Bisnis Properti untuk Akomodasi Kian Menantang
Seperti perhotelan, bisnis penyedia layanan pengelolaan bersama properti untuk penginapan dan tempat tinggal berjangka pendek juga terdampak pandemi Covid-19. Hal ini menghadirkan sejumlah tantangan yang mesti dihadapi.
Di tengah pandemi Covid-19, tantangan bisnis pengelolaan bersama properti untuk penginapan ataupun hunian tempat tinggal bukan hanya pembatasan sosial dan standar kebersihan. Keamanan, transparansi biaya, hingga manajemen internal tetap jadi tantangan besar bagi perusahaan rintisan bidang teknologi yang terjun ke bisnis itu.
Baru-baru ini, OYO mengumumkan meraih pendanaan kredit berjangka dalam bentuk term loan B sebesar 600 juta dollar AS dari sejumlah investor institusi global. Total pendanaan yang diraih ini lebih tinggi 1,7 kali lipat dari target awal OYO.
Moody’s and Fitch Rating memberikan rating B3 dan B terhadap kredit itu. JP Morgan, Deutsche Bank, dan Mizuho Securities merupakan pengatur utama dalam pendanaan kredit yang diterima OYO. Dalam pernyataan resmi, OYO mengatakan akan menggunakan kredit berjangka 660 juta dollar AS itu untuk mempercepat penyelesaian kredit berbiaya tinggi, memperkuat neraca keuangan perusahaan, dan pengembangan teknologi produk.
Chief Financial Officer OYO Global Abhisek Gupta kepada Kompas, Jumat (16/7/2021) malam, menjelaskan, sebelum memperoleh pendanaan kredit berjangka itu, OYO telah memiliki dana kas yang cukup untuk mengelola utang-utang yang ada sebelumnya. Pembiayaan baru (financing exercise) dimaksudkan untuk menyederhanakan struktur permodalan perusahaan dan memungkinkan perusahaan bisa terus tumbuh dalam jangka panjang.
”Pendanaan yang kami terima ini akan menggantikan berbagai struktur permodalan perusahaan yang saat ini terdiri atas berbagai komponen pendanaan dengan syarat berbeda-beda untuk disatukan menjadi fasilitas jangka panjang. Pendanaan ini juga akan membantu kami untuk mengelola neraca keuangan internal,” ujarnya.
Abhisek meyakini, perolehan pendanaan kredit berjangka itu sebagai bentuk kepercayaan investor global, terutama investor berlatar belakang institusi. Dengan kata lain, rekam jejak kinerja bisnis OYO masih dinilai positif oleh investor.
OYO saat ini hadir di lebih dari 80 negara, termasuk Indonesia. Produk OYO meliputi CO-OYO, OYO OS, OYO YO!, OYO Tariff Manager, OYO Secure, OYO Wizard, dan aplikasi OYO. Aplikasi OYO diunduh lebih dari 91 juta kali dan menjadi aplikasi perjalanan wisata ketiga terbaik secara global. OYO OS digunakan oleh lebih dari 96 persen mitra pengembang ataupun pemilik properti di seluruh dunia.
Menurut dia, pasar terbesar OYO masih India dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Kedua pasar ini masih menunjukkan profitabilitas lebih baik, bahkan di tengah tantangan ekonomi karena pandemi Covid-19 yang memukul industri pariwisata.
Proyeksi penurunan
Kebanyakan negara masih menutup diri dari kunjungan wisatawan mancanegara hingga pertengahan Juni 2021. Organisasi Pariwisata Dunia PBB (UNWTO) memprediksi kedatangan wisatawan mancanegara pada 2021 turun 87 persen dibandingkan tahun 2020. Negara kawasan Asia Pasifik mengalami dampak parah dengan proyeksi penurunan sampai 96 persen.
UNWTO memprediksi kedatangan wisatawan mancanegara pada 2021 turun 87 persen dibandingkan tahun 2020. Negara kawasan Asia Pasifik mengalami dampak parah dengan proyeksi penurunan sampai 96 persen.
Pada pandemi Covid-19 tahun 2020, perusahaan teknologi yang punya bisnis pengelolaan bersama untuk penginapan ataupun hunian tempat tinggal dikabarkan turut melakukan pemutusan hubungan kerja.
Mengutip KRAsia, RedDoorz mengumumkan pemutusan hubungan kerja kurang dari 10 persen dari tenaga kerjanya di seluruh Indonesia, Vietnam, dan Filipina. Keputusan ini diambil setelah volume pemesanan hotel turun 80 persen pada April 2020. Pada bulan yang sama, OYO merumahkan karyawan di Amerika Serikat dan ”pasar tertentu lainnya” tanpa menyebut detail jumlah karyawan.
Untuk bertahan di tengah ketidakpastian pandemi Covid-19, RedDoorz dan OYO berusaha mengoptimalkan potensi wisatawan domestik serta fenomena staycation. Segmen pelanggan premium juga coba dimaksimalkan, seperti RedDoorz meluncurkan Hotel Sunerra dan OYO dengan Collection O.
Pada awal Mei 2020, Airbnb mengumumkan sekitar 25 persen dari 7.500 karyawan diberhentikan. Co-Founder dan CEO Airbnb Brian Chesky mengatakan, keputusan itu diambil karena Airbnb harus memetakan kembali fokus bisnis mereka yang terdampak pandemi. Airbnb bahkan menutup beberapa lini usaha, seperti transportasi dan hiburan, demi fokus ke inti bisnis, yaitu penginapan. Keputusan itu membuat valuasi perusahaan turun dari 31 miliar dollar AS menjadi sekitar 18 miliar dollar AS.
Baca juga: Tingkat Hunian Hotel Diprediksi Turun Jadi 10-15 Persen
Head of Research and Consultancy Savills Indonesia Anton Sitorus saat dihubungi, Minggu (25/7/2021), di Jakarta, mengatakan, keberadaan properti penginapan atau tempat tinggal yang dikelola bersama dengan perusahaan rintisan teknologi masih punya potensi selama pandemi Covid-19. Salah satu potensinya ialah sebagai alternatif layanan isolasi dan karantina.
”Namun, perhatian warga sekarang terhadap kebersihan, kesehatan, dan keamanan semakin tinggi. Sebelum pandemi Covid-19, tiga hal itu menjadi isu warga yang akan menginap atau bertempat tinggal jangka pendek di properti yang dikelola Airbnb, OYO, RedDoorz, dan perusahaan rintisan bidang teknologi sejenis. Secanggih dan (bagaimanapun) komprehensif standar layanan mereka, warga tetap akan membandingkan dengan standar hotel,” ujar Anton.
Apabila perusahaan rintisan bidang teknologi pengelola properti bersama itu masih dapat pendanaan, Anton menilai hal itu wajar. Artinya, para investor masih melihat bahwa bisnis mereka masih punya masa depan pada jangka panjang.
Selain ketiga isu tersebut, tantangan lain para perusahaan rintisan bidang teknologi tersebut adalah transparansi biaya kepada pengembang dan pemilik properti. Walaupun mereka punya standar biaya, masih banyak warga yang punya properti merasa tidak mendapat informasi yang akuntabel.
”Isu inti mereka sebenarnya adalah manajemen internal. Urusan organisasi, seperti perhitungan valuasi perusahaan, dan cara mereka menciptakan layanan sehingga dapat kepercayaan publik,” kata Anton.
Di seluruh platform teknologi berbagi pengelolaan properti untuk hunian tempat tinggal bersama, menurut laporan riset perusahaan pembanding hotel STR dan analis sewa jangka pendek AirDNA (2020), tingkat hunian turun hampir setengahnya antara pertengahan Maret dan akhir Juni 2020 menjadi kisaran 33 persen dan 36 persen. Sementara untuk hotel, rata-rata okupansi turun menjadi 17,5 persen. Riset STR dan AirDNA ini menyasar 27 pasar global.
Di seluruh platform teknologi berbagi pengelolaan properti untuk hunian tempat tinggal bersama, menurut laporan riset perusahaan pembanding hotel STR dan analis sewa jangka pendek AirDNA (2020), tingkat hunian turun hampir setengahnya antara pertengahan Maret dan akhir Juni 2020 menjadi kisaran 33 persen dan 36 persen. Sementara untuk hotel, rata-rata okupansi turun menjadi 17,5 persen. Riset STR dan AirDNA ini menyasar 27 pasar global.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, tingkat penghunian kamar (TPK) khusus hotel klasifikasi berbintang di Indonesia pada Mei 2021 rata-rata 31,97 persen atau naik dari 14,45 persen pada Mei 2020. Namun, jika dibandingkan dengan TPK pada April 2021, TPK Mei 2021 menurun sebesar 2,66 poin.
Mobilitas manusia
Wakil Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia Bidang Regulasi Bangunan Bertingkat Gede Widiade, secara terpisah, berpendapat, untuk jangka pendek, menyerahkan properti untuk dikelola bersama dengan perusahaan rintisan bidang teknologi hospitality bukan strategi yang akan berdampak optimal. Apalagi, propertinya diperuntukkan sebagai penginapan atau tempat tinggal sewa jangka pendek yang berkaitan langsung dengan perjalanan wisata.
”Pandemi Covid-19 menyebabkan pembatasan sosial alias mobilitas manusia jadi terbatas. Pengembang atau pemilik properti butuh usaha ekstra jika propertinya diserahkan untuk dikelola bersama perusahaan rintisan bidang teknologi hospitality,” ujarnya.
Properti kategori dan segmen tertentu masih diburu masyarakat, semisal properti rumah tapak. Kategori ini laku selama pandemi Covid-19.
Meski demikian, kata Gede, bisnis pengelolaan properti bersama dengan perusahaan rintisan bidang teknologi hospitality punya potensi pada jangka panjang. Ini berkait dengan sejauh mana mobilitas manusia pulih sehingga berpengaruh kuat ke perekonomian.
Untuk jangka panjang, jika dikaitkan dengan industri properti yang mungkin lesu, pengembang ataupun pemilik properti bisa berpikir untuk menyerahkan pengelolaan ke perusahaan rintisan bidang teknologi hospitality.
Untuk jangka panjang, jika dikaitkan dengan industri properti yang mungkin lesu, pengembang ataupun pemilik properti bisa berpikir untuk menyerahkan pengelolaan ke perusahaan rintisan bidang teknologi hospitality.
”Kita tidak tahu apakah pada masa depan, warga bepergian amat memperhatikan akomodasi penginapan atau tempat tinggal jangka pendek berbiaya lebih murah atau tidak. Jika jawabannya iya, mereka mungkin memilih properti yang dikelola bersama para perusahaan rintisan bidang teknologi dibanding ke hotel,” kata Gede.
Baca juga: Hotel Terjangkau RedDoorz Lebih Dilirik untuk Perjalanan Bisnis