Petugas teller Bank Mandiri Cabang Supomo, Tebet, Jakarta, melayani nasabah, Jumat (30/10/2020).
JAKARTA, KOMPAS – Lonjakan kasus Covid-19 yang memaksa pemerintah menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat atau PPKM secara darurat dinilai akan menambah tekanan terhadap penyaluran kredit perbankan. Kendati demikian, otoritas memastikan kondisi dan kesehatan industri perbankan masih terjaga.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso mengatakan kapasitas produksi industri dan konsumsi masyarakat yang masih rendah akibat pandemi Covid-19 membuat permintaan kredit relatif rendah.
“Kapasitas produksi sektor manufaktur belum optimal. Apalagi yang berkaitan dengan pariwisata, maskapai belum banyak penumpang, restoran belum banyak pengunjung dan itu impaknya sangat besar terhadap permintaan kredit,” kata Wimboh dalam webinar “Prospek Ekonomi Indonesia Pasca-stimulus dan Vaksinasi” Selasa (6/7/2021).
Akibat lonjakan kasus Covid-19 yang kembali terjadi, proyeksi pertumbuhan kredit tahun ini diperkirakan berkisar 5 – 7 persen. Adapun proyeksi pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) diproyeksikan sekitar 10 – 12 persen.
Per Mei 2021, OJK mencatat pertumbuhan kredit perbankan terkontraksi minus 0,9 persen secara bulanan dan minus. Menurut Wimboh, tren penurunan suku bunga kredit belum berdampak signifikan dalam mendorong permintaan kredit. Rata-rata suku bunga dasar kredit (SBDK) perbankan per Mei 2021 berada di level 9,17 persen, turun hampir 100 basis poin dibandingkan periode sama tahun lalu.
Menurut Wimboh, dalam kondisi pandemi Covid-19 saat ini, sektor-sektor yang terdampak pandemi umumnya belum membutuhkan kredit modal kerja maupun kredit investasi.
Kendati demikian, Wimboh memastikan stabilitas dan kesehatan industri perbankan tetap terjaga. Hal itu terlihat dari rasio kecukupan modal (CAR) dan rasio likuiditas perbankan yang masing-masing berada di level 24,38 persen dan 159,06 persen per Mei 2021. Angka-angka tersebut jauh di atas ambang batas yang ditetapkan OJK.
Wimboh mengatakan, penyaluran kredit akan kembali tumbuh seiring meningkatnya kepercayaan diri masyarakat dan dunia usaha serta pulihnya kembali perekonomian.
“Saya yakin percepatan vaksinasi dan kedisiplinan menerapkan protokol kesehatan merupakan kunci pemulihan ekonomi. Tanpa itu akan sulit,” ujarnya.
Ekspansi tertahan
Pada kesempatan yang sama, Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk, Jahja Setiaatmadja menyampaikan BCA mencatatkan penurunan penyaluran kredit modal kerja baru akibat banyaknya perusahaan yang masih menahan ekspansi bisnis.
“Di masa yang sulit akibat pandemi ini, pengusaha cenderung menahan diri untuk mengambil pinjaman baru untuk ekspansi. Mereka cenderung menggunakan ekuitas dari internal perusahaan," kata Jahja.
Tangkapan layar Zoom
Presiden Direktur PT Bank Central Asia (BCA) Jahja Setiaatmadja
Secara terpisah, Chief Economist PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, Andry Asmoro, memperkirakan pertumbuhan kredit perbankan tahun 2021 bisa lebih rendah dari proyeksi awal. Peningkatan kasus Covid-19 mulai Juni bisa menghambat laju pemulihan ekonomi yang selanjutnya bisa berdampak pada pelemahan pertumbuhan kredit.
“Berdasarkan pengalaman peningkatan kasus Covid-19 yang terjadi pada Januari 2021, butuh waktu sekitar tiga bulan untuk menekan kasus tambahan menjadi level normal sekitar 5.000- 6.000 kasus per hari,” ujar Andry.
Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia Tbk Royke Tumilaar menjelaskan, berkaca pada kinerja triwulan pertama dan kedua, pihaknya optimistis perekonomian Indonesia berangsur pulih. Pihaknya menargetkan pertumbuhan kredit sebesar 6 persen secara tahunan. Adapun portofolio kredit BNI yakni sebesar 50 persen ke segmen korporasi, 32 persen ke segmen UMKM kecil dan menengah, dan 18 persen kredit konsumsi.
“Untuk mencapai target kami fokus memberikan kredit korporasi dan UMKM yang berorientasi ekspor,” ujar Royke.
Penyaluran KUR
Di tengah perlambatan penyaluran kredit perbankan secara umum, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mencatat penyaluran kredit usaha rakyat (KUR) hingga 5 Juli 2021 telah mencapai Rp 128,46 triliun. Jumlah itu setara dengan 50,77 persen dari target plafon KUR yang ditetapkan pemerintah tahun ini sebesar Rp 253 triliun.
Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Iskandar Simorangkir mengatakan, meskipun kredit perbankan secara keseluruhan masih terkontraksi namun KUR masih bisa tumbuh cukup signifikan. Bahkan, penyalurannya lebih cepat dibandingkan periode sebelum pandemi.
“Pertumbuhan KUR tidak lepas dari adanya subsidi suku bunga pada tahun 2020. Pemerintah memberikan subsidi bunga 3 persen hingga Desember 2021," kata Iskandar.
Adapun total outstanding KUR sejak diluncurkan pada tahun 2015 hingga saat ini mencapai Rp 271,3 triliun dengan tingkat kredit macet (Non-performing loan/NPL) 0,88 persen. Namun, Iskandar mengingatkan rendahnya NPL ini harus diwaspadai karena tidak lepas dari adanya relaksasi berupa restrukturisasi kredit yang berlaku hingga Maret 2022.
“Kredit yang mendapatkan restrukturisasi digolongkan berkategori lancar. Ketika program tersebut berakhir tahun depan maka NPL berpotensi menigkat,” ujar Iskandar