Pembangunan Fasilitas Pusat Data Nasional Bisa Libatkan Swasta
Kebijakan pemerintah untuk tetap membangun fasilitas pusat data nasional sudah tepat karena sudah saatnya data strategis layanan publik terintegrasi dan terkonsolidasi. Mekanisme pengembangannya bisa melibatkan swasta.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembangunan fasilitas pusat data nasional bersifat mendesak. Hal itu akan memudahkan manajemen satu data strategis yang terpadu dan bisa meningkatkan kualitas pelayanan publik. Pemerintah bisa bekerja sama dengan swasta selama proses pengembangan fasilitas tersebut.
Kebijakan pemerintah untuk memiliki fasilitas pusat data nasional tidak terlepas dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Sesuai dengan PP tersebut, data strategis terkait pelayanan publik dikelola oleh negara.
Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), gambaran saat ini dalam sistem pemerintahan berbasis elektronik (SPBE) adalah terdapat 27.400 aplikasi dan basis data, jutaan tautan interoperabilitas, 2.700 pusat data dan server, serta ada lebih dari 300.000 koneksi internet.
Ketua Bidang Platformatika Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Djarot Subiantoro, Minggu (4/7/2021), di Jakarta, mengatakan, pembangunan suatu fasilitas pusat data memerlukan biaya relatif besar, teknologi digital yang maju, dan waktu yang panjang untuk perancangan sampai penyediaan mekanisme listrik.
Penyedia fasilitas pusat data ataupun sistem komputasi awan (cloud computing) juga tengah berpacu membangun fasilitas pusat data demi mengantisipasi peningkatan kebutuhan pusat data di tengah fenomena transformasi digital. Rencana bisnis mereka umumnya mengacu pada perhitungan proyeksi akan kebutuhan layanan swasta atau komersial.
Gambaran saat ini dalam sistem pemerintahan berbasis elektronik (SPBE) adalah terdapat 27.400 aplikasi dan basis data, jutaan tautan interoperabilitas, 2.700 pusat data dan server, serta ada lebih dari 300.000 koneksi internet.
”Kebutuhan pusat data di suatu negara kini melampaui gedung fasilitas pusat data karena di industri pusat data sekarang dikenal kategori hyperscale data center, edge data center, dan far-edge data center. Kebutuhan itu tidak selalu bisa tersedia seketika ataupun bersamaan sehingga amat terbuka kolaborasi dengan penyedia fasilitas pusat data ataupun sistem komputasi awan swasta,” ujar Djarot.
Djarot menambahkan, kolaborasi dengan pihak swasta bisa berupa sewa gedung sampai gedung fasilitas pusat data pemerintah berdiri dan siap. Bentuk kolaborasi lainnya yang bisa dicoba adalah alih daya sehingga sebagian fasilitas pusat data menggunakan milik swasta. Alternatif kolaborasi berikutnya adalah pihak swasta berperan menyediakan fasilitas pusat data pemulihan bencana.
Chairman Indonesia Cyber Security Forum (ICSF) Ardi Sutedja memiliki pandangan senada. Menurut dia, penyedia fasilitas pusat data ataupun sistem komputasi awan memiliki kapasitas dan kapabilitas solusi teknologi yang mumpuni. Mereka mempunyai sumber daya manusia yang kompeten. Mereka pun cenderung punya sumber pendanaan yang tidak terbatas sehingga cepat melakukan pembaruan teknologi digital terkini.
”Pembangunan serta pengembangan fasilitas pusat data nasional dengan cara bekerja sama pihak swasta mesti melalui perjanjian yang ketat dan transparan ke publik. Penggunaan sumber pendanaan, apa pun bentuk dananya yang masuk dalam pembukuan negara, seharusnya juga transparan,” kata Ardi.
Kerja sama terbuka
Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar mengungkapkan, di beberapa negara lain, skema kerja sama pemerintah dan badan usaha swasta (public private partnership/ PPP) sangat terbuka diterapkan untuk proyek terkait teknologi informasi dan komunikasi. Dia meyakini pemerintah melalui Kementerian Keuangan semestinya mempunyai skema PPP tersebut.
Bentuk kolaborasi lainnya yang bisa dicoba adalah alih daya sehingga sebagian fasilitas pusat data menggunakan milik swasta.
Dalam konteks fasilitas pusat data nasional, Wahyudi menilai kebutuhan fasilitas ini bersifat mendesak karena sudah saatnya Indonesia memiliki satu pusat data nasional. Data strategis kementerian/lembaga dan pemerintah daerah sudah saatnya saling terintegrasi untuk memudahkan pelayanan publik.
Namun, di tengah krisis pandemi Covid-19 seperti sekarang dan pemerintah punya proyek teknologi informasi yang prioritas tetap berjalan sesuai anggaran yang sudah dialokasikan, pemerintah harus bijak memilah kembali. Lantaran sifatnya yang mendesak, Wahyudi menilai pembangunan dan pengembangan fasilitas pusat data nasional bisa kerja sama dengan pihak swasta.
Sebelumnya, dalam diskusi daring bertajuk ”Pusat Data Nasional”, pekan lalu, Koordinator Infrastruktur dan Teknologi Interoperabilitas Pemerintahan Kemenkominfo Ade Frihadi menjelaskan, mengacu Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik, pusat data nasional merupakan pusat data yang dikelola oleh Kemenkominfo ataupun pusat data instansi pusat dan pemerintah daerah yang memenuhi persyaratan tertentu.
Pada Pasal 30 Ayat (1) disebutkan, pusat data nasional harus memenuhi standar nasional Indonesia untuk desain dan manajemennya. Pusat data nasional menyediakan fasilitas pakai bagi instansi pemerintah pusat dan daerah. Pusat data nasional juga harus mendapatkan pertimbangan kelaikan operasi dari Kemenkominfo dan kelaikan keamanan dari lembaga yang menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang keamanan siber.
Menurut Ade, Kemenkominfo telah menunjuk dua lokasi fasilitas pusat data nasional yang kini sedang berproses pembangunannya, yakni di Bekasi, Jawa Barat, dan di Batam, Kepulauan Riau. Lokasi pembangunan lainnya ada di ibu kota negara baru di Kalimantan Timur dan di Nusa Tenggara Timur. Untuk mempercepat pembangunan digitalisasi nasional, termasuk di antaranya infrastruktur pusat data, Kemenkominfo menyebut membutuhkan anggaran Rp 22,57 triliun.
”Kami sampai sekarang melakukan profiling kondisi pusat data yang dimiliki oleh instansi pemerintah pusat dan daerah. Penilaian kondisi itu bisa memakai pihak ketiga (swasta),” ujar Ade.
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Organisasi, Birokrasi, dan Teknologi Informasi Sudarto menyampaikan, pemerintah menempatkan pembangunan teknologi informasi sebagai prioritas nasional. Kebijakan yang sudah disusun dipastikan mendukung transformasi digital layanan publik. Dalam APBN telah disiapkan anggaran untuk digitalisasi itu. Besaran nilai totalnya untuk APBN 2021 mencapai sekitar Rp 26 triliun.
”Bisa untuk bangun pusat data nasional, pemancar, perangkat akses internet, literasi digital, ataupun pembinaan wirausaha digital,” ujar Sudarto.