Pendistribusian elpiji 3 kilogram yang disubsidi negara kerap tidak tepat sasaran dan diselewengkan. Perbaikan mekanisme pendistribusian dapat menghemat uang negara hingga triliunan rupiah per tahun.
Oleh
ARIS PRASETYO
·4 menit baca
Mulanya, program konversi minyak tanah ke elpiji 3 kilogram dimaksudkan untuk menekan subsidi minyak tanah dan mengurangi emisi yang dihasilkan dari pembakaran minyak tanah. Namun, dikenalkan kepada publik sejak 2007, elpiji yang dikenal dengan sebutan ”gas melon” ini justru menciptakan subsidi yang lebih besar daripada subsidi minyak tanah. Pendistribusian yang terbuka juga menciptakan penyelewengan di lapangan.
Harga elpiji 3 kg pun tak pernah berubah sedari awal, yaitu Rp 4.750 per kg. Padahal, harga pasar elpiji per kilogram mencapai Rp 12.500 per kg di Indonesia. Dengan demikian, besaran subsidi elpiji 3 kg ada di kisaran Rp 7.750 per kg atau Rp 23.250 per tabung. Pada 2020, realisasi konsumsi elpiji 3 kg di Indonesia mencapai 7 juta ton sehingga total nilai subsidinya sekitar Rp 54 triliun.
Data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan bahwa konsumsi elpiji 3 kg terus naik dari tahun ke tahun. Dengan demikian, besaran subsidinya pun dipastikan terus membengkak. Tahun ini, laju konsumsi elpiji 3 kg diperkirakan mencapai 7,5 juta ton.
Selain anggaran subsidi yang membengkak, temuan di lapangan menunjukkan bahwa penyaluran elpiji bersubsidi tersebut tidak seluruhnya tepat sasaran. Masih kerap dijumpai elpiji bersubsidi ini dikonsumsi masyarakat yang tinggal di perumahan kelas menengah, bermobil, bahkan restoran atau rumah makan besar. Padahal, tertulis ”Hanya untuk Masyarakat Miskin” pada badan tabung gas melon itu.
Pada 2020, realisasi konsumsi elpiji 3 kg di Indonesia mencapai 7 juta ton sehingga total nilai subsidinya sekitar Rp 54 triliun.
Praktik lainnya adalah pengoplosan antara elpiji 3 kg dengan elpiji 12 kg yang merupakan elpiji nonsubsidi. Isi dari gas melon dipindahkan ke tabung gas 12 kg. Bisa juga dicampur atau bahkan isi gas tabung berukuran 12 kg seluruhnya dari empat tabung elpiji 3 kg. Setelah dioplos, gas dijual seharga gas nonsubsidi 12 kg.
Tak belajar
Kendati praktik kotor tersebut kerap ditemukan, pemerintah tak kunjung bertindak cepat. Suara-suara agar pendistribusian elpiji bersubsidi dikendalikan tak pernah digubris. Alasannya selalu sama dari tahun ke tahun: soal validasi data masyarakat yang berhak disubsidi.
Sudah terang-benderang bahwa penertiban pendistribusian elpiji 3 kg bisa menyelamatkan keuangan negara. Pernyataan itu keluar dari Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Djoko Siswanto pada 14 Januari 2020. Dalam sebuah konferensi pers, ia mengungkapkan bahwa penertiban distribusi elpiji 3 kg bisa menghemat 30 persen dari nilai subsidi elpiji dalam setahun.
Ia mengilustrasikan, apabila pengendalian distribusi elpiji diterapkan sejak Januari 2020, dengan alokasi subsidi Rp 50,6 triliun, penghematan subsidi bisa mencapai Rp 15 triliun dalam setahun (Kompas, 15/1/2020). Sayang, pandemi Covid-19 yang menghantam Indonesia sejak Maret 2020 melenyapkan rencana pengendalian distribusi elpiji.
Apabila pengendalian distribusi elpiji diterapkan sejak Januari 2020, dengan alokasi subsidi Rp 50,6 triliun, penghematan subsidi bisa mencapai Rp 15 triliun dalam setahun.
Untuk menertibkan pendistribusian elpiji 3 kg, pemerintah berencana memberikan subsidi langsung kepada masyarakat, bukan lagi subsidi pada barang. Dengan demikian, elpiji 3 kg yang beredar dijual dengan harga pasar. Sekali lagi, rencana tinggal rencana. Sampai sekarang belum ada realisasi dengan alasan perlu validasi data penerima subsidi berikut mekanisme pemberian subsidinya.
Bila mengupas kembali anggaran subsidi energi di Indonesia, ada kecenderungan terus membengkak. Pada 2019, anggaran subsidi energi (elpiji, listrik, dan bahan bakar minyak/BBM) sebesar Rp 102 triliun. Angkanya naik menjadi Rp 105,1 triliun pada 2020. Tahun ini, pemerintah memproyeksikan anggaran subsidi sebesar Rp 128,5 triliun.
Dalam konferensi pers tentang nota keuangan dan RAPBN 2022, Selasa (17/8/2021), Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan, anggaran subsidi energi pada 2022 diperkirakan mencapai Rp 134 triliun. Salah satu penyebab membengkaknya besaran subsidi adalah harga minyak mentah yang cenderung naik di level 70 dollar AS per barel. Bandingkan dengan masa pandemi tahun lalu yang sempat ada di level 25 dollar AS per barel. Selain itu, ada kecenderungan kenaikan harga minyak mentah sejalan dengan kenaikan harga gas dunia.
Di tengah tekanan fiskal akibat pandemi yang tak kunjung usai, penghematan atau penggunaan anggaran yang tepat sasaran sangatlah berarti. Penghematan subsidi elpiji Rp 15 triliun per tahun seperti yang disinggung di atas bukanlah angka yang kecil. Pertanyaan yang belum terjawab hingga kini: sampai kapan pemerintah akan membiarkan saja penyaluran elpiji bersubsidi tak tepat sasaran?