Komitmen pemerintah dinantikan untuk menjawab penantian panjang, yakni konsistensi Indonesia dalam memberantas penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
Tren pencurian ikan dan penangkapan ikan merusak ditengarai merebak dan semakin nekat. Pelanggaran itu tidak hanya dilakukan oleh kapal-kapal ikan asing, tetapi juga kapal dalam negeri. Pemberantasan praktik perikanan ilegal masih menjadi tantangan.
Selama Januari hingga pertengahan Juli 2021, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menangkap 124 kapal ilegal, terdiri dari 81 kapal ikan Indonesia yang melanggar dan 43 kapal ikan asing yang mencuri ikan. Sepanjang 2020, kapal ikan yang ditangkap sebanyak 88 kapal, meliputi 35 kapal ikan Indonesia dan 53 kapal asing. Adapun di tahun 2019, kapal ilegal yang ditangkap berjumlah 107 kapal, meliputi 48 kapal Indonesia dan 59 kapal asing.
Sementara itu, kasus penangkapan ikan dengan cara yang merusak yang ditangani KKP pada semester I-2021 berjumlah 24 kasus. Tahun 2020, kasus penangkapan ikan dengan cara merusak yang ditangani berjumlah 28 kasus, dan tahun 2019 sebanyak 20 kasus. Penangkapan ikan merusak mencakup pengeboman, serta penggunaan racun dan setrum.
Dua jenis pelanggaran itu, baik penangkapan ikan ilegal maupun penangkapan ikan dengan cara merusak, kini cenderung meningkat. Kedua jenis pelanggaran itu terindikasi terorganisasi, di mana pencurian ikan oleh kapal-kapal asing melibatkan komplotan pelaku di luar negeri dengan pemakaian alat tangkap yang rata-rata merusak, seperti pukat ikan atau pukat harimau (trawl).
Selama Januari hingga pertengahan Juli 2021, Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menangkap 124 kapal ilegal, terdiri dari 81 kapal ikan Indonesia yang melanggar dan 43 kapal ikan asing yang mencuri ikan.
Adapun pelanggaran oleh kapal-kapal ikan dalam negeri dikelompokkan ke dalam 12 modus, seperti penggunaan alat tangkap jenis trawl, manipulasi dengan mengecilkan ukuran kapal (mark down), pelanggaran jalur penangkapan, dan tidak mendaratkan ikan di pulau pangkalan. Selain itu, pemalsuan dokumen kapal, registrasi kapal ganda, alih muatan kapal (transshipment) di tengah laut, mematikan peralatan sistem monitor kapal dan sistem identifikasi otomatis di kapal.
Sejak beberapa tahun terakhir, KKP telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk memerangi penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (IUU Fishing), antara lain dengan memperkuat patroli pengawasan, bersinergi dengan penegak hukum, serta tidak memberikan izin penangkapan ikan pada kapal asing. Sebagian kapal-kapal asing ilegal juga ditenggelamkan untuk memberikan efek jera.
Di tengah kasus perikanan ilegal yang kembali marak, pemerintah telah memastikan pengawasan dan penegakan hukum terus ditegakkan. Namun, kapal-kapal asing ilegal yang dirampas tidak lagi wajib ditenggelamkan. Kapal-kapal sitaan itu rencananya akan dimanfaatkan untuk dihibahkan ke kelompok nelayan ataupun lembaga pendidikan.
Di sisi lain, pemerintah berencana menghadang kapal-kapal ikan asing di perairan perbatasan dengan menghidupkan kembali kapal-kapal dalam negeri berukuran besar yang menggunakan pukat ikan. Padahal, selama ini, pemerintah melarang penggunaan alat tangkap pukat ikan dan sejenisnya yang merusak di perairan teritorial.
Penggunaan jenis pukat ikan akan segera dibuka di perairan perbatasan, seperti di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) 711 Laut Natuna Utara, Laut China Selatan, dan Selat Malaka, serta WPP-RI 572 meliputi perairan Samudra Hindia sebelah barat Sumatera dan Selat Sunda. Selain itu, WPP-RI 573 meliputi perairan Samudra Hindia sebelah selatan Jawa hingga sebelah selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor bagian barat yang dapat memanfaatkan pukat laut dalam (deep sea trawl).
Kapal-kapal asing ilegal yang dirampas tidak lagi wajib ditenggelamkan. Kapal-kapal sitaan itu rencananya akan dimanfaatkan untuk dihibahkan ke kelompok nelayan ataupun lembaga pendidikan.
Pembukaan secara terbatas kapal-kapal dengan alat tangkap terlarang di perbatasan membawa konsekuensi terhadap pengawasan operasional. Kerap terjadi, pukat ikan beroperasi dekat dengan perairan pantai yang menjadi wilayah tangkap nelayan kecil. Sebelumnya, pemerintah pernah merelokasi puluhan kapal cantrang yang dilarang asal Jawa untuk menangkap di perbatasan Laut Natuna Utara, tetapi menuai kegagalan. Sebaliknya, muncul konflik dengan nelayan setempat karena kapal cantrang ditengarai masuk ke wilayah tangkapan nelayan kecil.
Tantangan menghadapi perikanan ilegal dan merusak tidak cukup dengan sinergi dan penguatan pengawasan, tetapi juga konsistensi kebijakan untuk menutup celah-celah pelanggaran hingga komitmen memberikan efek jera bagi pelaku.
Pada penangkapan ikan yang merusak, pelanggaran yang didominasi pelaku dalam negeri itu melibatkan nelayan kecil. Namun, jaringan pelanggaran melibatkan pelaku di ”daratan”, antara lain pemasok bom ikan, alat setrum, dan alat perusak lain. Upaya mengatasi pelanggaran itu tidak cukup dengan penegakan hukum dan sosialisasi ke nelayan, tetapi menutup jalur pemasok alat-alat perusak hingga pemasaran ikan-ikan dari hasil praktik yang merusak.
Komitmen pemerintah dinantikan untuk menjawab penantian panjang, yakni konsistensi Indonesia dalam memberantas penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur.