Pencurian ikan oleh nelayan asing di wilayah perairan Indonesia terus terjadi dengan modus yang semakin beragam. Di sisi lain, sejumlah awak kapal perikanan di luar negeri masih minim perlindungan.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masa pandemi Covid-19 tak menyurutkan praktik penangkapan ikan secara ilegal. Pencurian ikan oleh kapal asing di perairan Indonesia terus berlangsung. Kapal ilegal yang dihadang aparat pengawasan bahkan kerap nekat melarikan diri dengan melawan aparat.
Selama Januari-Juni 2021, jumlah kapal ikan asing yang ditangkap aparat mencapai 44 kapal, jumlah itu terdiri dari 15 kapal berbendera Malaysia, 6 kapal berbendera Filipina, dan 23 kapal berbendera Vietnam. Pada 2020, kapal ikan asing yang ditangkap mencapai 91 kapal.
Direktur Pemantauan dan Operasi Armada Kementerian Kelautan dan Perikanan Pung Nugroho Saksono menyampaikan info terkini, yakni penangkapan kapal ikan asal Malaysia oleh kapal pengawasan Kementerian Kelautan dan Perikanan Hiu 12 pada 28 Juli 2021. Kapal asing ilegal PKFB 103 yang berawak empat warga Myanmar itu mencuri di WPP RI 571 Selat Malaka dengan alat tangkap pukat harimau (trawl) yang merusak.
Pengejaran kapal ilegal itu sempat terhambat karena baling-baling kapal pengawas terlilit tali yang dilempar para pencuri ikan tersebut. Para awak kapal pencuri berupaya melawan aparat untuk meloloskan diri dari pengejaran.
”Kapal-kapal asing ilegal kini semakin nekat mencuri dengan memanfaatkan masa pandemi serta berusaha keras mengelabui dan meloloskan diri dari pengejaran aparat. Kapal-kapal asing yang ditangkap pasti disita negara,” ujar Pung saat dihubungi, Kamis (29/7/2021).
Kapal-kapal asing ilegal kini semakin nekat mencuri dengan memanfaatkan masa pandemi.
Pada pertengahan Juli 2021, penangkapan kapal ikan asing berbendera Malaysia KHF 1764 di Selat Malaka juga diwarnai insiden, yakni kapal itu menghalangi aparat dengan jeratan tali dan alat tangkap trawl agar bisa meloloskan diri. Setelah pengejaran oleh aparat, kapal itu bisa diringkus dan dibawa ke pangkalan Pengawas Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Batam.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Muhammad Zaini Hanafi mengemukakan, Selat Malaka kerap dimasuki kapal ikan berbendera Malaysia yang menggunakan kapal pukat dan trawl. Sejumlah kapal pencuri ikan itu juga mempekerjakan anak buah kapal asal Indonesia.
Minim perlindungan
Field Fasilitator Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia untuk proyek SAFE Seas (Safeguarding Against and Addressing Fishers’ Exploitation at Sea) Januar Triadi mengatakan, awak kapal perikanan Indonesia yang bekerja di luar negeri masih rentan dan berisiko tinggi. Lemahnya perlindungan, keterbatasan informasi, dan sistem perekrutan menyebabkan sejumlah awak kapal perikanan migran Indonesia menjadi korban kerja paksa.
Dari data Fishers Center, sepanjang 2020, terdapat 40 laporan pengaduan yang dilakukan awak kapal perikanan. Dari jumlah itu, 64,32 persen kasus menimpa awak kapal Indonesia yang bekerja di kapal ikan luar negeri.
”Mereka (awak kapal Indonesia) rentan tereksploitasi dan terjebak penipuan, pemalsuan dokumen, kontrak kerja, upah yang tidak dibayarkan, dan waktu kerja yang panjang,” kata Januar.
Menurut Januar, pihaknya terus mendorong terbangunnya sistem perlindungan awak kapal perikanan berbasis masyarakat melalui pembentukan kelompok kader pelindungan awak kapal perikanan. Ia mencontohkan, di desa Kramat, Kecamatan Kramat, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, saat ini terdapat 674 warga yang berprofesi sebagai anak buah kapal (ABK) dan nakhoda atau 10,7 persen dari 6.280 warga Desa Kramat.
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan mengatakan, desa dan kelurahan mestinya menjadi ujung tombak perlindungan awak kapal perikanan di Indonesia. Keberadaan kelompok kader ini akan membantu dan bersinergi dengan pemerintah desa untuk melakukan verifikasi data dan pencatatan calon pekerja migran Indonesia.