Remitansi Pekerja Migran Indonesia Asal NTB Sepanjang 2021 Capai Rp 144 Miliar Lebih
Remitansi yang masuk dari pekerja migran Indonesia asal NTB masih cukup tinggi. Dari Januari-Juni 2021, total remitensi yang masuk dari PMI asal NTB di berbagai negara penempatan mencapai Rp 144 miliar lebih.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·3 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Di tengah pandemi, kontribusi pekerja migran Indonesia asal Nusa Tenggara Barat terhadap devisa negara masih cukup tinggi. Salah satunya melalui perolehan remitansi atau pengiriman uang yang tercatat selama 2021 mencapai Rp 144 miliar lebih.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi NTB I Gede Putu Aryadi di Mataram, Rabu (21/7/2021), mengatakan, total pengiriman uang yang mencapai Rp 144 miliar lebih merupakan catatan selama Januari-Juni 2021.
”Jadi, remitansi yang dikirim oleh pekerja migran Indonesia asal NTB rata-rata per bulan sebesar Rp 24 miliar. Cukup tinggi untuk NTB,” kata Gede.
Gede memerinci, berdasarkan data Bank Indonesia Kantor Perwakilan NTB, remitansi terbanyak berasal dari pekerja migran Indonesia (PMI) asal Lombok Barat dan Mataram, yakni sebesar Rp 72,976 miliar. Kemudian disusul PMI asal Sumbawa sebesar Rp 46,395 miliar dan PMI asal Bima mencapai Rp 20,047 miliar.
Menurut Gede, kantung-kantung PMI, seperti Lombok Timur dan Lombok Tengah, justru mengirim remitansi lebih sedikit. Lombok Tengah, misalnya, mencapai Rp 3,44 miliar, sedangkan Lombok Timur sebesar Rp 1,12 miliar. Adapun Dompu menjadi yang terendah, yakni Rp 687 juta.
Sebagian untuk kebutuhan konsumtif dan sebagian ditabung untuk modal usaha atau investasi ketika menjadi PMI purna.
Jika dilihat berdasarkan negara penempatan, PMI yang bekerja di Arab Saudi masih menyumbang remitansi terbesar, yakni Rp 61,315 miliar. Kemudian disusul Uni Emirat Arab sebesar Rp 23,374 miliar. Lainnya dari Jepang, Malaysia, dan Hong Kong.
Gede menambahkan, edukasi prapenempatan kepada calon PMI juga dilakukan. Dengan demikian, penghasilan yang mereka terima bisa dikelola dengan baik. ”Sebagian untuk kebutuhan konsumtif dan sebagian ditabung untuk modal usaha atau investasi ketika menjadi PMI purna,” kata Gede.
Salah satu upaya edukasi adalah terkait pemanfaatan dana yang ada. Tahun ini mereka merancang program pemberdayaan PMI purna bersama BP2MI Mataram untuk pendampingan atau pelatihan manajemen usaha. Sedikitnya ada sepuluh paket kegiatan pemberdayaan dengan jumlah peserta 200 orang. Mentornya berasal dari PMI purna.
Pencegahan
Tidak hanya bagi PMI, pendampingan juga diberikan kepada keluarga mereka. Kepala Unit Pelaksana Teknis Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Mataram Abri Danar Prabawa mengatakan, pendampingan itu, misalnya, agar keluarga mampu mengelola uang kiriman sehingga dapat memberi manfaat ekonomi untuk jangka panjang, misalnya untuk usaha.
Oleh karena itu, kata Abri, PMI harus berangkat secara prosedural. Dengan demikian, data alamat asal dan keluarga mereka tercatat sehingga program pendampingan bisa mereka dapatkan.
Sayangnya, tidak sedikit PMI asal NTB yang berangkat secara nonprosedural. Sepanjang 2021, misalnya, dari total 15.630 pemulangan, sebanyak 5.352 di antaranya adalah PMI nonprosedural.
Berdasarkan pantauan Kompas, tidak sedikit keluarga PMI nonprosedural di NTB yang menghadapi berbagai persoalan. Apalagi, jika ada permasalahan di negara penempatan yang berujung kematian PMI. Misalnya, keluarga di daerah asal tidak bisa mendapat hak santunan atau asuransi kematian.
Oleh karena itu, menurut Abri, berbagai upaya dilakukan untuk mencegah PMI nonprosedural atau tidak resmi. Misalnya lewat sosialisasi dan edukasi ke masyarakat. Apalagi, NTB menjadi salah satu daerah pengirim PMI terbanyak di Indonesia.
Menurut Abri, PMI yang legal, menjadi perlindungan awal bagi warga negara. Apabila terjadi sesuatu di negara penempatan, mereka akan menjadi tanggung jawab penuh pemerintah.
Abri menambahkan, mencegah PMI nonprosedural merupakan tugas bersama. Tidak hanya BP2MI, tetapi juga harus didukung oleh pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten kota hingga pemerintah desa, termasuk aparat penegak hukum.
Di level pemerintah daerah, sebelumnya Gubernur NTB Zulkieflimansyah dan wakilnya Sitti Rohmi Djalillah bersama bupati dan wali kota se-NTB sepakat untuk menjamin warganya yang menjadi PMI terbebas dari masalah.
Kesepatan itu tertuang dalam nota kesepahaman terkait ”Zero Unprocedural PMI” yang dimulai dari desa atau kelurahan.
”Kesepakatan itu dibuat karena gubernur dan wakilnya tidak ingin, di masa datang, ada lagi PMI asal NTB yang justru ditimpa kasus menyedihkan di negeri orang,” kata Gede.