Disinformasi dan Hoaks Terkait Covid-19 Makin Mencemaskan
Peringatan International Fact Checking Day diwarnai refleksi terhadap maraknya konten disinformasi dan hoaks Covid-19. Media massa memiliki peran untuk menyediakan fakta sebagai konten tandingan.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah kekhawatiran terhadap persebaran penyakit, masyarakat juga menghadapi disinformasi dan hoaks Covid-19. Di sinilah media massa mengambil peran untuk melakukan verifikasi fakta.
Mengutip laman International Fact Checking Network (IFCN), Fact-Checking Day adalah perayaan tahunan yang diperingati setiap tanggal 2 April sebagai seruan agar lebih banyak konten fakta beredar di masyarakat, jurnalisme, dan kehidupan sehari-hari.
Tahun ini, IFCN mengumpulkan para pemeriksa fakta dari seluruh dunia untuk membentuk aliansi #CoronaVirusFacts. IFCN telah membuat basis data pengecekan fakta Covid-19 yang dapat dicari dengan lebih dari 3.000 pengiriman.
Co-Founder & Ketua Komite Periksa Fakta Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Aribowo Sasmito, Kamis (2/4/2020), di Jakarta mengatakan, di Indonesia, ”perang” melawan konten disinformasi ataupun hoaks sekarang berkaitan dengan pandemi Covid-19. Strategi yang dipakai penyebar disinformasi dan hoaks sama seperti topik-topik lain, yakni melalui foto dan video.
Strategi yang dipakai penyebar disinformasi dan hoaks sama seperti topik-topik lain, yakni melalui foto dan video.
Sebelum pemerintah mengumumkan warga positif Covid-19 nomor 1 dan 2, konten disinformasi ataupun hoaks meliputi, antara lain kota episentrum dan rumah sakit yang merawat pasien.
Setelah pemerintah terus mengumumkan secara rutin jumlah warga positif Covid-19, konten disinformasi ataupun hoaks kemudian menyisipkan kepentingan politik tertentu. Di luar itu, semakin banyak konten disinformasi ataupun hoaks tentang segala kejadian yang dihubung-hubungkan dengan Covid-19.
”Dua tahun terakhir, peringatan IFCN diwarnai refleksi konten disinformasi ataupun hoaks disisipin isu politik, bahkan ketika pandemi Covid-19 melanda," kata Aribowo.
Gerakan cek fakta
Dia menambahkan, sampai saat ini sudah ada lebih dari 20-an media massa yang tergabung dalam gerakan Cek Fakta. Hal itu patut diapresiasi meskipun tantangan memerangi disinformasi dan hoaks Covid-19 sekarang semakin tak mudah. Penyebarannya yang sudah disisipi kepentingan politik terjadi di ranah media sosial dan aplikasi pesan instan.
Associate Director of IFCN Cristina Tardáguila mengatakan, masyarakat di Amerika Serikat sepakat bahwa media sosial dan bentuk media komunikasi lain telah dibanjiri konten-konten palsu tentang segala macam topik kesehatan. Pencarian sederhana konten tentang Covid-19, kanker, diabetes, dan vaksin di Facebook, Instagram, Youtube, dan Twitter akan memunculkan sejumlah tipuan dan teori konspirasi. Realitas serupa terjadi di Google, Bing, dan mesin pencari lainnya.
”Kendati ada sejumlah orang memiliki latar belakang sains, sikap mereka terhadap bidang-bidang khusus itu sangat bergantung pada pandangan dunia, budaya, agama, teman dan keluarga mereka. Hal itu bisa sangat menakutkan,” katanya.
Dalam acara MisinfoCon 2020 yang berlangsung pada 21-22 Februari 2020 di Washington DC, Akademi Nasional Ilmu Pengetahuan, Teknik, dan Kedokteran (NASEM) Amerika Serikat menyarankan agar media massa, jaringan pemeriksa fakta, organisasi kesehatan, dan pemerintah dapat lebih mengomunikasikan info kesehatan berbasiskan fakta. Salah satu saran yaitu memberikan lebih banyak informasi bukan berarti publik akan setuju dengan fakta.
Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Abdul Manan mengatakan, inisiatif Cek Fakta merupakan terobosan penting. Cek Fakta dimanfaatkan media massa untuk menjawab salah satu masalah dari perkembangan teknologi digital, yakni mudahnya informasi menyebar cepat.
Cek Fakta dilakukan dengan menggunakan seperangkat pengetahuan dan keterampilan menggunakan alat pemeriksa fakta yang dikembangkan sejumlah lembaga internasional.
Di Indonesia, Cek Fakta resmi diinisiatif Mei 2018. Sejumlah lembaga turun mengambil peran memberikan pelatihan massal mengenai cek fakta, termasuk di antaranya AJI. Google News Inisiative, Internews, Mafindo, dan Asosiasi Media Siber Indonesia ikut mendukung.
Selama pelatihan, para jurnalis memakai peralatan dari Google dan First Draft. Pada saat itu terdapat sekitar 20 media massa daring berpartisipasi. Setelah itu, media-media mengembangkan metode sendiri sampai membuat tim pencari fakta.
Dia menceritakan, pihaknya juga belajar dari pengalaman negara-negara lain menghadapi informasi palsu dan cara menangkalnya. Sebagai contoh, ide live cek fakta debat calon presiden pada April 2019 dia akui hasil adopsi di negara lain.
”Inisiatif Cek Fakta memberi nilai lebih buat media dalam menghadapi kompetisi dari media sosial, terutama soal kecepatan dan penyebaran informasi. Namun, masalahnya media sosial tidak punya kode etik yang menuntut kepatuhan pemakainya menyampaikan informasi yang benar,” ujar Abdul.
Dia mengakui, inisiatif Cek Fakta belum menjawab sepenuhnya masalah karena konten hoaks dan disinformasi yang melimpah. Kendati demikian, gerakan ini tetap harus didukung.