Produksi minyak nilam Aceh pada 2020 diperkirakan 380 ton, naik dari 150 ton pada ima tahun sebelumnya. Saat ini petani nilam semakin ramai. Aceh berusaha memproduksi produk berbahan minyak nilam
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
Pusat Riset Nilam atau Atsiri Research Center Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh mendorong usaha baru berbahan baku minyak nilam. Usaha-usaha itu menyerap produksi minyak nilam petani dan membuat harga minyak nilam stabil.
Ketua Asiri Research Center Universitas Syiah Kuala (ARC USK) Syaifullah Muhammad, Minggu (29/8/2021) menuturkan dalam dua tahun terakhir usaha kecil menengah produk berbahan baku asiri di Aceh kian tumbuh. Dengan muncul usaha-usaha tersebut, minyak nilam mulai diserap di pasar lokal.
“Dulu 100 persen minyak nilam Aceh diekspor. Kalau sekarang perbandingan 80 persen ekspor dan 20 persen pasar lokal,” kata Syaifullah.
Syaifullah mengatakan saat ini terdapat sebanyak 30 usaha rintisan (star up) binaan ARC. Usaha-usaha itu membuat produk berbahan dasar minyak nilam, seperti parfum, aroma terapi, balsam cair, lulur, dan sabun cuci tangan. Usaha rintisan itu dikelola oleh para anak muda.
Syaifullah mengatakan dengan banyak lahir usaha rintisan minyak nilam tidak lagi semua dijual ke luar negeri. Namun, Sebagian dibeli oleh pengusaha lokal untuk dibuat produk turunan. Dampaknya ekonomi warga semakin tumbuh dan minyak nilam milik petani selalu terserap pasar.
Selain membina usaha rintisan, ARC juga membina kelompok tani nilam. Hasil panen milik petani sebagian dijual kepada ARC. Dalam sebulan ARC mampu menyerap minyak nilam petani 1,2 ton. Minyak yang dibeli dari petani kemudian diolah Kembali hingga melahirkan kualitas minyak yang premium. ARC menjual minyak nilam kualitas tinggi kepada usaha rintisan. Metodenya membuat satu sama lain saling mendukung.
ARC memfasilitasi perjanjian kerja sama antara pelaku ekspor, koperasi petani, dan pemerintah daerah. Salah satu poin penting dalam perjanjian itu, eksportir akan membeli minyak nilam petani dengan harga minimal Rp 500.000 per kilogram dan maksimal mengikuti harga pasar. Dengan cara ini harga minyak nilam di pasaran lebih stabil.
“Saat ini harga minyak nilam Rp 700.000 per kilogram. Selama dua tahun harga stabil terus. Kalau dulu pernah jatuh ke Rp 200.000 per kilogram,” kata Syaifullah.
Syaifullah menuturkan kualitas minyak nilam Aceh termasuk kelas pertama di pasar dunia. Minyak nilam dipakai untuk industri parfum dan kosmetik. Namun, Syaifullah menginginkan Aceh sebagai penghasil minyak nilam juga bisa menghasilkan produk turunan. “Suatu saat kita jangan ekspor minyak lagi tetapi kita ekspor produknya seperti parfum,” kata Syaifullah.
Syaifullah mengatakan produksi minyak nilam Aceh pada 2020 diperkirakan 380 ton, naik dari 150 ton pada ima tahun sebelumnya. Saat ini petani nilam semakin ramai. “Sekarang 16 kabupaten di Aceh mulai menanam nilam,” ujar Syaifullah.
Salah satu usaha binaan ARC adalah parfum Neelam. Usaha ini dikelola oleh alumnus Universitas Syiah Kuala. Berawal dari tugas riset kuliah, berakhir jadi usaha serius.
Manajer parfum Neelam, Sabrina Khairunnisa menuturkan kini dalam sebulan mereka menjual antara 200 dan 300 botol parfum. Sementara harga per botol ukuran 30 mililiter Rp 150.000. Penjualan bukan hanya di Aceh, melainkan juga ke Pulau Jawa dan Malaysia.
Dalam sebulan parfum Neelam menyerap 5 kilogram minyak nilam. Minyak nilam itu dibeli dari ARC. “Kami sedang mengurus administrasi dan komunikasi dengan calon pembeli untuk ekspor,” kata Nisa.
Nisa menuturkan pasar parfum cukup besar. Selama ini nilam Aceh diekspor ke luar negeri. Di sana diolah menjadi parfum lalu dijual kembali ke Indonesia. Menurut Nisa, sebagai daerah penghasil Nilam seharusnya mampu menghasilkan parfum sendiri dengan kualitas ekspor.
Pengusaha lain binaan ARC adalah Musrida. Dia memproduksi mingak angin berbahan baku minyak nilam. Dalam sebulan baru mampu diproduksi 50 botol dengan harga jual Rp 15.000 per botol. Meski masih skala kecil, namun minyak angin yang diberi nama Ivone itu selalu habis terjual.