Rasio Dana Transfer ke Daerah terhadap Belanja Pusat Terus Menurun
Tren penurunan rasio transfer ke daerah dan dana desa terhadap belanja pemerintah pusat berlanjut. Kebijakan ini membuat desentralisasi fiskal dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah kian melemah.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya pemerintah pusat mendorong desentralisasi fiskal dinilai tidak sejalan dengan seretnya pertumbuhan nilai transfer ke daerah dan dana desa atau TKDD. Penurunan nilai transfer dana belanja daerah tidak akan jadi masalah jika persoalan struktur penerimaan yang menyebabkan kemandirian fiskal daerah rendah dapat dibenahi.
Dikutip dari dokumen Nota Keuangan RAPBN 2022, anggaran belanja pemerintah pusat pada tahun mendatang mencapai Rp 1.938,3 triliun. Sementara itu, alokasi untuk TKDD mencapai Rp 770,4 triliun atau 39,75 persen dari total anggaran belanja pemerintah pusat.
Dibandingkan dengan TKDD tahun 2021 senilai Rp 770,3 triliun, alokasi TKDD pada tahun 2022 hanya tumbuh 0,02 persen. Sementara itu, alokasi anggaran belanja pemerintah pusat pada tahun 2022 tumbuh 0,6 persen dari tahun sebelumnya sebesar Rp 1.927 triliun.
Dalam webinar bertema ”Kupas Tuntas Postur RAPBN 2022” yang berlangsung Jumat (20/8/2021), Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengungkapkan, secara historis dalam tiga tahun terakhir, rasio TKDD terhadap anggaran belanja pemerintah pusat terus menurun dari tahun ke tahun.
”Tren penurunan rasio TKDD terhadap belanja pemerintah pusat berlanjut. Artinya, pemerintah tidak yakin distribusi anggaran melalui TKDD bisa menghasilkan pertumbuhan. Alasannya macam-macam, mulai dari soal komitmen daerah hingga kesulitan pelaksanaan,” ujar Tauhid.
Dibandingkan dengan TKDD tahun 2021 senilai Rp 770,3 triliun, alokasi TKDD pada tahun 2022 hanya tumbuh 0,02 persen.
Secara tidak langsung, lanjutnya, kebijakan ini membuat desentralisasi fiskal atau penyerahan kewenangan fiskal dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah kian melemah. Padahal, pemerintah punya komitmen memperkuat desentralisasi fiskal untuk peningkatan dan pemerataan kesejahteraan antardaerah.
”Dalam situasi ini, kita harus berpikir kembali apakah desentralisasi fiskal dan otonomi daerah di Indonesia sudah berjalan baik atau tidak,” kata Tauhid.
Dalam proyeksi tahun ini, TKDD ditargetkan tersalurkan sebesar Rp 770,3 triliun. Adapun alokasi anggaran belanja pemerintah pusat tahun 2021 mencapai Rp 1.927 triliun sehingga rasio TKDD terhadap belanja pemerintah pusat tahun ini mencapai 39,97 persen.
Tauhid mengingatkan, optimalisasi desentralisasi fiskal yang disertai dengan penguatan belanja berkualitas dapat menghasilkan efek berkelanjutan terhadap perekonomian serta efektif mendukung program prioritas dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Sementara itu, menurut Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal, penurunan rasio TKDD terhadap anggaran belanja pemerintah pusat menunjukkan upaya desentralisasi fiskal belum terlaksana secara optimal. Desentralisasi kewenangan pun menjadi tidak optimal karena desentralisasi fiskal belum sepenuhnya terwujud.
Optimalisasi desentralisasi fiskal yang disertai dengan penguatan belanja berkualitas dapat menghasilkan efek berkelanjutan terhadap perekonomian.
Di luar penurunan rasio TKDD terhadap anggaran belanja pemerintah pusat dari tahun ke tahun, Faisal menuturkan, ada masalah fundamental terkait struktur penerimaan yang menyebabkan kemandirian fiskal daerah rendah. Pajak-pajak bernilai besar, seperti Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai, diambil oleh pemerintah pusat.
Sementara pemerintah daerah hanya kebagian pajak-pajak bernilai kecil, seperti pajak restoran, pajak hotel, pajak parkir, dan pajak kendaraan bermotor, sehingga wajar ketika kemudian mereka bergantung pada transfer dana dari pusat.
”Dengan struktur seperti ini, kita tidak bisa mengharapkan PAD (pendapatan asli daerah) akan lebih besar dibandingkan dana transfer daerah,” kata Faisal.
Diberitakan sebelumnya, hasil penilaian Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menunjukkan, sebanyak 443 pemda atau 88,07 persen dari 503 pemda di Indonesia masuk ke dalam kategori belum mandiri. Mayoritas pemda, yakni 468 pemda atau 93,04 persen dari 503 pemda, tidak mengalami perubahan status atas kategori kemandirian fiskalnya sejak 2013, bahkan sampai adanya pandemi Covid-19 pada 2020 (Kompas.id, 27/6/2021).
Ketua BPK Agung Firman Sampurna, Jumat (25/6/2021), mengatakan, hasil penilaian atas kemandirian fiskal pemerintah daerah meliputi perhitungan indeks kemandirian fiskal dan evaluasi kualitas desentralisasi fiskal.
Hasil penilaian Badan Pemeriksa Keuangan menunjukkan, sebanyak 443 pemda atau 88,07 persen dari 503 pemda di Indonesia masuk ke dalam kategori belum mandiri.
Hasil penilaian BPK yang menunjukkan sebagian besar pemda masuk ke dalam kategori belum mandiri, menurut Agung, menunjukkan sebagian besar pemda masih sangat bergantung pada dana transfer daerah untuk mendanai belanja di tiap-tiap pemda.
Hasil penilaian BPK juga menunjukkan kesenjangan kemandirian fiskal antardaerah masih cukup tinggi. Kondisi ini memperlihatkan kemampuan daerah untuk mendanai kebutuhannya sendiri masih belum merata.
BPK pun menilai, daerah bukan penerima dana keistimewaan atau dana otonomi khusus memiliki proporsi status indikator kemandirian fiskal relatif lebih baik dibandingkan dengan daerah penerima dana keistimewaan atau dana otonomi khusus.