Kencangkan Ikat Pinggang, Pengusaha Minta Stimulus
Lonjakan kasus Covid-19 yang diikuti sejumlah pembatasan memaksa pelaku usaha mengencangkan ikat pinggang. Pembatasan kegiatan masyarakat membuat roda usaha melambat dan arus kas terhambat. Mereka meminta stimulus.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penerapan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM darurat memaksa pelaku usaha mengencangkan ikat pinggang. Skenario terburuk, seperti opsi memutus kontrak karyawan atau pemutusan hubungan kerja, pun dipertimbangkan. Pengusaha meminta pemerintah mendesain stimulus produktif untuk meringankan beban operasional di tengah PPKM darurat.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan, stimulus diperlukan, mengingat pengusaha memiliki kewajiban untuk mencicil pinjaman ke bank, membayar biaya operasional rutin perusahaan, dan membayar gaji karyawan. Sementara akibat pandemi Covid-19 dan penerapan PPKM darurat, roda usaha melambat dan arus kas terhambat.
Ia menyoroti implementasi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019. Menurut dia, implementasi peraturan itu perlu dibenahi karena banyak kendala di lapangan yang menyulitkan pengusaha untuk mengakses stimulus.
”Implementasinya perlu dibuat lebih seragam karena kenyataan di lapangan, banyak lembaga keuangan yang memberikan keringanan yang berbeda-beda. Kami juga menemukan ada bank yang ingin membantu, tapi mendapat tekanan dari pihak OJK sehingga mereka lebih kaku dalam memberikan restrukturisasi,” kata Hariyadi dalam konferensi pers virtual, Rabu (21/7/2021).
Menurut dia, ada beberapa stimulus yang dibutuhkan dunia usaha. Selain penyeragaman dan akses fasilitas restrukturisasi kredit, pengusaha juga membutuhkan dukungan stimulus dan insentif lain, seperti bantuan subsidi upah melalui BP Jamsostek/jalur pendataan lain, keringanan tarif listrik, dan keringanan pajak, seperti Pajak Bumi dan Bangunan.
”Khusus listrik, sampai hari ini kami belum mendapatkan suatu kejelasan bagaimana nasib keringanan listrik. Kami masih membayar dengan tarif yang cukup tinggi, mengingat kondisi keuangan perusahaan,” katanya.
Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia Alphonsus Widjaja mengatakan, pengusaha saat ini sudah mengencangkan ikat pinggang. Kondisi keuangan perusahaan lebih terpuruk dibandingkan dengan 2020. Sebab, tahun lalu, pengusaha umumnya masih memiliki dana cadangan untuk membayar cicilan, biaya operasional, atau menggaji karyawan.
Kondisi saat ini jauh lebih berat karena dana cadangan sudah habis terpakai. ”Jadi, kami memasuki tahun 2021 ini tanpa dana cadangan. Memang benar, awal tahun ini, kondisi usaha sempat membaik. Tetapi, itu pun masih defisit karena operasional tetap dibatasi 50 persen. Jadi, bisa dibayangkan, tanpa dana cadangan, defisit, ditambah PPKM darurat,” ujarnya.
Senada dengan Hariyadi, Alphonsus meminta adanya stimulus dan insentif bagi dunia usaha agar bisa menghindari terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK). Saat ini, mau tidak mau, karyawan sudah dirumahkan atau di-PHK karena kondisi keuangan perusahaan yang terbatas.
”Banyak beban biaya dari pemerintah yang harus kami tanggung, tetapi nilainya tidak berubah, padahal saat ini kami harus menutup usaha. Misalnya, biaya pemakaian minimum listrik, gas, Pajak Bumi dan Bangunan, pajak reklame. Ini yang kami harap bisa diringankan,” katanya.
Ia juga meminta bantuan subsidi upah dapat diberikan 50 persen dari besar gaji karyawan. Sebab, beban biaya gaji karyawan termasuk dalam komponen tertinggi pengeluaran perusahaan. ”Mekanismenya bisa dibuat seperti tahun lalu lewat BP Jamsostek atau lewat mekanisme lain, yang penting agar PHK tidak terjadi,” ujar Alphonsus.
Minta kelonggaran
Selain meminta stimulus, kalangan pengusaha juga meminta kelonggaran beroperasi selama penerapan PPKM darurat. Permintaan ini diajukan meski kasus Covid-19 belum menunjukkan tanda-tanda terkendali.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Arsjad Rasjid berharap agar perusahaan sektor manufaktur di sektor kritikal, esensial, dan penunjangnya serta industri yang berorientasi ekspor tetap boleh beroperasi dengan kapasitas maksimal 100 persen karyawan operasional dan 25 persen karyawan penunjang.
Sementara sektor non-esensial dan industri penunjangnya dapat beroperasi dengan kapasitas maksimal 50 persen karyawan operasional dan 10 persen karyawan penunjang. Dengan catatan, mereka mengikuti protokol kesehatan yang ketat dan karyawan telah divaksin minimal dua kali.
Menurut Arsjad, hal itu diperlukan karena beberapa perusahaan sudah telanjur memiliki komitmen produksi serta pengiriman dengan negara dan perusahaan lain. Perusahaan juga saat ini sedang berusaha mempertahankan karyawannya, terutama pada sektor padat karya.
”Kesehatan memang penting, tetapi kami meminta bagaimana agar industri manufaktur bisa tetap beroperasi. Ekonomi dan kesehatan adalah kombinasi yang tidak bisa dipisahkan, kebijakannya harus bareng-bareng,” ujar Arsjad.
Kendati demikian, melalui Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2021 tentang Perpanjangan PPKM Berbasis Mikro, sebagai revisi atas Inmendagri Nomor 18 Tahun 2021 sebelumnya, permintaan itu tidak dipenuhi.
Inmendagri terbaru mengatur pelaksanaan kegiatan pada sektor swasta non-esensial tetap diwajibkan memberlakukan 100 persen kerja dari rumah (work fromhome/WFH). Adapun sektor esensial, termasuk industri orientasi ekspor, tetap dibatasi beroperasi dengan kapasitas maksimal 50 persen staf produksi/pabrik dan 10 persen staf penunjang/pelayanan administrasi.