Tahun 2021 diharapkan menjadi tahun kebangkitan industri perbankan setelah terpuruk pada 2020 akibat pandemi Covid-19 yang meluluhlantakkan sendi-sendi perekonomian.
Oleh
Benediktus Krisna Yogatama
·3 menit baca
Tahun 2021 diharapkan menjadi tahun kebangkitan industri perbankan setelah terpuruk pada 2020 akibat pandemi Covid-19 yang meluluhlantakkan sendi-sendi perekonomian. Meskipun pandemi belum dapat dipastikan kapan berakhir, berbagai indikator selama semester I-2021 menunjukkan mulai terjadi perbaikan dan pemulihan ekonomi.
Tahun 2020 meninggalkan kenangan pahit bagi perbankan. Ini tecermin dari pertumbuhan kredit yang terkontraksi minus 2,76 persen pada akhir 2020. Capaian ini jauh di bawah rata-rata pertumbuhan penyaluran kredit dalam lima tahun terakhir yang mencapai 6,5 persen per tahun.
Memasuki tahun 2021, optimisme perbankan mulai tumbuh. Ini didasarkan atas target pertumbuhan ekonomi tahun 2021 yang positif, berkisar 4,5-5,5 persen. Begitu pula dengan pertumbuhan kredit perbankan yang ditargetkan tumbuh 7-9 persen tahun ini. Optimisme ini juga ditopang dengan dimulainya program vaksinasi untuk masyarakat Indonesia.
Pertumbuhan ekonomi triwulan pertama tahun ini memang masih negatif 0,74 persen. Namun, angka itu terus membaik dibandingkan dengan triwulan-triwulan sebelumnya, yakni minus 2,19 persen pada triwulan IV-2020, minus 3,49 persen pada triwulan ketiga 2020, dan minus 5,32 persen triwulan II-2020. Pada triwulan kedua tahun ini, ekonomi Indonesia diperkirakan kembali ke jalur positif dengan proyeksi pertumbuhan 6-7 persen.
Indikator lainnya juga menunjukkan angin segar pemulihan ekonomi. Indeks Manajer Pembelian (purchasing managers index/PMI) Indonesia terus mencatatkan pertumbuhan hingga mencatat rekor tertinggi di level 55,3 pada Mei lalu. Angka PMI di atas 50 menandakan sektor manufaktur berada dalam ekspansi.
Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, BI juga terus melonggarkan kebijakan moneter dengan menurunkan suku bunga acuan ke level 3,5 persen, terendah sepanjang sejarah republik.
Seiring dengan itu, suku bunga kredit perbankan terus menurun. Tingkat suku bunga dasar kredit (SBDK) perbankan per Mei 2021 berada pada level 8,86 persen, menurun 169 basis poin (bps) dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Dengan rezim suku bunga rendah ini, sektor riil dan masyarakat diharapkan terdorong untuk mengambil kredit perbankan.
Terbukti, selama 2021, penyaluran kredit perbankan perlahan mulai membaik. Kontraksi penyaluran kredit mulai mengecil. Pertumbuhan kredit per Maret yang minus 3,77 persen secara tahunan mengecil pada April dengan minus 2,28 persen, dan terus mengecil pada Mei sebesar minus 1,23 persen.
Akhirnya, pertumbuhan kredit kembali ke jalur pertumbuhan positif pada Juni 2021 sebesar 0,59 persen. Ini merupakan kali pertama pertumbuhan kredit tercatat positif setelah selama 8 bulan berturut-turut sejak Oktober 2020 selalu negatif.
Lonjakan kasus
Namun, menjelang akhir Juni, harapan perbankan untuk bangkit kembali meredup. Akibat cepatnya penularan varian Delta, kasus Covid-19 melonjak drastis sehingga memaksa pemerintah menginjak rem dalam-dalam dengan menerapkan pemberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat yang diteruskan dengan PPKM level 4.
Ekonomi pun kembali terpuruk. Pemerintah langsung merevisi ke bawah target pertumbuhan ekonomi menjadi 3,7-4,5 persen. BI juga mengoreksi pertumbuhan ekonomi menjadi 3,5 persen-4,3 persen. Tak hanya itu, BI pun menurunkan target pertumbuhan kredit menjadi 4-6 persen.
Perbankan kembali berpikir keras bagaimana tetap bisa bertahan di tengah ekonomi yang kembali lesu dan penyaluran kredit yang mandek. Selama ini perbankan bertahan salah satunya dengan mencari untung melalui pembelian surat berharga negara (SBN).
Pada 2020, dari total Rp 1.177,2 triliun SBN neto yang diterbitkan pemerintah, perbankan menjadi pembeli terbanyak, yakni sebesar Rp 753,4 triliun atau 64,28 persen dari keseluruhan. BI selaku bank sentral membeli sebanyak Rp 234,71 triliun. Sisanya, SBN dibeli oleh lembaga asuransi, dana pensiun, reksadana, lembaga lain, dan perorangan.
Tahun ini, perbankan diperkirakan masih menjalankan strategi serupa. Perbankan akan kembali memborong SBN. Apalagi, likuiditas perbankan masih sangat tinggi seiring longgarnya kebijakan moneter.