Pembagian beban atau ”burden sharing” dinilai bakal menekan rasio bunga utang terhadap produk domestik bruto hingga mencapai 2,21 persen pada tahun ini dan menjadi 2,19 persen pada tahun depan.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Skema pembagian beban antara pemerintah dan bank sentral dalam menyerap surat utang yang diterbitkan pemerintah dinilai dapat menekan beban bunga utang. Meski demikian, kenaikan kewajiban pembayaran bunga utang tidak dapat dihindari akibat tingginya kebutuhan pembiayaan untuk pemulihan ekonomi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers APBN KiTA Agustus 2021, Rabu (25/8/2021), mengatakan, langkah pemerintah dan Bank Indonesia (BI) untuk melanjutkan pembagian beban (burden sharing) pembiayaan penanganan pandemi Covid-19 telah menghemat beban pembayaran bunga utang tahun 2021 dan 2022.
Berdasarkan perhitungan Kementerian Keuangan, pembagian beban bakal menekan rasio bunga utang hingga 2,21 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2021. Sementara tanpa pembagian beban, beban bunga utang pemerintah pada tahun ini bisa mencapai 2,4 persen PDB.
Sementara itu, untuk tahun 2022, skema serupa dapat menekan rasio bunga utang menjadi 2,19 persen terhadap PDB. Apabila tanpa burden sharing, rasio bunga utang terhadap PDB tahun depan bisa mencapai 2,43 persen.
”Dengan adanya burden sharing, kepemilikan SBN (Surat Berharga Negara) oleh BI naik dari 9,9 persen sebelum pandemi (Covid-19) menjadi 22,9 persen per 23 Agustus 2021. Kepemilikan investor asing justru turun cukup dalam, dari 38 persen ke 22 persen dalam periode yang sama,” ujar Sri Mulyani.
Kenaikan beban utang termaktub dalam Buku II Nota Keuangan Tahun Anggaran 2022. Pemerintah mengalokasikan anggaran untuk membayar bunga utang dalam Rancangan APBN 2022 sebesar Rp 405,9 triliun. Angka itu naik 10,8 persen dari perkiraan berdasarkan APBN 2021 sebesar Rp 366,2 triliun.
Adapun jumlah pembayaran bunga utang tahun depan terdiri dari pembayaran bunga dalam negeri sebesar Rp 393,7 triliun dan pembayaran bunga utang luar negeri sebesar Rp 12,17 triliun.
Menurut Sri Mulyani, meski di satu sisi kepemilikan BI terhadap SBN dapat menekan beban bunga utang pemerintah, di sisi lain kepemilikan SBN yang masih didominasi BI dan perbankan menunjukkan bahwa kondisi perekonomian belum sepenuhnya normal.
”Kondisi ekonomi belum normal karena perbankan masih banyak meletakkan dana masyarakat di surat berharga. Sekarang tinggal bagaimana kita menjaga integritas dari pasar SBN sebagai salah satu pilar pemulihan jangka menengah,” ujarnya.
Dalam Buku II Nota Keuangan RAPBN 2022 dijelaskan pula bahwa perhitungan besaran bunga utang tahun 2022 meliputi pembayaran bunga atas outstanding utang yang berasal dari akumulasi utang tahun-tahun sebelumnya, termasuk tambahan utang untuk penanganan pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional.
Beban bunga utang juga berasal dari rencana penambahan utang 2022 dan rencana program pengelolaan portofolio utang. Adapun pembayaran bunga utang pada 2022 diarahkan untuk memenuhi kewajiban pemerintah guna menjaga akuntabilitas pengelolaan utang.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Pengelolaan, Pembiayaan, dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman mengatakan, penerbitan SBN yang diserap BI terbagi dalam dua kluster, yakni Kluster A dan Kluster B.
SBN dalam Kluster A digunakan pemerintah untuk penanganan kesehatan, termasuk program vaksinasi. Pada kluster ini, BI menyerap SBN dengan nominal Rp 51 triliun pada 2021 dan Rp 40 triliun pada 2022, serta menanggung seluruh biaya bunga.
Sementara SBN dalam Kluster B digunakan untuk penanganan kemanusiaan dalam bentuk pendanaan berbagai program perlindungan sosial dan usaha kecil terdampak. Pada Kluster B, BI menyerap SBN sebesar Rp 157 triliun pada 2021 dan Rp 184 triliun pada 2022. Dari SBN ini, pemerintah akan menanggung biaya bunga sebesar suku bunga acuan BI tenor 3 bulan.
”Kalau suku bunga SBN 6,7 persen dan suku bunga BI 3 bulan sebesar 3,7 persen, kita bisa hemat 300 basis poin di bawah suku bunga pasar untuk tahun 2021. Tahun depan secara indikatif, persentase bunga utang bisa diturunkan 0,2 persen-0,25 persen terhadap PDB,” kata Luky.
Meski pemerintah telah berupaya menekan beban bunga utang tahun ini dan tahun depan, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudisthira mengingatkan bahwa pembayaran bunga utang yang makin besar berpotensi menghambat pemulihan ekonomi.
”Porsi bunga utang berarti sudah menyedot 21 persen total belanja pemerintah pusat di tahun 2022. Mendorong pemulihan ekonomi akan sulit jika bunga utang melebihi alokasi PEN (program Pemulihan Ekonomi Nasional) 2022, yaitu Rp 321 triliun,” ujarnya.
Kondisi tersebut bisa diperburuk dengan fenomena perebutan dana di sektor keuangan seiring dengan penerbitan SBN denominasi rupiah yang menyasar investor domestik. Pemilik dana akan memilih menempatkan investasinya di SBN dengan imbal hasil 6,8 persen ketimbang deposito di bank yang hanya 5 persen per tahun.
”Rebutan dana akan berakhir dengan kesulitan bank menyalurkan kredit. Bank bisa ikut-ikutan malas karena kredit masih berisiko tinggi sehingga mereka mengalihkan dana likuiditas ke SBN. Ini tidak sehat bagi ekonomi yang butuh suplai likuiditas,” tutur Bhima.
Ekonom PT Bank Mandiri Tbk, Faisal Rachman, memproyeksikan, beban bunga utang pemerintah akan berangsur turun setelah tahun 2022. Penurunan beban bunga ini sejalan dengan menurunnya rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto.
”Untuk menekan lonjakan bunga utang, pemerintah perlu mempercepat pemulihan ekonomi sehingga penerimaan negara bisa meningkat terutama dari perpajakan,” kata Faisal.
Untuk menekan lonjakan bunga utang, pemerintah perlu mempercepat pemulihan ekonomi sehingga penerimaan negara bisa meningkat terutama dari perpajakan.
Sementara itu, Guru Besar Akuntansi sekaligus Ketua Program Doktor Ilmu Lingkungan Unika Soegijapranata, Semarang, Andreas Lako menilai, mengerem laju utang dalam kondisi tingginya kebutuhan pembiayaan seperti saat ini bukanlah hal yang mudah.
Untuk itu, lanjutnya, diperlukan solusi alternatif yang lebih efektif, seperti memacu penerimaan pajak serta efisiensi belanja negara. Efisiensi anggaran untuk menekan defisit APBN dapat dilakukan dengan memotong atau meniadakan pos-pos pengeluaran yang dinilai kurang mendesak.