Ada belasan bank bermodal kecil, yakni bermodal inti Rp 2 triliun-Rp 5 triliun, yang jadi incaran pemodal besar untuk diubah jadi bank digital. Persaingan untuk memberikan layanan perbankan digital menjadi makin ketat.
Oleh
Joice Tauris Santi
·6 menit baca
Bank-bank dengan modal inti Rp 2 triliun hingga Rp 5 triliun menjadi incaran investor besar tiga tahun terakhir. Para investor mengincar bank-bank mini untuk diubah menjadi bank digital. Bank-bank cilik ini seperti gadis manis yang menanti dipersunting pangeran gagah berkuda putih yang akan membuat hidupnya terbebas dari kesulitan lalu hidup bahagia selamanya.
Bagi investor, upaya mengakuisisi bank mini dan mengubahnya menjadi bank digital akan memangkas banyak proses dan biaya ketimbang mendirikan bank baru. Bisnis perbankan merupakan bisnis menarik. Rata-rata margin bunga bersih (net interest margin) perbankan Indonesia sekitar 4,5 persen atau lebih tinggi dari rata-rata margin bunga bersih perbankan Malaysia yang 2 persen atau perbankan Thailand yang 3,5 persen.
Investor juga mengakuisisi bank untuk melengkapi layanan keuangan sekaligus memperbesar ekosistem digital. Masyarakat Indonesia ternyata lebih senang menggunakan aplikasi di telepon genggam untuk bergosip dan melihat media sosial (96 persen), sementara baru 39,2 persen yang menggunakan aplikasi layanan perbankan digital. Hal ini juga dilihat sebagai peluang oleh para pemodal sehingga tidak mau ketinggalan memberikan layanan perbankan digital.
Sementara bagi pemilik bank kecil, menjual saham kepada investor merupakan salah satu jalan keluar untuk memenuhi ketentuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengenai permodalan yang terus meningkat. Secara bisnis, pergerakan bank-bank kecil pun terimpit oleh sepak terjang bank lebih besar yang memberikan layanan lebih lengkap.
Jumlah bank saat ini mencapai 106 bank, tetapi pangsa pasarnya dikuasai hanya beberapa bank besar saja. Situasi itu membuat persaingan antarbank dalam mencari dana masyarakat menjadi cukup ketat.
Euforia tentang bank digital semakin besar ketika pekan lalu OJK mengeluarkan Peraturan OJK Nomor 12 Tahun 2021 tentang Bank Umum yang mencakup aturan mengenai bank digital. Aturan ini juga mencakup ketentuan penambahan modal serta persyaratan modal minimal Rp 10 triliun untuk mendirikan bank baru. Persyaratan pertambahan modal ini merupakan langkah OJK untuk melakukan konsolidasi perbankan sekaligus mendorong perkembangan bank digital.
Ada belasan bank bermodal kecil, termasuk yang merupakan perusahaan terbuka di Bursa Efek Indonesia, menjadi incaran pemodal besar untuk diubah menjadi bank digital. Rencana aksi korporasi ini membuat pergerakan harga saham bank-bank kecil lebih lincah dibandingkan dengan pergerakan saham bank besar.
Sebagian di antaranya sudah menjadi kenyataan dan bank dalam proses transformasi, sebagian masih merupakan rumor semata. Nama bank-bank kecil yang sebelumnya sayup-sayup terdengar mendadak menjadi buah bibir di kalangan investor.
Para investor ritel berharap, akuisisi saham bank mini oleh investor kakap bisa sukses seperti Bank Artos Indonesia Tbk yang bertransformasi menjadi PT Bank Jago Tbk. Saham bank yang mulanya didirikan di Bandung ini naik 8.220 persen dari Rp 195 pada 8 Agustus 2019 menjadi Rp 16.000 pada 21 Agustus 2021.
Pada akhir Desember 2019, PT Metamorfosis Ekosistem Indonesia (MEI) membeli 37,65 persen saham Bank Artos senilai Rp 179,39 miliar. Selain MEI, ada juga investor baru, yaitu Patrick Sugito Walujo, yang masuk ke Bank Artos melalui Wealth Track Technology Limited dengan kepemilikan 13,35 persen. Perubahan investor terus terjadi seiring dengan masuknya investor lain.
Per Maret 2021, investor pada PT Bank Jago Tbk adalah PT Metamorfosis Ekosistem Indonesia dengan kepemilikan saham 29,81 persen, Wealth Track Technology Limited 11,69 persen, PT Dompet Karya Anak Bangsa 21,40 persen, GIC Private Limited 9,12 persen yang merupakan pengelola investasi Pemerintah Singapura, serta publik 27,99 persen. Bank Jago Tbk sudah memulai beberapa kolaborasi seperti dengan Gojek juga dengan penyalur kredit serta platform investasi.
Akuisisi oleh investor besar juga dialami oleh PT Bank Yudha Bakti Tbk. Setelah masuk bursa, komposisi pemegang saham bank ini, antara lain, adalah PT Gozco Capital (53,82 persen), Asabri (25,49 persen), Sugeng Subroto (3,52 persen), Koperasi Karyawan BYB (5,24 persen), dan publik (11,93 persen). Kepemilikan Asabri sempat naik hingga 35,22 persen, tetapi kemudian terus menyusut.
Investor yang masuk ke Bank Yudha Bakti Tbk adalah PT Akulaku Silvrr Indonesia. Akulaku pertama kali masuk di BBYB pada awal tahun 2019 dengan mengakuisisi 8,9 persen saham PT Bank Yudha Bhakti Tbk dari PT Gozco Capital. Lama-kelamaan, kepemilikan Akulaku makin besar karena terus menambah kepemilikan dengan melalui penerbitan umum terbatas atau rights issue menjadi sebesar 24,98 persen.
Sebaliknya, kepemilikan Asabri tinggal 4,28 persen. Penurunan kepemilikan ini seiring dengan kebijakan Asabri yang mengurangi portofolio saham dan beralih ke portofolio yang lebih tidak berisiko seperti surat utang. Demikian pula kepemilikan Gozco pada Bank Yudha Bakti terus melorot hingga tersisa 18,41 persen per 10 Agustus 2021. Terkait pemilik barunya, nama Bank Yudha Bhakti diubah menjadi Neo Commerce Bank. Pemilik baru ini dikabarkan akan memoles bank yang dibelinya menjadi bank digital.
Akulaku merupakan perusahaan rintisan teknologi keuangan dari Indonesia yang beroperasi di Indonesia, Filipina, Vietnam, dan Malaysia. Akulaku memberikan layanan keuangan digital seperti kredit konsumen, investasi, dan asuransi. Akulaku telah mendapatkan suntikan modal dari Ant Financial, salah satu anak usaha dari Alibaba China. Suntikan dana tersebut diperkirakan mencapai Rp 1,45 triliun.
Lain lagi kisah Bank Oke Indonesia. Bank ini dipersunting investor Korea. Bank ini sempat beberapa kali berganti nama. Dari PT Liman International Bank pada tahun 1990 menjadi PT Bank Dinar Indonesia pada tahun 2012. APRO Financial Co Ltd dari Korea membeli 77,38 persen saham Bank Dinar senilai Rp 691 miliar.
Perusahaan penyedia pinjaman dari Korea itu juga mengakuisisi saham Bank Andara sebesar 99 persen. Bank Andara pun berganti nama menjadi PT Bank Oke Indonesia. Bank Dinar dan Bank Oke Indonesia bergabung dan menyandang nama Bank Oke Indonesia Tbk.
Komposisi kepemilikan saham PT Bank Oke Indonesia Tbk per 30 April 2021 adalah Apro Financial 92,26 persen, saham simpanan 1,26 persen, dan saham publik 6,48 persen. Pada September mendatang, Bank Oke menurut rencana akan melakukan penawaran umum terbatas untuk menambah modal. APRO Financial sudah bersedia menjadi pembeli siaga aksi korporasi yang diharapkan dapat mengalirkan dana segar sebesar Rp 500 miliar ini.
Kisah ini masih bertambah panjang. Ada PT FinAccel Teknologi Indonesia yang membeli 24 persen saham PT Bank Bisnis Internasional Tbk. FinAccel Teknologi merupakan induk dari Kredivo, perusahaan rintisan teknologi yang memberikan layanan kredit daring.
Selain itu, induk perusahaan lokapasar Shopee, Sea Group, juga telah mengakuisisi PT Bank Kesejahteraan Ekonomi. Tidak hanya perusahaan yang sudah memiliki lokapasar saja yang tertarik membuat bank digital. PT Bank Central Asia Tbk yang sudah menjadi bank mapan pun telah mengakuisisi 99,9 persen saham Bank Royal pada harga Rp 988 miliar atau setara dengan 3,1 kali dari nilai bukunya.
Investor dari Thailand tidak mau ketinggalan. Kasikornbank Public Company Limited membeli saham PT Bank Maspion Tbk, lagi-lagi hendak diubah menjadi bank digital. Masih ada beberapa kisah serupa. Hanya saja prosesnya kadang berbeda. Namun, intinya sama, yakni menunggu investor besar.
Saham bank digital merupakan salah satu kelompok saham yang memberikan banyak cuan bagi para investor. Hanya saja, fluktuasinya pun cukup besar. Para investor sebaiknya memiliki rencana investasi atau trading yang jelas dalam bertransaksi saham-saham bank digital ini. Sekaligus melaksanakan rencana itu dengan disiplin.