Kombinasi strategi daring dan luring dinilai bakal lebih efektif guna menghadapi infodemi. Sepanjang 23 Januari 2020-17 Juli 2021, Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatat 1.760 hoaks terkait pandemi Covid-19.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
”Model penyampaian klarifikasi hoaks dan disinformasi tak lagi cukup dengan publikasi di laman daring, kanal media sosial, atau ruang digital lain. Pemerintah perlu menggerakkan aparat guna menjadi agen menghadapi infodemi,” ujar Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Septiaji Eko Nugroho saat dihubungi di Jakarta, Minggu (18/7/2021).
Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatat 1.760 hoaks selama 23 Januari 2020-17 Juli 2021. Selain itu, ada 3.812 pengajuan penurunan (take down) hoaks yang menyebar di Facebook (3.190), Instagram (26), Twitter (547), dan Youtube (49). Dari jumlah itu, hingga Sabtu (17/7/2021), 3.347 isu sudah ditindaklanjuti oleh Kemenkominfo.
Terkait strategi luring, Septiaji mencontohkan, Kementerian Dalam Negeri bisa menginstruksikan pemerintah daerah untuk menggerakkan aparat desa, kecamatan, puskesmas, dan rumah sakit daerah untuk aktif mengambil peran klarifikasi.
Edaran infodemi beserta klarifikasinya perlu dikirim ke seluruh aparatur sepekan atau dua pekan terakhir. Klarifikasi lalu ditempel di kantor desa, puskesmas, pasar, atau pangkalan ojek. Penggantiannya rutin dengan fokus topik hoaks dan disinformasi baru terkait pandemi Covid-19 yang berpotensi mempengaruhi masyarakat.
”Kombinasi perang (di dunia) maya dan luring melawan hoaks terkait pandemi Covid-19 penting sambil berkala membuat pertemuan digital dengan tokoh masyarakat dan agama supaya mereka ikut menyampaikan klarifikasi,” ujarnya.
Hanya saja, katanya, implementasi strategi itu tidak mudah. Sebab, masih banyak kubu yang menyangkal pandemi Covid-19 dan dijalankan oleh sosok pemengaruh (influencer) dan pendengung. ”Keterlibatan kepolisian diperlukan untuk memanggil influencer dan pendengung yang malah memicu hoaks dan disinformasi Covid-19,” ujarnya.
Pegiat Rumah Perubahan Lembaga Penyiaran Publik, Darmanto, secara terpisah, mengatakan, lembaga penyiaran publik (LPP) idealnya jadi pilar utama bagi masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar dan akurat. LPP RRI, misalnya, memiliki program Cek Fakta hasil kerja sama dengan Mafindo yang disiarkan sepekan sekali melalui kanal RRI Pro3.
Menurut Darmanto, hasil audit program oleh Dewan Pengawas LPP RRI tahun lalu menunjukkan, berita-berita RRI cukup dipercaya, tetapi belum menjadi rujukan utama masyarakat dalam mencari informasi. Begitu pula dengan hasil survei Digital News Report tahun 2021 yang dikeluarkan oleh Reuters Institute menempatkan LPP TVRI sebagai media massa yang bahkan punya skor tepercaya tertinggi ketiga.
”Observasi saya sepanjang tahun 2020 dan 2021 dengan cara menelusuri lewat mesin pencari Google terkait isu Covid-19 menunjukkan, halaman pertama dan kedua Google bukan RRI dan TVRI. Hal ini mengindikasikan bahwa LPP belum menjadi rujukan utama bagi masyarakat,” ujarnya.
Menurut Darmanto, dalam konteks media secara umum, menjadi media massa dipercaya saja belum cukup saat ini. Hal paling penting adalah bagai media massa menjadi rujukan utama masyarakat dalam memperoleh informasi publik.
Dalam Digital News Report 2021, Profesor Media dan Hubungan Publik dan Hubungan Luar Negeri George Washington University Janet Steele menyebutkan, aplikasi pesan instan dan media sosial seperti Whatsapp, Youtube, Facebook, dan Instagram sangat populer di kalangan pengguna internet di Indonesia.
”Penggunaan media sosial untuk menyebarkan hoaks, disiinformasi, dan ujaran kebencian telah menjadi perhatian. Krisis pandemi Covid-19 diperparah dengan longsoran informasi yang salah mulai dari soal termometer tembak sampai vaksin,” kata Janet.