Pandemi Covid-19 tak boleh menghentikan kinerja pembangunan, betapapun sulitnya menghadapi protokol kesehatan yang ketat. Stasiun Pondok Rajeg dan Gunung Putri menjadi pekerjaan besar yang mesti diselesaikan.
Oleh
Stefanus Osa Triyatna
·6 menit baca
Presiden Joko Widodo dalam Sidang Tahunan HUT ke-76 Republik Indonesia, Selasa (16/8/2021), mengatakan, “Walaupun kita sangat berkonsentrasi dalam menangani permasalahan kesehatan, tetapi perhatian terhadap agenda-agenda besar menuju Indonesia Maju tidak berkurang sedikit pun. Pengembangan sumber daya manusia berkualitas tetap menjadi prioritas. Penyelesaian pembangunan infrastruktur yang memurahkan logistik, untuk membangun dari pinggiran dan mempersatukan Indonesia, terus diupayakan.”
Bicara tanggung jawab “membangun dari pinggiran”, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi beberapa pekan lalu menaruh perhatian besar pada nasib dua stasiun kereta yang sampai kini tak lagi berfungsi, yakni Stasiun Pondok Rajeg dan Stasiun Gunung Putri, Bogor, Jawa Barat. Berdiri di bekas peron itu, gagasan mengaktifkan kembali stasiun itu tercetus. Bahkan, reaktivasi itu disebut sebagai salah satu aktualisasi perintah Presiden.
Kini, menembus kemacetan lalu lintas dengan kereta menjadi pilihan yang terasa begitu “mahal” dalam perjalanan di kawasan aglomerasi. Walau protokol kesehatan secara pribadi dilakukan dengan ketat, bayang-bayang penularan Covid-19 kerap menghantui penumpang. Belum lagi, semua perjalanan kereta rel listrik (KRL) harus menyertakan surat tanda registrasi pekerja atau STRP yang diperiksa sebelum memasuki peron stasiun.
Banyak orang mungkin bergumam, sampai kapankah pandemi Covid-19 ini berakhir? Tak ada kepastian jawaban. Acapkali, yang terlontar adalah ajakan “bersahabat” dengan virus yang kini gencar dilawan dengan menciptakan kekebalan kelompok atau herd immunity melalui vaksinasi.
Senin (16/8/2021) pagi, tepat berakhirnya masa pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) level 1-4 untuk kedua kalinya, Kompas tergelitik mencermati kedua stasiun itu dengan menumpang KRL dari Stasiun KRL Rawabuntu, Kota Tangerang Selatan, Banten. Lima hari sebelumnya, kebijakan ganjil-genap memang kembali diterapkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Tentu, terlihat pula sedikit lonjakan jumlah penumpang, karena sejumlah pelaku perjalanan beralih dari kendaraan pribadi ke moda transportasi KRL Jabodetabek.
Awal pemberlakuan kebijakan ini, PT Kereta Commuter Indonesia mencatat lonjakan jumlah penumpang pukul 04.00-10.00 mencapai 106.323 orang atau naik 17 persen dibandingkan sepekan sebelumnya yang hanya mencapai 90.692 orang. Tren kenaikan penumpang pada pagi hari itu pun terpantau jelang HUT Kemerdekaan RI. Tercatat sebanyak 77.679 orang atau naik 3 persen dibandingkan sepekan sebelumnya sebanyak 75.079 orang. Stasiun Bojonggede berkontribusi sebanyak 6.592 orang, Stasiun Bogor 6.103 orang, dan Stasiun Citayam 5.788 orang.
Pengamat kebijakan publik, sekaligus Ketua Forum Warga Kota Jakarta, Azas Tigor Nainggolan, mengatakan, “Pada dasarnya, sistem ganjil-genap memang diterapkan untuk menekan penggunaan kendaraan pribadi, seperti mobil pribadi dan berpindah ke transportasi publik. Penerapan sistem ganjil-genap ini juga berarti membuka kelonggaran sebesar 50 persen warga bermobilitas. Kondisi ini pun akan melonggarkan peningkatan kapasitas warga, salah satunya di transportasi publik.”
Tren kenaikan mobilitas penumpang mutlak perlu diantisipasi. Kerumunan penumpang tak boleh lagi terjadi demi menekan kasus penularan Covid-19 ke depan. Dari kawasan pinggiran, Stasiun Citayam dan Stasiun Cibinong, misalnya. Pada jam sibuk, ratusan calon penumpang tak hanya berdatangan dari kedua stasiun itu, melainkan juga dari daerah Pondok Rajeg dan Gunung Putri.
Terlebih, Stasiun Citayam juga merupakan titik pertemuan antara penumpang dari Bogor ke Jakarta dan juga sebaliknya. Alhasil, wajah kemacetan lalu lintas kerap tak terhindarkan, terutama pagi dan sore. Kerumunan penumpang bakal tak terelakkan.
Wajah Stasiun Pondok Rajeg dan Stasiun Gunung Putri kini terlihat miris. Padahal, kedua stasiun itu menjadi penghubung rute Stasiun (transit) Citayam menuju Nambo. Bertahun-tahun tak difungsikan, bangunan kokoh itu penuh dengan coretan-coretan. Tak terlihat lagi daun jendela dan pintu. Hanya tiang-tiang beton penopang atap masih bisa untuk berteduh. Sementara, jalan lintas sebidang tak jauh dari Stasiun Pondok Rajeg, masih digunakan warga menuju perkampungan dengan kendaraannya.
Stasiun Pondok Rajeg terletak di Pondok Rajeg, Cibinong, Kabupaten Bogor. Lokasinya masuk wilayah PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI DAOP 1 Jakarta. Stasiun tersebut dibangun awal tahun 1997, ditujukan untuk angkutan penumpang (yang masih kereta rel diesel dua gerbong). Rute terjauhnya, dari Stasiun Nambo langsung menuju Manggarai. Tidak berhenti di lintas Jakarta-Bogor.
Stasiun ini dioperasikan pada tahun 2000-2006 untuk kereta rel diesel (KRD) dua gerbong. Sejak Juli 2015, KRL mulai dioperasikan. Rute perjalanan yang melewati Stasiun Rajeg yaitu Stasiun Nambo-Citayam-Manggarai-Angke dengan waktu tempuh 1,5 jam.
Kepala Humas Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Budi Rahardjo tak menampik program reaktivasi itu ditangani BPTJ, bukan Direktorat Jenderal Perkeretaapin, Kementerian Perhubungan. Reaktivasi kedua stasiun tersebut merupakan bagian kegiatan yang harus dilaksanakan dalam rangka implementasi Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2018 tentang Rencana Induk Transportasi Jabodetabek.
Jalan lintas sebidang terlihat di dekat Stasiun Pondok Rajeg yang kini sudah tidak berfungsi lagi, Senin (16/8/2021). KOMPAS/Stefanus OsaAdapun sejumlah alasan mereaktivasi kedua stasiun itu, antara lain mengantisipasi pertumbuhan penumpang di Stasiun Citayam, Cibinong, dan Nambo, yang selama ini juga diakomodir dari Stasiun Pondok Rajeg dan Gunung Putri, alternatif transportasi untuk mengurai kepadatan di jalan raya, jarak antar-stasiun yang cukup jauh sehingga membutuhkan waktu dan biaya transportasi dari kedua stasiun itu, serta antisipasi perkembangan penduduk di wilayah Stasiun Pondok Rajeg dan Gunung Putri.
“Jadi, untuk studi kelayakan dan desain dasar, baik untuk Stasiun Pondok Rajeg maupun Gunung Putri, kita akan selesaikan tahun ini juga. Namun, untuk detail engineering design, tahun ini yang diprioritas terlebih dahulu hanya untuk Stasiun Pondok Rajeg dibandingkan Stasiun Gunung Putri,” jelas Budi.
Pembangunan Stasiun Pondok Rajeg direncanakan segera dimulai dan diselesaikan di tahun 2022 sehingga diperkirakan bisa dioperasionalkan pada tahun 2023. Sementara itu, pembangunan Stasiun Gunung Putri diharapkan dapat dilakukan pada tahun 2023.
Secara terpisah, Direktur Utama KAI Didiek Hartantyo mengatakan, “Kereta api menjadi penanda modernisasi suatu peradaban. Sekarang ini, Indonesia sedang membangun moda transportasi kereta api yang lebih advanced (maju). Kementerian Perhubungan menyediakan infrastruktur, sementara kami yang menyediakan sarana transportasi massal itu.”
Menurut Didiek, inovasi dan kreativitas itu perlu dilanjutkan sesuai arahan Presiden Jokowi demi menyediakan sarana transportasi massal yang terjangkau dan ramah lingkungan.
Fokus pemerintah
Budi Karya menambahkan, di sinilah ajang pembuktian fokus pemerintah untuk menomorsatukan angkutan massal. Apalagi, kereta api listrik merupakan angkutan massal yang eco friendly atau ramah lingkungan. Minat masyarakat di kawasan aglomerasi untuk menggunakan kereta, seperti KRL, sangat tinggi.
“Bayangkan saja, jumlah penumpang KRL Jabodetabek bisa 1,2 juta orang per hari. Kalau Stasiun Pondok Rajeg beroperasi kembali, angkutan ini akan semakin produktif dan diharapkan masyarakat bisa berpindah dari angkutan pribadi ke angkutan massal,” kata Budi.
Rupanya, reaktivasi stasiun tidak hanya menjadi tantangan yang harus dilakukan di wilayah aglomerasi seperti Jabodetabek, tetapi juga dilakukan di seluruh wilayah aglomerasi, seperti Yogyakarta, Solo, Semarang, Surabaya, dan wilayah lainnya. Pembangunan, seperti reaktivasi rel dan stasiun kereta api di kawasan aglomerasi, menjadi penting dan harus konsisten.
Terlepas dari target pembangunan stasiun, adaptasi protokol kesehatan dengan sejumlah aturan yang harus diikuti para penumpang kereta baik KRL maupun kereta antarkota jarak jauh tetap diajak seiring sejalan. Benteng pertahanan aturan perjalanan kereta itu setidaknya sudah mencapai lebih dari 20 ketentuan, baik berupa peraturan menteri maupun surat edaran, sejak awal pandemi merebak hingga diikuti PPKM darurat dan berlevel. Tantangan ada di depan mata, target kinerja pembangunan pun tak boleh terabaikan.