Pemerintah akan mengejar aktor utama pelaku tindak pidana kelautan dan perikanan. Terobosan itu perlu ditopang oleh kesiapan aparat penyidik.
Oleh
Brigita Maria Lukita
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Kelautan dan Perikanan berencana mengungkap tindak pidana di sektor kelautan dan perikanan sampai ke penerima manfaat tertinggi. Selama ini, sanksi terhadap pelaku pidana di sektor kelautan hanya menyentuh para pelaku di lapangan, tetapi masih sulit mengungkap aktor utama atau penerima manfaat tertinggi dari kejahatan itu.
Upaya mengungkap pelaku kejahatan perikanan hingga ke penerima manfaat tertinggi atau beneficial owner sejalan dengan kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Perikanan untuk menyidik tindak pidana pencucian uang. Kewenangan itu diatur dalam Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XIX/2021 yang memberikan kewenangan penyidikan tindak pidana pencucian uang (TPPU) kepada PPNS Perikanan.
Menurut Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Laksamana Muda TNI Adin Nurawaluddin, upaya mengungkap pelaku tindak pidana perikanan sampai ke beneficial owner bertujuan memberikan efek jera. Hal itu menjadi langkah maju dalam upaya pemulihan aset serta pengembalian kerugian negara yang ditimbulkan dari tindak pidana di sektor kelautan dan perikanan.
”Penyidikan tindak pidana pencucian uang di sektor kelautan dan perikanan diharapkan dapat mengungkap para penerima manfaat, bukan hanya berhenti pada pelaku lapangan,” ujar Adin dalam keterangan tertulis, Jumat (27/8/2021).
Ia menambahkan, PPNS Perikanan akan menelusuri aset-aset pelaku tindak pidana di sektor kelautan dan perikanan yang terindikasi memiliki unsur tindak pidana pencucian uang. Pihaknya meminta dukungan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam penyidikan TPPU di sektor kelautan dan perikanan, antara lain, mencakup digital forensik, keterangan ahli, dan analisis transaksi.
Direktur Penanganan Pelanggaran KKP Teuku Elvitrasyah mengemukakan, pihaknya bergerak cepat dalam merespons Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XIX/2021. Saat ini, tengah dilakukan proses administrasi ke Kementerian Hukum dan HAM untuk penetapan surat keputusan terkait kewenangan dalam penyidikan TPPU.
”Dari 453 PPNS Perikanan, saat ini 185 orang telah memiliki surat keputusan untuk penyidikan TPPU, sedangkan 268 orang sedang dalam proses,” kata Teuku.
Secara terpisah, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch Indonesia Muhammad Abdi Suhufan mengemukakan, sangat penting untuk mengungkap aktor utama yang menikmati keuntungan paling besar dari kejahatan penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan dan tidak diatur (IUUF). Selama ini, hukuman dari tindak pidana penangkapan ikan sebatas menjerat kapten kapal.
”Selama ini, pihak yang menjadi tersangka kejahatan dan mendapat hukuman adalah kapten kapal, tetapi tidak mampu menghukum pemilik kapal atau perusahaan yang mempekerjakan,” katanya.
Abdi menilai, keterbatasan penyidikan TPPU itu disebabkan perangkat hukum sebelumnya tidak memberikan kewenangan tersebut. Meski demikian, KKP dinilai perlu menyiapkan dan meningkatkan kapasitas PPNS agar memiliki kompetensi dan kapasitas dalam mengungkap kejahatan tindak pidana pencucian uang di sektor perikanan.
Sebelumnya, PPNS Perikanan Ditjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan, yaitu Mubarak dan Garibaldi Marandita, serta Penyidik Kehutanan dan Lingkungan Hidup Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yaitu Cepy Arifiana dan M Dedy Hardianto, melalui Kuasa Hukum dari Angwyn Zikry Law Firm pada 21 April 2021 telah mendaftarkan permohonan uji materiil Penjelasan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dengan nomor perkara 15/PUU-XIX/2021. Putusan dari uji materiil tersebut kemudian memberikan kewenangan kepada PPNS Perikanan untuk melakukan penyidikan TPPU.