Izin Kapal Pukat Ikan Dibuka untuk Wilayah Perbatasan
Pemerintah akan membuka izin kapal pukat ikan untuk menghadang kapal-kapal ikan asing ilegal di perairan perbatasan negara. Penangkapan ikan terukur perlu dilakukan dengan prinsip kehati-hatian.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah sebenarnya telah melarang penggunaan alat tangkap pukat ikan dan sejenisnya di perairan teritorial. Namun, penggunaan jenis pukat ikan akan dibuka di perairan perbatasan negara guna menghalau nelayan asing yang kerap mencuri ikan dengan menggunakan pukat harimau atau trawl.
Larangan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia dan Laut Lepas serta Penataan Andon Penangkapan Ikan. Regulasi itu diundangkan pada 4 Juni 2021.
Pada Pasal 7 Ayat 3 regulasi itu disebutkan, alat penangkapan ikan yang dikategorikan mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan untuk kategori jaring tarik meliputi cantrang dan sejenisnya. Ada enam jenis jaring hela yang dilarang penggunaannya, antara lain pukat ikan, pukat hela dasar berpalang, pukat hela dasar udang, pukat hela dasar dua kapal, dan pukat hela pertengahan dua kapal.
Penggunaan cantrang dan sejenisnya kini diganti jaring tarik berkantong. Adapun penggunaan pukat ikan diganti dengan jaring hela ikan berkantong.
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Muhammad Zaini Hanafi mengatakan, pemanfaatan alat tangkap jenis pukat ikan bertujuan mengatasi masalah sumber daya ikan yang selalu dicuri oleh kapal asing di wilayah perbatasan yang masih menjadi sengketa. Di perbatasan itu, kapal-kapal ikan asing ilegal yang masuk kerap menggunakan pukat harimau dan pukat harimau ganda (pair trawl).
”Relaksasi ini untuk menyaingi kapal-kapal ikan asing ilegal di perbatasan yang menggunakan trawl,” kata Zaini dalam Bincang Bahari: ”Tata Kelola Penangkapan Ikan untuk Indonesia Makmur dan Kupas Tuntas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18 Tahun 2021”, secara daring, Selasa (27/7/2021).
Penggunaan jenis alat tangkap pukat ikan akan dibuka di beberapa perairan perbatasan, meliputi wilayah pengelolaan perikanan (WPP) 711 Laut Natuna Utara dan Laut China selatan yang kerap dimasuki kapal-kapal pencuri ikan asal Vietnam dengan alat tangkap trawl.
Penggunaan pukat ikan juga akan dibuka di perbatasan Selat Malaka dengan wilayah tangkapan di atas 20 mil. Selat Malaka dinilai kerap dimasuki kapal ikan berbendera Malaysia yang menggunakan kapal pukat dan trawl. Bahkan, muncul modus baru di mana kapal-kapal Malaysia mempekerjakan anak buah kapal asal Indonesia.
Adapun untuk perairan WPP-RI 572 meliputi perairan Samudra Hindia sebelah barat Sumatera dan Selat Sunda, serta WPP-RI 573 meliputi perairan Samudra Hindia sebelah selatan Jawa hingga sebelah selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor bagian barat dapat dimanfaatkan dengan pukat laut dalam (deep sea trawl), di mana potensinya dinilai sangat besar, tetapi belum termanfaatkan. ”Mudah-mudahan ada (investor) yang berminat karena ukuran kapal untuk perairan yang sangat dalam harus ribuan gros ton,” kata Zaini.
Zaini menambahkan, pihaknya akan mengatur agar wilayah operasional dan ordinat kapal-kapal pukat ikan tidak berbenturan dengan nelayan kecil. Sebelumnya, pemerintah telah merelokasi puluhan kapal cantrang asal Jawa untuk menangkap di perbatasan WPP RI 711, meliputi Laut Natuna Utara, tetapi gagal.
Penangkapan terukur
Pemerintah akan mendorong penangkapan terukur guna mengurai ketimpangan pemanfaatan perikanan antarwilayah, terutama antara wilayah barat dan timur Indonesia. Terdapat sejumlah wilayah pengelolaan perikanan (WPP) RI yang dinilai masih bisa dioptimalkan untuk menggenjot produksi ikan.
Menurut Zaini, terdapat 6 WPP RI yang akan digarap industri perikanan, meliputi WPP-RI 711, 572, dan 573, WPP-RI 718 meliputi Laut Arafura, WPP-RI 717 meliputi Teluk Cendrawasih dan Samudra Pasifik, serta WPP-RI 716 meliputi perairan Laut Sulawesi dan sebelah utara Pulau Halmahera. Enam WPP-RI itu dinilai belum mengalami penangkapan ikan berlebih (overfishing). Izin kapal dan alat tangkap ikan akan disesuaikan dengan jenis ikan yang ditangkap di WPP tersebut.
Ia mencontohkan, di Laut Arafura, hasil tangkapan perikanan yang potensial, antara lain, ialah pukat cincin (purse seine) pelagis besar, ikan demersal, udang, dan pukat cincin pelagis kecil. ”Sudah kami rancang kapal untuk menangkap pelagis besar dengan tambahan 3.000 kapal,” katanya.
Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Riza Damanik mengemukakan, kebijakan pemerintah terkait dengan penangkapan terukur perlu diakselerasi dengan percepatan penyediaan sarana dan prasarana perikanan. Selama ini, terjadi ketimpangan sarana dan prasarana perikanan yang menyebabkan pemanfaatan ikan belum sejalan dengan potensi sumber daya.
Potensi ikan di wilayah timur Indonesia mencapai 60 persen dari total potensi nasional, tetapi jumlah kapal ikan di sana hanya 41 persen dari total armada perikanan nasional. Sebaliknya, potensi ikan di barat Indonesia hanya 40 persen, sedangkan kapal ikan di wilayah barat mencapai 59 persen dari total armada.
Ketimpangan juga tecermin dalam pemanfaatan perairan teritorial, zona ekonomi eksklusif Indonesia dan laut lepas. Sebanyak 14.725 kapal atau 76 persen dari total armada perikanan beroperasi di perairan di bawah 12 mil, sedangkan perairan ZEEI hanya 5.325 kapal atau 24 persen. Di laut lepas, hanya tercatat 571 kapal ikan yang beroperasi.
”Terobosan Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk mendorong penangkapan ikan terukur diharapkan mendorong pemanfaatan sumber daya ikan yang berkeadilan sehingga lebih optimal di perairan teritorial, ZEEI, dan laut lepas. Selain itu, prinsip kehati-hatian, di mana penangkapan ikan dengan alat tangkap yang diperbolehkan harus mempertimbangkan alokasi sumber daya ikan, serta penangkapan yang berlebih dikendalikan,” katanya.
Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University Ari Purbayanto mengemukakan, penangkapan terukur harus berbasis validasi data dari Komisi Nasional Kajian Sumber Daya Ikan (Komnas Kajiskan). Hingga kini, Komnas Kajiskan masih menghadapi kendala mendapatkan data dengan validitas bagus. ”Ini menjadi tantangan kita,” ujar Ari yang juga anggota Komnas Kajiskan.
Adapun terkait dengan penggunaan pukat ikan, pemerintah perlu memastikan lokasi operasional serta mekanisme pengawasan guna mencegah pelanggaran dan memberikan perlindungan nelayan kecil. Kerap terjadi, pukat ikan beroperasi dekat dengan perairan pantai yang menjadi wilayah tangkap nelayan kecil.