Marak Pemasaran Hiper-personalisasi
Hiper-personalisasi dalam aktivitas pemasaran semakin mengukuhkan etos bahwa pemilik merek yang sukses mesti memahami kebutuhan personal konsumen.
Konsep hiper-personalisasi dalam aktivitas pemasaran kini makin marak dipakai oleh pemilik merek produk. Konsep ini mulai dipandang sebagai syarat penting agar produsen bisa mengikuti tren perilaku konsumen.
Konsep hiper-personalisasi dalam Kamus Oxford ”Media Sosial” disebut sebagai komunikasi yang hiper-personal. Ini merupakan fenomena komunikasi yang dimediasi komputer, menimbulkan interaksi satu per satu kepada individu secara intim. Fenomena komunikasi ini kerap dikaitkan dengan kecenderungan untuk mengidealkan orang lain tanpa adanya isyarat nonverbal yang tersedia dalam situasi yang sama secara tatap muka.
General Manager for Southeast Asia, Australia, and New Zealand MoEngage Saurabh Madan, Jumat (25/6/2021), di Jakarta, mengatakan, konsep hiper-personalisasi dalam aktivitas pemasaran sebagian besar dipicu oleh kemajuan perkembangan teknologi digital. Teknologi mesin pembelajaran, kecerdasan buatan, dan identifikasi biometrik semakin saling terintegrasi. Hal ini membuat penyesuaian-penyesuaian promosi ke konsumen menjadi lebih personal.
Teknologi mesin pembelajaran, kecerdasan buatan, dan identifikasi biometrik semakin saling terintegrasi. Hal ini membuat penyesuaian-penyesuaian promosi ke konsumen menjadi lebih personal.
Bagi pasar transaksi daring Asia Tenggara, termasuk Indonesia, konsep hiper-personalisasi dalam aktivitas pemasaran semakin relevan diterapkan. Pasar kawasan ini sudah akrab dengan internet dan berani bertransaksi daring dari ponsel pintar mereka. Sejumlah merek produk barang dan jasa akhirnya menerapkan strategi pemasaran bergerak atau mobile marketing, seperti promosi melalui aplikasi perusahaan mereka sendiri.
”Para pemilik merek barang dan jasa tersebut bekerja sama dengan perusahaan teknologi yang mengumpulkan ataupun mengolah mahadata perilaku konsumen. Dengan bantuan teknologi mesin pembelajaran dan kecerdasan buatan yang diciptakan perusahaan teknologi, pemilik merek bisa menyebarkan promo sesuai karakter konsumen, yang jenis barang/jasa dan waktu penyebarannya sangat personal,” ujar Saurabh.
Dia lantas memberikan ilustrasi. Seorang konsumen berbelanja sejumlah barang di platform perdagangan secara elektronik atau e-dagang, lalu konsumen bersangkutan lupa menyelesaikan pembayaran. Pemilik platform bersangkutan pun akan segera mengirimkan notifikasi ke alamat surat elektronik (surel) konsumen terkait transaksi yang belum selesai itu.
Contoh lain, seorang konsumen suka memilih dan membeli ponsel pintar beserta aksesori dengan spesifikasi tertentu di platform perdagangan. Selama kurun waktu enam bulan dia tidak berbelanja sama sekali. Akan tetapi, platform perdagangan tetap memberikan informasi promosi gawai yang sesuai serta relevan dengan jejak perilaku konsumen itu.
”Dengan mesin pembelajaran ataupun teknologi kecerdasan buatan, sistem pemasaran semakin pintar mengirimkan konten promo sesuai perilaku konsumen, bahkan (sesuai pola) waktu konsumen itu suka berselancar membaca promo. Para praktisi pemasaran tidak perlu lagi membuat penanda waktu pengiriman konten,” katanya.
Makin relevan
MoEngage merupakan perusahaan perangkat lunak untuk kebutuhan pemasaran, termasuk yang berkonsep hiper-personalisasi. Sistem MoEngage bekerja dengan cara mengumpulkan dan menganalisis perilaku konsumen, lalu menjadikannya sebagai bahan strategi pemasaran bagi pemilik merek mitra MoEngage. Perusahaan ini telah beroperasi sekitar tujuh tahun serta memiliki perwakilan di Indonesia.
Saat ini, di Indonesia, MoEngage menjadi mitra 65-70 perusahaan dari beragam sektor industri, seperti e-dagang, maskapai penerbangan, perbankan, telekomunikasi, dan usaha rintisan bidang teknologi keuangan. Sebutlah JD.ID, Blibli.com, dan Citilink. Baru-baru ini, MoEngage juga bekerja sama dengan salah satu grup media massa nasional.
Saurabh memandang, diskon ataupun konten yang telah mengalami perlakuan hiper-personalisasi akan semakin relevan. Loyalitas konsumen bisa dibangun dari waktu ke waktu. Pemilik merek bisa terus memberikan penawaran yang lebih relevan kepada konsumen sehingga mereka tetap setia terhadap merek itu.
”Hampir tidak ada merek sukses di pasar saat ini yang dapat mengklaim bahwa mereka sukses tanpa menerapkan personalisasi ataupun hiper-personalisasi pemasaran ke pelanggan mereka,” imbuhnya.
Hampir tidak ada merek sukses di pasar saat ini yang dapat mengklaim bahwa mereka sukses tanpa menerapkan personalisasi ataupun hiper-personalisasi pemasaran ke pelanggan mereka.
Managing Partner Inventure Yuswohady secara terpisah menyebut konsep hiper-personalisasi dalam aktivitas pemasaran sebagai marketing of one. Konsep ini melampaui pendekatan segmentasi yang masih sering digunakan oleh praktisi pemasaran.
”Kalau segmentasi, kami (praktisi pemasaran) menyasar kelompok konsumen yang memiliki karakter senada, lalu dikasih promo yang sama. Kalau hiper-personalisasi, konten pemasaran dikemas sesuai karakter individu. Kustomisasi seperti itu hanya bisa dilakukan jika pemilik merek mengolah mahadata dan memanfaatkan teknologi digital,” katanya.
Bagi konsumen, konsep hiper-personalisasi menguntungkan mereka. Akan tetapi, pada saat bersamaan, mereka harus berhadapan dengan isu privasi.
Sementara bagi praktisi pemasaran, konsep hiper-personalisasi yang dipicu oleh kemajuan perkembangan teknologi digital berpotensi menggerus pekerjaan mereka. Sebagai gantinya, beberapa bagian pekerjaan mereka bisa diganti oleh robot.
Baca juga : Generasi X dan ”Baby Boomers” Berbelanja Daring Lebih Banyak dari Milenial
Tak semua
Menurut Yuswohady, tidak semua perusahaan atau sektor industri cocok menerapkan konsep hiper-personalisasi dalam aktivitas pemasaran. Perusahaan berlatar belakang sektor e-dagang dan hiburan lebih dulu menerapkan hiper-personalisasi, jauh sebelum gaung konsep itu membahana. Mereka sukses mengimplementasikannya.
”Amazon dulunya menerapkan konsep itu kepada setiap pelanggan yang beli buku melalui platform dia. Kemudian, Netflix memanfaatkan konsep hiper-personalisasi untuk menawarkan konten film sesuai karakter per pelanggan,” ujarnya.
Konsultan manajemen McKinsey melalui riset The Vision for 2025: Hyperpersonalized Care and ”Care of One”(Juni 2020) menyebutkan, sebelum pandemi Covid-19, konsep personalisasi dalam aktivitas pemasaran telah menjadi bagian integral dari pembentukan pengalaman pelanggan. Ini tidak hanya terjadi di transaksi e-dagang. Selain teknologi digital, konsep personalisasi dalam aktivitas pemasaran juga didorong oleh peningkatan harga dan varian produk.
Di era kemajuan teknologi digital dan pandemi Covid-19, McKinsey mengatakan, perusahaan apa pun mau tidak mau harus memenuhi kriteria ”peduli personal”, sebuah etos yang memfokuskan semua pengambilan keputusan melayani pelanggan individu dan kebutuhan pribadi mereka.
Menurut McKinsey, konsep hiper-personalisasi dalam aktivitas pemasaran masih tetap menjadi tujuan utama perusahaan sampai tahun 2025. Sikap pemilik merek berbeda-beda. Bagi perusahaan mapan, mereka kemungkinan lambat beradaptasi. Namun, perusahaan baru kerap lebih cepat belajar dan mengimplementasikan konsep hiper-personalisasi.