Model Bisnis Baru Skala Kecil di Masa Pandemi
Di balik keterpurukan sejumlah negara, terdapat kegigihan masyarakat menjalankan usaha baru dalam skala kecil melalui platform digital.
Pandemi Covid-19 mengakibatkan disrupsi pada tatanan perekonomian dunia. Namun, masifnya jangkauan teknologi menjadi modal terbukanya pasar sekaligus usaha baru melalui dunia digital.
Mandeknya kegiatan ekonomi akibat upaya pengendalian Covid-19 akhirnya memaksa sejumlah negara untuk terjun ke jurang resesi. Bahkan, negara maju, seperti Kanada, Perancis, Jerman, Jepang, Amerika Serikat, dan Inggris, menyatakan bahwa perekonomian mereka mulai terpuruk sejak pertengahan tahun lalu.
Dalam rentang April hingga Juni 2020, output ekonomi Kanada mengalami penyusutan hingga 11,5 persen. Sebuah penyusutan yang terburuk sepanjang nyaris lima dekade.
Tak ayal, narasi situasi perekonomian sepanjang 2020 terlihat suram. Bank Dunia pun tak segan untuk menyamakan situasi perekonomian selama pandemi serupa dengan narasi setelah Perang Dunia II (ekonomi pascaperang/post-war economic). Sebagai dampak dari pandemi, Bank Dunia memprediksi bahwa ekonomi dunia akan mengalami kontraksi sebesar lebih dari 5 persen.
Nyatanya, meski tetap mengalami kontraksi, ceruk keterpurukan perekonomian dunia yang terjadi tak sedalam yang diramalkan. Setelah babak belur di kuartal I dan II, sejumlah negara terbukti mampu bangkit di triwulan III dan IV secara signifikan.
Indonesia, sebagai salah satu negara yang turut andil dalam percaturan ekonomi dunia, mengalami hal yang sama. Tahun 2020, Indonesia kembali mencatatkan pertumbuhan minus 2,07 persen.
Sebelumnya, kontraksi ekonomi pernah dialami Indonesia ketika masa krisis 1998. Statistik Indonesia 1998 mencatat, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada masa itu minus 13,68 persen.
Sepanjang 2020, triwulan II menjadi masa paling sulit bagi ekonomi Indonesia, tecermin dari laju pertumbuhan sebesar minus 5,32 persen. Namun, ekonomi Indonesia berangsur membaik meski masih mengalami pertumbuhan negatif 2,07 persen di tahun 2020.
Memasuki tahun 2021, akhirnya terbukti bahwa kontraksi ekonomi global ”hanya” berada di kisaran 4,3 persen. Tak heran jika akhirnya Bank Dunia pun berani berspekulasi bahwa 2021 menjadi tahun kebangkitan ekonomi, di mana diharapkan terdapat pertumbuhan sebesar 4 persen di akhir tahun.
Baca juga: Kerja Pemerintah Atasi Pandemi Diapresiasi
Usaha baru
Di tengah narasi positif perekonomian selama paruh akhir 2020 hingga awal 2021, ada satu hal yang menarik untuk diperhatikan. Di balik keterpurukan sejumlah negara, terdapat kegigihan masyarakatnya untuk bangkit kembali. Hal ini tampak dari melonjaknya angka usaha baru yang terjadi di sejumlah negara selama tahun 2020.
Bahkan, angka pertumbuhan usaha baru memecahkan rekor di beberapa negara, seperti Perancis dan AS. Hal ini merupakan anomali karena biasanya tidak terdapat ledakan usaha baru di tengah krisis.
Pada masa resesi tahun 2000-an, hanya terdapat sedikit kenaikan jumlah usaha baru. Situasi lebih buruk terjadi saat resesi 2008-2009 di mana jumlah usaha baru justru mengalami penurunan.
Amerika Serikat, misalnya, menambah lebih dari 1,5 juta pendaftaran usaha baru pada kuartal III-2020. Angka tersebut merupakan peningkatan nyaris dua kali lipat jika dibandingkan dengan periode waktu yang sama di tahun sebelumnya.
Setali tiga uang, tren serupa juga terjadi di negara-negara Eropa, seperti Perancis dan Jerman. Meski tak sebesar yang terjadi di AS, Perancis mengalami pertumbuhan jumlah usaha baru di angka 84.000 lebih di November 2020.
Baca juga: Peluang Membangun Usaha Rintisan Baru di Normal Baru
Capaian ini merupakan yang tertinggi sepanjang sejarah dan peningkatan sekitar 15 persen dibandingkan November 2019. Selaras, fenomena ini juga terjadi di Jerman yang mengalami peningkatan meski angkanya tak sesignifikan negara lain.
Sama seperti sejumlah negara lain, Indonesia juga mengalami lonjakan jumlah usaha baru di masa pandemi. Menurut publikasi Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), sepanjang 2020 terdapat 1,52 juta usaha yang mengajukan nomor induk berusaha (NIB). Pengajuan tersebut dilakukan secara daring melalui sistem online single submission (OSS).
Jika dilihat secara bulanan, pengajuan NIB terendah terjadi pada Mei 2020 dengan jumlah 28.562 pemohon. Hal ini boleh jadi karena triwulan II menjadi masa terberat bagi pelaku usaha sebagai efek kejut gejolak ekonomi akibat pandemi.
Meski demikian, bulan berikutnya hingga akhir tahun 2020 terjadi lonjakan pengajuan NIB. Pada Agustus, jumlah pengajuan NIB sebanyak 126.878, pertama kalinya jumlah pengajuan melebihi angka 100.000. Hingga mencapai puncaknya pada Oktober dengan pengajuan NIB sebanyak 377.540 pemohon.
Hilangnya pekerjaan yang dialami oleh jutaan tenaga kerja Indonesia dan negara lainnya boleh jadi mendorong masyarakat untuk memulai usaha baru. Alih-alih hanya menunggu bantuan pemerintah, mereka mendirikan usaha sebagai sumber pendapatan baru.
Baca juga: Normal Baru dan Tantangan Penganggur Baru
Perilaku konsumsi
Perubahan perilaku konsumsi akibat dorongan perkembangan teknologi turut menciptakan ruang bagi para wirausaha. Berdasarkan hasil studi dari McKinsey, di 9 dari 13 negara yang disurvei, sekitar dua pertiga warganya mengaku telah mencoba jenis belanja baru, termasuk berbelanja daring. Tak hanya itu, mereka menyatakan akan mempertahankan perubahan perilaku konsumsinya hingga di kemudian hari.
Hasil survei oleh McKinsey ini diperkuat dengan data penetrasi e-commerce. Di AS, misalnya, terdapat peningkatan penetrasi e-commerce yang tak terduga selama masa pandemi. Sebelumnya, diprediksi bahwa penetrasi e-commerce di negara tersebut bisa mencapai 24 persen di 2024.
Namun, ternyata perkembangan penetrasi e-commerce telah mencapai angka 33 persen pada Juli 2020. Jika dibandingkan, perkembangan penetrasi e-commerce di AS dalam kurung waktu Januari-Juli 2020 setara dengan proyeksi perkembangan selama satu dekade.
Hal yang sama juga terjadi di Eropa dan Amerika Latin. Di Eropa, penetrasi ekonomi digital meningkat menjadi 95 persen dari yang sebelumnya berada di angka 81 persen selama separuh 2020. Pada masa normal, perkembangan 14 persen tersebut dicapai dalam waktu sekitar tiga tahun.
Baca juga: Membaca Peluang Perdagangan Digital
Bahkan, beberapa negara, seperti Jerman, Romania, dan Swiss, yang penduduknya terkenal alergi dengan belanja daring, mengalami peningkatan penetrasi perekonomian daring sebesar 28 persen, 25 persen, dan 18 persen. Angka yang jauh lebih tinggi daripada negara lain di kawasan ini.
Sementara, di Amerika Latin terdapat peningkatan sebesar 17 persen aktivitas belanja daring selama masa pandemi. Di tengah ketertinggalan infrastruktur teknologi dan logistik yang belum secanggih negara maju, migrasi pelanggan dari toko fisik ke digital di kawasan ini pun menjadi tren yang nyata hingga beberapa saat ke depan.
Indonesia juga menjadi salah satu negara dengan tingkat adopsi e-commerce yang cukup tinggi. Masih merujuk survei McKinsey, sepertiga dari responden di Indonesia lebih banyak belanja daring selama masa pandemi.
Bahkan, menurut hasil survei We Are Social bekerja sama dengan Hootsuite, Indonesia menjadi negara pada urutan pertama yang paling adaptif terhadap kehadiran e-commerce. Survei yang dilakukan pada Juli 2020 itu menunjukkan, 89 persen responden dari Indonesia mengaku melakukan belanja online dalam beberapa bulan terakhir.
Posisi kedua diisi ditempati oleh Inggris Raya dengan tingkat adopsi e-commerce sebesar 84 persen. Disusul oleh Korea Selatan (83 persen), Thailand dan Jerman masing-masing 82 persen. Bahkan, menurut riset Bank DBS, Indonesia menjadi negara dengan pengguna e-commerce terbesar di Asia Tenggara sejak 2019.
Sistem ”e-commerce”
Meski demikian, bukan tidak mungkin usaha yang mengadopsi sistem e-commerce akan bebas dari persoalan. Indonesia, misalnya, menurut survei e-commerce oleh BPS tahun 2020, sebanyak 8 dari 10 pelaku usaha e-commerce mengalami penurunan pendapatan akibat pandemi.
Menariknya, e-commerce dengan skala usaha yang lebih kecil lebih mampu bertahan. Hal ini tergambar dari jumlah usaha mikro yang mengalami penurunan pendapatan sebesar 85,40 persen. Sisanya tidak terdampak, bahkan mengalami peningkatan pendapatan.
Baca juga: Peluang UMKM Jajal Ruang Pamer Virtual
Usaha skala kecil dan menengah yang mengalami penurunan pendapatan sebanyak 87 persen dan 90 persen. Sementara, 97 persen usaha besar pendapatannya menurun akibat pandemi. Relatif kecilnya penurunan pendapatan pada UMKM terjadi karena penurunan volume transaksi yang dialami UMKM juga lebih kecil dibandingkan usaha besar. Fakta tersebut cukup membuktikan bahwa UMKM lebih resisten saat gejolak ekonomi terjadi.
Selain tumbuhnya usaha-usaha baru, perbaikan ekonomi menjelang akhir 2020 juga tak lepas dari peran masyarakat yang adaptif. Kebijakan pembatasan aktivitas tidak menjadi penghalang bagi masyarakat untuk tetap berkonsumsi.
Indonesia memang masih masuk dalam kategori negara berkembang. Namun, fakta menunjukkan bahwa Indonesia cukup adaptif terhadap perubahan yang terjadi, khususnya di tengah gejolak akibat pandemi. (LITBANG KOMPAS)