Membuka Peluang Sukses, Pekerja Migran Indonesia dari NTT Didorong Tempuh Jalur Legal
Jumlah pekerja migran Indonesia ilegal dari Nusa Tenggara Timur yang meraih sukses jauh lebih banyak dibandingkan dengan mereka yang tersandung masalah kemanusiaan. Mereka membangun hidup yang lebih baik di daerah asal.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·5 menit baca
ADONARA, KOMPAS — Demi kenyamanan bekerja di luar negeri, pekerja migran Indonesia asal Nusa Tenggara Timur terus diarahkan agar menempuh jalur legal. Peluang sukses mendulang rezeki di luar negeri pun akan lebih terbuka dan kemungkinan menghadapi persoalan kemanusiaan bisa diantisipasi sejak berangkat hingga kembali ke daerah asal. Jumlah pekerja migran yang berangkat secara legal terus menurun.
Selama ini jumlah pekerja migran Indonesia (PMI) dari NTT yang berangkat ke luar negeri secara ilegal relatif tinggi. Berangkat secara ilegal masih menjadi pilihan karena, meski tanpa dokumen lengkap pun, mereka tetap bisa bekerja. Walau banyak juga di antara PMI yang menghadapi berbagai persoalan di luar negeri karena berangkat dari jalur ilegal dan tidak memiliki dokumen.
Pemerhati masalah PMI asal Adonara Flores Timur, Yohanes Ola Sugi (54), dihubungi di Waiwerang, Adonara, Flores Timur, Senin (8/3/2021), mengatakan, PMI asal NTT didominasi dari Flores Timur dan Lembata. Jumlah PMI di dua kabupaten itu lebih dari 5.000 orang pada kurun 1990-2020 dan umumnya menetap di Malaysia, terutama di kawasan perkebunan.
Karena tidak memiliki dokumen keimigrasian, PMI asal NTT yang bekerja, bahkan menetap secara ilegal, di Malaysia, menurut Yohanes, selalu dirundung berbagai persoalan, seperti mengalami pelanggaran hak asasi kemanusiaan dan tindak kriminalitas. ”Kendati ada yang didera berbagai persoalan selama berada di negeri jiran, banyak juga yang meraih kesuksesan,” kata Ola Sugi.
Ola Sugi, yang sejak 1980-an pergi-pulang Malaysia sebagai pekerja migran ilegal, mengungkapkan, dirinya nyaris tidak pernah tersandung kasus dokumen keimigrasian. Kendati demikian, ia mengatakan, lebih baik dan lebih nyaman bekerja dan tinggal di luar negeri sesuai peraturan dengan memenuhi semua persyaratan sebagai PMI.
Beberapa kasus kemanusiaan yang menimpa PMI di luar negeri, seperti penganiayaan sampai menyebabkan kematian, gaji tak dibayar, dan tersandung masalah kriminal, selalu ada kaitan dengan sumber daya mereka. Peristiwa seperti itu tidak hanya dialami PMI, tetapi juga pekerja migran dari negara lain.
”Jalur tikus”
Berangkat ke Malaysia melalui ”jalur tikus” itu pilihan satu-satunya untuk bisa masuk dan keluar Malaysia secara ilegal. Mereka yang sudah terbiasa melalui jalur itu tahu cara bagaimana berhadapan dengan Kepolisian Diraja Malaysia dan staf keimigrasian saat ditangkap.
Ia mengaku, PMI asal Lembata, Flores Timur, bahkan Sikka, jarang tersandung kasus kemanusiaan di luar negeri, seperti penganiayaan sampai jatuh korban jiwa. Mereka hanya mengalami kecelakaan kerja, sakit, dan pengurangan gaji oleh majikan kalau malas masuk kerja.
Sekarang Malaysia sama sekali tidak menerima PMI, kecuali Korea dan Hong Kong. Namun, orang NTT tidak memilih ke Korea dan Hong Kong karena masalah bahasa dan budaya.
Masalah penganiayaan sampai menyebabkan kematian itu kebanyakan dialami PMI asal NTT yang bekerja di sektor rumah tangga meski mereka berangkat melalui jalur resmi. Persoalan utama adalah rendahnya sumber daya pekerja rumah tangga tersebut.
Ola Sugi pun mengemukakan, selama hampir 20 tahun menjadi PMI di Malaysia, dia berhasil menyekolahkan seorang putra hingga berprofesi sebagai dokter, satu sebagai polisi, dan dua lain sebagai guru dan pegawai negeri sipil di Flores Timur. Seorang anak laki-laki bekerja bersama dirinya di perkebunan sawit di Samporna, Malaysia Timur.
”Karena sudah tua, saya memilih tinggal di kampung bersama istri dan seorang cucu sambil beternak ayam dan babi. Saya bangun rumah layak tinggal, dengan parabola, dan satu unit kendaraan pikap. Satu anak masih di Malaysia Timur, bersama istri, sementara anaknya saya rawat di kampung sambil sekolah,”tuturnya.
Ia mengatakan, Bank BRI dan BNI di Waiwerang Adonara, Flores Timur, menampung uang dari Malaysia atau remitansi sampai Rp 2 triliun per tahun.
Piu Manafe (45), mantan PMII tahun 2006 asal Kupang, menuturkan, tidak semua PMII gagal membangun ekonomi keluarga. Ia sendiri sukses memiliki sebuah rumah toko dua lantai di Kupang setelah mengembangkan usaha di bidang bahan kebutuhan pokok di Pasar Kuanino, Kupang.
”Tahun 2006, saya pulang dari Malaysia. Bermodal Rp 6 juta, saya buka kios bahan pokok di samping rumah tinggal berukuran 2x3 meter per segi. Lantas, pada 2008 pindah ke Pasar Kuanino, Kupang. Melihat peluang usaha di bidang ini makin diminati, saya membeli rumah toko senilai Rp 2,5 miliar pada 2014, sampai hari ini. Kini, saya sudah punya dua ruko,” kenang Piu.
Motivasi berbeda-beda
Motivasi setiap PMI ke luar negeri berbeda-beda. Ada yang hanya mengumpulkan uang untuk melunasi utang, membiayai sekolah anak, membangun rumah, dan ada pula sekadar mencari pengalaman. Setelah mencapai sasaran ini, mereka tidak lagi berpikir untuk usaha lain. Mereka cepat puas. Ini yang sering dialami para PMII asal NTT.
Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Nusa Tenggara Timur Siwa mengatakan, tidak semua PMI asal NTT gagal membangun ekonomi keluarga. Banyak PMI yang sukses membangun ekonomi di kampung asal setelah bekerja di luar negeri.
Bahkan, ada PMI asal NTT yang saat ini melanjutkan pendidikan di Singapura sambil bekerja di salah satu perusahaan di Singapura. Ia mengaku, orang itu sempat berkomunikasi dengan dirinya, menceritakan hal itu, dan memohon dukungan. Akan tetapi, mahasiswa itu berangkat melalui jalur resmi.
”Sampai tahun 1980-an menjadi pekerja migran ilegal relatif aman terkait dokumen keimigrasian di luar negeri. Sekarang, semua PMI harus melalui prosedur resmi. Itu lebih aman bagi PMI selama di luar negeri. Sudah ada kesepakatan antarnegara soal administrasi keimigrasian ini,” papar Siwa.
Terkait hal ini, pemerintah mengatur 14 skema penempatan pekerja migran, antara lain, kerja sama pemerintah dengan pemerintah, pemerintah dengan perusahaan di luar negeri, dan perusahaan dengan perusahaan.
Pemerintah Provinsi NTT selama ini lebih memilih model kerja sama antara pemerintah dan pemerintah. Akan tetapi, terkait pandemi Covid-19 setahun terakhir ini, penempatan PMI asal NTT ke luar negeri hanya 213 orang.
Ia mengatakan, PMI asal NTT yang berangkat secara legal terus menurun. Pada 2008 sebanyak 10.966 orang, 2018 turun menjadi 1.613 orang, 2019 sebanyak 644 orang, dan tahun 2020 hanya 213 orang.
”Sekarang Malaysia sama sekali tidak menerima PMI, kecuali Korea dan Hong Kong. Akan tetapi, orang NTT tidak memilih ke Korea dan Hong Kong karena masalah bahasa dan budaya,” ucap Siwa.
Jumlah PMII asal NTT di luar negeri sulit diprediksi. Akan tetapi, jumlah mereka diperkirakan ribuan orang. Pada masa pandemi Covid-19 ini, mereka masih bertahan di Malaysia.