Banyak orang menaruh harapan pada koperasi. Sekelompok peternak ayam di Blitar, Jawa Timur, bertumpu pada koperasi. Demikian pula sejumlah warga di Jakarta.
Oleh
Stefanus Osa Triyatna
·3 menit baca
Beberapa tahun lalu, Leony, warga Jakarta, didekati seorang laki-laki yang mengajaknya bergabung dengan sebuah koperasi. Leony juga diminta untuk mencari orang lain agar ikut dalam koperasi yang sama.
”Mereka yang saya ajak orang-orang kecil, susah payah mengumpulkan uang agar dapat menabung Rp 100.000 per bulan,” tutur Leony, Jumat (9/7/2021).
Semestinya, setelah menabung tiga tahun, yakni pada September 2020, uang plus bunga bisa diambil. Sesuai perjanjian imbal hasil yang dijanjikan, penabung bisa memperoleh total Rp 4,175 juta.
Namun, kenyataan berbicara lain. Lima orang yang diajak Leony untuk menabung harus gigit jari. Bahkan, seorang pekerja serabutan yang diajaknya untuk menabung meninggal karena memikirkan uang Rp 4,175 juta itu tak bisa diambil.
Leony mengatakan, sejak April 2020, gelagat buruk gagal bayar mulai tercium. Ada orang yang lebih dulu menabung di koperasi itu, tetapi tak bisa mengambil uangnya. Yang mengherankan, staf koperasi tetap menarik uang tabungan dengan iming-iming agar saat jatuh tempo bisa dicairkan.
Di Yogyakarta, Waluyo menjadi mitra pemasaran koperasi yang sama. Ia menanggung malu karena koperasi gagal bayar. Orang-orang yang diajaknya bergabung kehilangan uang. Mereka sebagian besar kerabat keluarga Waluyo.
Ia lalu dijanjikan pengurus koperasi bahwa semua akan normal lagi. Maka, Waluyo menalangi uang kerabatnya dengan menjual harta pribadi. Janji tinggal janji. Hartanya habis dan tak ada pengganti. Bahkan, Waluyo yang sempat terinfeksi Covid-19 kini sakit ginjal dan tak bisa berobat.
Manfaat
Cerita berbeda dialami Sudarnami (60), warga Rungkut, Surabaya, Jawa Timur. Selama bertahun-tahun ia mengikuti kelompok yang tergabung pada Koperasi Setia Bhakti Wanita (SBW). Kelompok ini menyediakan pinjaman. ”Semua anggota—35 orang—wajib tanda tangan di depan penanggung jawab saat ada anggota kelompok mengajukan pinjaman,” kata nenek empat cucu itu.
Warga merasakan manfaat berkoperasi. ”Saat pandemi, arisan dilakukan daring. Namun, konsumsinya, yang selama ini makanan siap santap, diganti barang kebutuhan pokok, seperti gula, minyak goreng, atau beras,” ujarnya.
Wakil Ketua Bidang Usaha dan Keuangan Koperasi SBW Suhermin mengatakan, selama pandemi, hanya sedikit anggota atau kelompok yang tak mampu melunasi utang ke koperasi.
Menurut dia, setiap tahun, koperasi diperiksa ”kesehatannya” oleh tim dari Dinas Koperasi Jatim. ”Koperasi akan mudah mendapat pinjaman dari pihak ketiga jika mengantongi sertifikat kesehatan koperasi. SBW setiap tahun mendapat sertifikat itu, tetapi kami tak pernah memanfaatkannya untuk mendapat pinjaman bank,” ujarnya.
Di Blitar, Jatim, Koperasi Peternak Unggas Sejahtera (Putera) Blitar menjadi pembela kepentingan anggota. Berdiri 30 November 2017, Putera Blitar kini memiliki 425 anggota, yang merupakan peternak ayam.
Koperasi itu dibentuk untuk menstabilkan harga telur di tingkat peternak. Kini, melalui koperasi, anggotanya bisa mendapat kemudahan dalam memperoleh pakan ayam. Mereka juga bisa menjual telur ke koperasi. ”Kami berkembang menjadi koperasi sektor riil,” tutur Ketua Koperasi Putera Blitar Sukarman.
Presiden Direktur Koperasi Benteng Mikro Indonesia Kamaruddin Batubara mengatakan, penyebab sejumlah koperasi kurang mendapat kepercayaan warga karena ada oknum yang bermain tak sehat atau tak menjalankan koperasi berdasarkan aturan.
Menurut Peneliti Ahli Utama Pusat Penelitian Ekonomi pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Maxensius Tri Sambodo, maraknya koperasi sebagai media investasi dengan janji pengembalian yang tinggi mencederai jiwa koperasi. Semangat koperasi ialah kekeluargaan dan saling membantu antar-anggota.
Ia menilai, perlu digalakkan literasi tentang koperasi yang sehat dan praktik menjalankan koperasi secara baik dan benar. Pihak yang bertanggung jawab dalam hal ini ialah dinas koperasi serta Kementerian Koperasi dan UKM.