspor dan kWh impor.
Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Mukhtasor menilai rencana perubahan skema penjualan kelebihan tenaga listrik dari pelanggan PLTS ke jaringan listrik PLN berpotensi menggerus Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tanpa memberikan nilai tambah bagi industri PLTS nasional.
Perhitungan 0,65 pada peraturan sebelumnya ia nilai sudah adil karena memang terdapat biaya investasi dan produksi yang dikeluarkan PLN, seperti biaya jaringan dan pendistribusian. Sisa 0,35 tersebut dianggap sebagai biaya kompensasi terhadap PLN.
”Saya menilai perhitungan sebelumnya lebih rasional karena tenaga listrik yang diproduksi oleh PLTS atap diekspor ke jaringan PLN dikurangi 35 persen sebagai kompensasi biaya penyimpanan listrik,” ujar Mukhtasor dalam diskusi virtual, Sabtu (4/9/2021).
Menurut dia, kompensasi tersebut merupakan manifestasi dari ongkos yang diperlukan untuk mengatasi sejumlah persoalan, seperti listrik yang berubah menjadi panas selama masa transmisi, perbedaan biaya pembangkitan pada siang dan malam hari, serta biaya penyiagaan pembangkit untuk mengantisipasi ketidakpastian pasokan PLTS.
”Rancangan revisi telah mengabaikan biaya-biaya tersebut, di mana semua listrik yang diekspor siang dapat 100 persen diimpor kembali malam. Artinya kompensasi biaya penyimpanan ditanggung oleh APBN melalui PLN,” ujar Mukhtasor.
Ia menyarankan agar anggaran yang semula disediakan menutup kompensasi ekspor tenaga listrik dari PLTS atap dikonversi menjadi insentif untuk industri nasional rantai pasok PLTS, terutama produsen sel surya (solar cell). Dengan begitu, harga sel surya dari industri nasional diharapkan makin kompetitif dan terjangkau di pasaran.
”Keekonomian PLTS atap juga akan meningkat karena minat dan dukungan pada PLTS atap dari masyarakat juga akan meningkat,” ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, anggota Dewan Pakar Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI), Fathor Rahman, menilai skema baru dalam perhitungan nilai ekspor tenaga listrik PLTS atap berpotensi membebani keuangan PLN.
Anggaran yang semula disediakan menutup kompensasi ekspor tenaga listrik dari PLTS atap lebih baik dikonversi menjadi insentif untuk industri nasional rantai pasok PLTS. (Mukhtasor)
Ia mencontohkan, apabila pasokan listrik PLTS atap turun akibat kondisi alam, PLN harus memikul beban penurunan tersebut. ”Hasilnya BPP (biaya pokok produksi) PLN menjadi lebih mahal,” ujar Fathor.
Diberitakan sebelumnya, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Rida Mulyana mengatakan, kenaikan nilai ekspor menjadi 100 persen merupakan insentif bagi pelanggan PLTS atap sektor industri. ”Sebelumnya, nilai ekspor 65 persen menjadi sorotan bagi industri. Nilai ekspor sebesar 100 persen menjadi menarik bagi mereka ketika pabrik tidak beroperasi selama akhir pekan. Dengan demikian, investasi ke PLTS atap pun menjadi berdaya tarik,” tuturnya.
Secara makro, Rida menilai, pengembangan PLTS atap sebagai bagian dari transisi energi seharusnya menarik bagi investor lantaran sesuai dengan tren konsumen yang sadar akan perubahan iklim. Langkah ini merupakan kelanjutan proyek pembangunan pembangkit 35.000 megawatt (MW) dan wujud kebijakan untuk tak lagi membangun pembangkit listrik tenaga uap mulai 2026.
Adapun Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN Bob Saril menyatakan, pihak perusahaan mendukung sepenuhnya kebijakan pemerintah dalam pengembangan PLTS atap. Namun, memang terdapat sejumlah potensi komponen biaya yang muncul dari pengembangan tersebut, salah satunya penyediaan baterai untuk mengantisipasi kondisi intermiten pada PLTS atap, seperti kehilangan radiasi matahari atau mendung.
”Ini bentuknya cadangan putar dan perkiraan biayanya Rp 248,7 miliar per tahun. Tak mungkin pelanggan rumah tangga (PLTS atap) mati lampu ketika mendung (tak ada pancaran sinar matahari). PLN pasti mencadangkan (pasokan listrik),” kata Bob.