Migrasi penyiaran televisi dari analog ke digital dinilai bakal meningkatkan keuntungan lembaga penyiaran yang telah menyiapkan strategi atau konten multiplatform. Namun, migrasi dinilai telat dan kehilangan momentum.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Proses migrasi siaran televisi dari analog ke digital atau analog switch off atau ASO di Indonesia dinilai terlambat karena internet telah berkembang pesat sebagai sumber komunikasi. Baik lembaga penyiaran televisi publik maupun swasta yang kini sedang dalam proses implementasi ASO perlu mengatasi ketertinggalan dengan cara lincah bertransformasi ke digital.
”Kita harus mengakui bahwa generasi muda cenderung tidak lagi menonton televisi digital. Kehadiran multiplatform media, seperti Youtube, sudah lama kami serukan sebagai tantangan bagi lembaga penyiaran televisi konvensional. Jadi, ASO tidak punya pengaruh besar, sebab pengaruh besarnya telah datang lebih dulu,” ujar pegiat Rumah Perubahan Lembaga Penyiaran Publik, Darmanto.
Darmanto menyampaikan pendapatnya di sela-sela diskusi buku Melawan Otoritarianisme Kapital: Amir Effendi Siregar dalam Pemikiran dan Gerakan Demokratisasi Media di Indonesia di Jakarta, Sabtu (3/7/2021).
Peralihan siaran televisi dari analog ke digital telah dimulai secara bertahap hingga maksimal 2 November 2022 pukul 24.00 WIB. Pada saat ini, ASO tahap I sedang berlangsung sampai maksimal 17 Agustus 2021 pukul 24.00 WIB.
Kementerian Komunikasi dan Informatika telah menetapkan pemenang seleksi penyelenggara multipleksing (mux) siaran televisi digital terestrial. Hasil resminya, antara lain, grup Emtek memperoleh sembilan wilayah, grup MetroTV memperoleh sembilan wilayah, dan grup ANTV memperoleh dua wilayah layanan. Lembaga penyiaran publik (LPP) TVRI juga menjadi penyelenggara mux.
Sebelum kebijakan ASO ditetapkan sesuai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, pemerintah telah memberlakukan siaran televisi analog dan digital secara bersamaan atau siaran simulcast pada 31 Agustus 2019.
Menurut Darmanto, pasca-ASO, LPP TVRI yang telah ditetapkan sebagai penyelenggara multipleksing bisa menyewakan mux bagi lembaga penyiaran televisi swasta lokal ataupun LPP televisi lokal. Namun, dengan disrupsi teknologi digital, kedua lembaga penyiaran itu tengah mengalami kesusahan operasional. Akibatnya, ada potensi kesulitan membayar sewa mux.
Sebelum ada kebijakan ASO, lanjut Darmanto, LPP TVRI pun berada dalam permasalahan yang sistemik, mulai dari multiregulasi hingga karut-marut manajemen organisasi. Anggarannya pun berasal dari APBN yang penggunaan dan pengelolaannya harus mengacu kepada ketentuan pemerintah. Ditambah lagi, belakangan, sumber daya manusianya berada di bawah kementerian.
ASO menyuburkan lembaga penyiaran televisi yang sudah lebih dulu terjun ke multiplatform sehingga punya daya saing lebih.
”Sebenarnya, LPP TVRI bisa melesat jika punya tambahan dana dari hasil penyewaan mux, tetapi kondisinya sekarang apakah LPP televisi lokal tumbuh baik sehingga mampu menyewa? Sementara lembaga penyiaran televisi swasta sekarang berkutat pada kegelisahan untuk bisa mempertahankan operasional jangka panjang di tengah disrupsi digital. ASO menyuburkan lembaga penyiaran televisi yang sudah lebih dulu terjun ke multiplatform sehingga punya daya saing lebih,” kata Darmanto.
Sementara itu, Komisaris Trans Media Ishadi SK berpendapat, televisi swasta komersial pun sekarang terancam pesatnya perkembangan teknologi digital. Podcast, misalnya. ”(Konsumen) podcast jangan dianggap enteng. Salah satu podcast terkenal adalah Deddy Corbuzier yang punya banyak pendengar,” ujarnya.
Selain podcast, Ishadi menyebut Youtube yang sekarang jadi tujuan sejumlah kreator konten dari berbagai isu. Mereka berkembang sangat agresif. Setiap kreator konten yang populer memiliki basis penonton yang kuat. Situasi ini tidak boleh diremehkan oleh lembaga penyiaran televisi swasta ataupun publik.
Dia menegaskan, pesatnya teknologi digital tidak lantas membuat era televisi berakhir. Lembaga penyiaran televisi memiliki akar sejarah yang panjang dalam membina tenaga kerja sehingga menjadi profesional. Hal seperti inilah yang mesti dikuatkan oleh lembaga penyiaran televisi.
Direktur Utama LPP TVRI Imam Brotoseno mengatakan, hampir mustahil LPP mengandalkan iuran publik seperti LPP di negara lain yang sudah lebih dulu bertransformasi digital. Saat ini, 90 persen pendanaan LPP TVRI dari APBN.
Kemudian, dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2020 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada LPP TVRI, hasil menyewakan mux diakui sebagai penerimaan negara bukan pajak, tetapi itu pun harus disetor ke kas negara lebih dulu. Pemasukan LPP TVRI lainnya dari iklan pun tidak akan bisa menyamai lembaga penyiaran televisi swasta.
Seperti diketahui, anggaran LPP TVRI sekarang berkisar Rp 1,5 triliun. Anggaran ini dari APBN.
Dia juga membenarkan bahwa sejak Januari 2021, kepegawaian LPP TVRI di bawah Kementerian Komunikasi dan Informatika. Akibatnya, LPP TVRI hanya bisa menerima drop pegawai. Itu pun kebanyakan bukan piawai di bidang produksi konten. Sementara saat bersamaan, setiap tahun ada 200 aparatur sipil negara LPP TVRI yang pensiun.
LPP TVRI sebenarnya telah berinvestasi multiplatform media, termasuk pembaruan infrastruktur penyiaran digital. Akan tetapi, hal itu butuh biaya yang tidak kecil.