Pandemi sepertinya membuat arah baru dalam berbisnis. Orang lebih peduli pada sesama. Sekalipun situasi sulit dan membuat bisnis berantakan, tetap muncul empati.
Oleh
Andreas Maryoto
·5 menit baca
Saat pendiri Samator, Arief Harsono, meninggalkan kita semua, kita kemudian mendapat cerita tentang dia. Arief merintis bisnis sejak muda. Kita juga tahu Samator sebagai produsen oksigen yang hari-hari ini sangat dibutuhkan. Kita mengetahui betapa Arief sangat membantu banyak pihak. Bisnis ternyata tidak sekadar urusan finansial. Bisnis juga tentang cerita manusia.
Selama ini, pebisnis masih melihat pasar terdiri dari partner bisnis dan konsumen saja. Oleh karena itu, kita mengenal istilah B2B (business to business) dan B2C (business to customer). Kini, perubahan mulai tampak dalam memandang pasar. Ketika pasar sesungguhnya adalah manusia, pebisnis perlu melihat emosi manusia dan di situlah perhatian menjadi penting. Arief telah melangkah jauh sebelum konsep ini muncul di pasar.
Sebuah survei menunjukkan bahwa 95 persen keputusan muncul karena dorongan bawah sadar. Dorongan paling terbesar adalah emosi. Kemudian kita akan mempertanggungjawabkan keputusan kita dengan logika. Keputusan untuk membeli dibuat secara tidak sadar. Keputusan bawah sadar tersebut didasarkan pada sistem pemrosesan mental yang sangat berdasar pada pengalaman. Keputusan itu mengikuti logikanya sendiri.
Belakangan muncul konsep B2H (business to human) dan H2H (human to human). Orang berbisnis sebenarnya bukan berhubungan dengan pasar yang kaku dan tak bernyawa. Orang memasarkan produk berhubungan dengan manusia. Oleh karena itu, sebenarnya terjadi komunikasi dari manusia ke manusia. Konsep lama bahwa pemasaran berawal dari pemahaman mendalam tentang pasar tempat kita menjual produk menjadi relevan.
Seorang pengusaha properti seharusnya bukanlah penjual rumah semata atau sekadar berdagang rumah karena pasar butuh rumah. Mereka bukan sekadar membangun rumah kemudian menjualnya saja. Mereka perlu merasakan kesulitan orang membeli rumah hingga kemudian membuat produk yang sesuai untuk mereka. Kemudian mereka ikut merasakan kenikmatan ketika orang bisa membeli rumah. Orang yang menjual sepatu perlu merasakan anak-anak muda yang menabung kemudian gembira bisa membeli sepatu dan ikut merasakan bangga ketika memakai sepatu.
Orang berbisnis sebenarnya bukan berhubungan dengan pasar yang kaku dan tak bernyawa. Orang memasarkan produk berhubungan dengan manusia.
Di tengah teknologi digital yang masif dan menghasilkan banyak data keras, semua cerita di atas itu merupakan data lunak yang tidak bisa didapat dengan teknologi digital. Di dalam buku Anthro Vision, How Anthropology Can Explain Business and Life, disebutkan, data yang berupa angka-angka hanya menunjukkan ”pasar seperti apa itu” atau ”ukuran pasar”, tetapi tidak memperlihatkan ”mengapa pasar berperilaku demikian”. Ada makna di balik berbagai perilaku.
Cara-cara memahami bisnis seperti di atas sebenarnya telah lama dikenal di sekolah-sekolah bisnis. Semua bermula dari empati. Mereka harus melihat dan merasakan yang tengah terjadi di masyarakat. Orang berbisnis perlu memperlakukan setiap pembeli secara berbeda dengan mendengarkan mereka terlebih dahulu. Kemudian baru membuat segmentasi audiens atau pelanggan. Empati memungkinkan kita bisa benar-benar mengenali masalah dan tantangan unik kehidupan audiens dan tentu tantangan berbisnis dengan mereka.
Ketika kita mulai dengan empati, kita sebenarnya tengah membangun kepercayaan. Suatu saat ketika kepercayaan terbangun, sebenarnya audiens memandang kita bukan sebagai penjual produk, melainkan menjadi penasihat atau pemberi solusi. Kehadiran produk kita memberi manfaat dan menambah nilai bagi audiens. Empati menciptakan keaslian, siapakah sesungguhnya kita. Kita tidak dapat memalsukan jalan menuju keaslian kita masing-masing. Mereka yang membuat kepalsuan pada akhirnya akan menemukan produk atau karyanya tidak relevan di masyarakat.
Belakangan, banyak bisnis yang dibangun kembali karena empati. Saat orang memperbincangkan perubahan iklim dan dampaknya, produsen mainan asal Denmark, Lego, tidak bisa mengabaikan isu ini. Mereka mulai mengembangkan bahan-bahan Lego yang berbasis bahan bukan lagi dari plastik. Perusahaan yang nyaris ambruk beberapa tahun lalu itu bisa bangkit kembali karena selalu menjadi relevan dengan isu di tengah masyarakat. Mereka juga ingin meninggalkan bahan baku minyak fosil dalam waktu dekat.
Lego mengajari kita, saat ingin mendapatkan perhatian dari audiens, kita harus memperhatikan mereka terlebih dahulu. Sesuatu yang sedang menjadi perbincangan dan kegelisahan mereka harus didengar. Perhatian atau kepedulian hanya bisa disampaikan kalau kita mengakui kemanusiaan kita. Intinya, kita bukan mesin penjual yang begitu saja menawarkan produk. Kita sedang berhadapan dengan orang yang tak bisa langsung disodori produk begitu saja. Keinginan dan harapan audiens menjadi penting.
Orang berbisnis perlu memperlakukan setiap pembeli secara berbeda dengan mendengarkan mereka terlebih dahulu.
Kembali ke kisah Arief Harsono. Ia membangun cerita sejak muda. Ia tidak serta-merta menjadi pebisnis hebat, tetapi jatuh bangun terlebih dahulu. Sejak awal ia memang otentik. Ketika kemudian Samator membesar, Arief yang mempunyai banyak kisah dalam menjalankan bisnis tetap selalu otentik, baik dalam bisnis, aktivitas sosial, maupun juga ikut membangun kegiatan olahraga. Saat pandemi menyerang India, Arief dikabarkan mengirim oksigen ke negara itu. Sekali lagi, cerita tentang Arief selalu otentik, tidak dibuat-buat, dan tidak pernah berhenti.
Ia bisa merasakan kegelisahan audiens dan kemudian membuat solusi. Membaca kisah Arief di beberapa grup perbincangan membuat kita merasakan bahwa bisnis bukan menjadi arena pertarungan antarpemain. Dunia bisnis bukan menjadi laga para serigala saling cakar. Kerap kita mendengar atau setidaknya dalam film tentang dunia bisnis yang menyeramkan. Cerita tentang Arief menjadikan dunia bisnis terkesan adem dan penuh kepedulian.
Empati telah menjadi mata uang baru dalam bisnis. Sekalipun dalam pemikiran banyak kalangan, empati merupakan hal yang usang. Empati sudah lama ditinggalkan karena orang kemudian lebih rasional sehingga bisnis bertumpu murni pada keuntungan. Pandemi sepertinya membuat arah baru dalam berbisnis. Orang lebih peduli pada sesama. Sekalipun situasi sulit dan membuat bisnis berantakan, tetap muncul empati.