WHO menyebut resistansi antimikroba salah satu dari 10 besar ancaman kesehatan masyarakat global. Penyalahgunaan dan penggunaan antimikroba berlebihan mendorong patogen resistan terhadap obat.
JAKARTA, KOMPAS - Pada tahun 2050 diperkirakan 10 juta nyawa manusia melayang pertahun akibat penyakit yang dipicu antimicrobial resistance/resistansi antimikroba (AMR). Tanpa antimikroba yang efektif, pengobatan modern dalam menyembuhkan infeksi, termasuk selama operasi besar dan kemoterapi kanker, akan berisiko tinggi.
Meski potensi bencana kesehatan akibat kuman kebal obat diyakini tidak secepat virus korona baru memicu pandemi Covid-19, namun, jika pengendalian resistansi hanya setengah hati, pandemi baru bisa saja tidak bisa dicegah lagi. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dampak pandemi akibat AMR adalah kematian dan kecacatan, penyakit berkepanjangan yang mengakibatkan rawat inap lebih lama di rumah sakit, kebutuhan obat-obatan yang lebih mahal, dan krisis keuangan.
Perkiraan 10 juta kematian pertahun pada 2050 itu dibuat oleh ekonom Jim O’Neill yang diminta Pemerintah Inggris untuk membuat laporan tinjauan AMR. Laporan tersebut menjadi acuan global untuk meningkatkan kesadaran dan mendorong aksi nyata mengendalikan kekebalan mikroba terhadap obat.
“Bisa lebih cepat lho,” ucap Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Prof Amin Soebandrio, Rabu (30/6/2021) menanggapi kemungkinan terjadinya pandemi AMR. Saat laporan diterbitkan, tim O’Neill memperkirakan resistansi sudah mengakibatkan 700.000 kematian per tahun di dunia.
Bakteri yang sudah mampu menumbangkan antibiotik bakal tak terbendung lagi menyebarkan sifat cerdasnya itu ke lebih banyak bakteri jika terlambat dikendalikan. Penyebaran lewat transfer materi genetik tersebut bisa juga memapar bakteri patogen atau penyebab penyakit pada manusia.
“Bakteri ini lebih pintar daripada kita. Kita ngembangin antibiotika 20 tahun, dia hanya dalam waktu dua tahun udah bisa jadi resisten,” kata Amin.
Kalau Covid-19 kan satu penyakit, tapi nanti kalau bakteri resistan, itu sakit tenggorokan, mati. Sakit infeksi saluran kencing, mati. Jadi matinya itu banyak cara
Menurut Ketua Komite Pengendalian Resistansi Antimikroba (KPRA) Kementerian Kesehatan dokter Hari Paraton, saking lambatnya, penemuan antibiotik baru bahkan bisa dikatakan belum ada di masa sekarang. Jika ada antibiotik bernama baru, kemungkinan itu hanya modifikasi dari antibiotik yang sudah ditemukan sebelumnya.
Hari menganalogikan penemuan antibiotik model baru ibarat peluncuran seri baru mobil. Varian mobilnya sama, hanya berbeda tipe. “Misalkan meropenem, ada sebagian strukturnya diubah menjadi imipenem, ada yang menjadi doripenem. Tapi intinya sama. Begitu dia resisten sama penem, semua penem ternyata ikut resisten,” ujarnya.
Banyak cara mati
Hari menjelaskan, pandemi akibat AMR barangkali tidak akan sedahsyat pandemi Covid-19. Pandemi yang sekarang diakibatkan satu penyakit, sedangkan pandemi akibat mikroba kebal obat dipicu oleh beragam penyakit. Celakanya, sakit-sakit infeksi yang saat ini relatif mudah disembuhkan bisa menjelma menjadi pembawa ajal di masa depan.
“Kalau Covid-19 kan satu penyakit, tapi nanti kalau bakteri resistan, itu sakit tenggorokan, mati. Sakit infeksi saluran kencing, mati. Jadi matinya itu banyak cara,” tutur Hari.
Amin mengingatkan, AMR tidak hanya membebani sektor kesehatan, tetapi juga ekonomi. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan terancam kewalahan jika “ramalan 2050” terwujud. Pada 2050, negara-negara di dunia diprediksi menggelontorkan Rp 100 triliun dolar AS (sekitar Rp 1,4 juta triliun atau Rp 1,4 kuintiliun dengan kurs Rp 14.000 per dollar AS) akibat AMR.
Penggunaan antibiotik secara berlebih di sektor peternakan merupakan salah satu faktor risiko AMR. O’Neill dan tim menyampaikan, sektor pertanian di Amerika Serikat menghabiskan 70 persen antibiotik yang juga penting untuk manusia. Di banyak negara lain bisa sekitar 50 persen.
Ketua Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) Muhammad Munawaroh menuturkan, Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) memprediksi jumlah antimikroba yang digunakan pada hewan ternak secara global akan naik 67 persen, dari 63.151 ton pada 2010 menjadi 105.596 ton pada 2030. Konsumsi tahunan rata-rata global untuk menghasilkan 1 kilogram ayam diperkirakan mencapai 148 miligram antimikroba, 1 kg daging babi 172 mg, dan 1 kg daging sapi 45 mg.
Manajer Kampanye World Animal Protection Rully Prayoga mengatakan, temuan bakteri resistan dalam sampel daging ayam broiler di Indonesia menjadi sinyal ancaman terjadinya pandemi akibat AMR. "Sampai WHO menyebutkan bahwa AMR itu bisa jadi pembunuh terbesar nanti setelah Covid-19," ujar Rully.
Terus dilakukan
Sementara itu praktik pemberian antibiotik secara berlebih dan tidak tepat terus dilakukan di kalangan peternak unggas. Salah satu pekerja peternakan mandiri di Kabupaten Bogor, NN mengaku biasa memberikan antibiotik hingga usia ayam maksimal 23 hari. Padahal, proses panen ayam di kandangnya biasanya dilakukan pada hari ke-28 hingga hari ke-30. Di gudang peternakannya ditemukan Sulfabac (sulfadiazin dan trimetoprim).
NN menyadari, pemberian antibiotik mendekati masa panen dapat berdampak tidak baik bagi konsumen. “Karena itu kan bahan kimia agak tinggi juga. Makanya obat-obatan direhat sampai umur 21-23 hari. Nanti hari ke-25, 26, 27 kan udah bersih dikonsumsi sama manusia,” ujarnya.
Sementara SO, kepala kandang peternakan plasma PT Charoen Pokphand Indonesia di Subang, Jawa Barat juga biasa memberikan antibiotik pada saat ayam berusia 8-10 hari. Dia biasa memberi Cosumix (sulphachloropyridazine dan trimetoprim).
Meski pemberian dilakukan pada minggu ke-2, SO tetap beralasan itu untuk pencegah penyakit. Padahal, dia mengaku mengetahui ada ancaman bakteri resistan di balik pemberian antibiotik berlebih.
Menyadari
Ada juga peternak yang menyadari bahaya penggunaan antibiotik berlebih, tetapi mereka tetap tidak kuasa untuk tak memakainya. Endah, pemilik peternakan ayam broiler di Sukabumi, Jawa Barat, paham bahwa pemberian antibiotik secara berlebihan dapat menyisakan zat kimia berbahaya dalam produk ayam.
Namun kondisi genetis ayam broiler yang terus berkembang membuatnya sulit lepas dari praktik ini. Dia mengaku tetap memberikan antibiotik dengan dosis yang terbatas yakni pada ayam usia 4-6 hari, dengan catatan ayam menunjukkan indikasi penyakit.
“Kalau ayam tidak sakit kenapa harus dikasih antibiotik?” katanya.
Alfred Kompudu, National Technical Advisor Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO ECTAD) Indonesia, mengatakan, risiko penyakit dapat dikurangi dengan cara menerapkan biosekuriti kandang. Hal ini paling esensial untuk mengubah perilaku peternak.
Biosekuriti di kandang mirip penerapan protokol kesehatan di masyarakat akibat pandemi Covid-19. Contohnya, peternakan tidak bisa sembarangan dimasuki oleh manusia. Anak buah kandang sekalipun harus menaati protokol guna menjaga higiene dan sanitasi sebelum masuk ke kandang. Misalnya harus mandi dan mengganti alas kaki.
“Pada 2015, kami sempat mendampingi peternak untuk menerapkan biosekuriti 3 zona selama kurang lebih dua tahun. Hasilnya sangat bagus. Dia bisa menurunkan penggunaan antibiotik sampai 40 persen. Ayamnya sehat,” katanya.