Saat Harga Eceran Tinggi, Gula Petani Ditawar Rendah
Harga gula kristal putih kembali tinggi. Mirisnya, tingginya harga gula tersebut tidak diikuti dengan kenaikan harga gula lelang di tingkat petani yang biasanya terjadi di awal musim giling.
Oleh
Hendriyo Widi
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Gula kristal putih di sejumlah daerah saat ini dijual Rp 13.000-Rp 14.900 per kilogram. Harga gula konsumsi itu lebih tinggi dari harga eceran tertinggi atau HET yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 12.500 per kilogram. Sementara pada awal musim giling ini, gula petani ditawar mendekati bahkan lebih rendah dari harga serapan yang telah disepakati.
Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Startegis (PIHPS) Nasional, per 25 Juni 2021 harga rata-rata gula pasir lokal Rp 13.250 per kilogram atau turun Rp 50 setelah selama sepekan bertengger di level Rp 13.300 per kg. Harga gula tertinggi terutama di wilayah Indonesia bagian timur, seperti Papua yang sebesar Rp 14.900 per kg, Papua Barat Rp 14.750 per kg, Maluku Rp 14.500 per kg, Nusa Tenggara Timur Rp 14.300 per kg, dan Maluku Utara Rp 14.250 per kg.
Sementara untuk daerah lain yang harga gulanya di atas HET adalah DKI Jakarta yang sebesar Rp 14.150 per kg, Sumatera Utara Rp 13.700 per kg, Kalimantan Timur Rp 13.450 per kg, Sulawesi Tenggara dan Gorontalo Rp 14.000 per kg, serta Sulawesi Utara Rp 13.500 per kg.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen, Jumat (25/6/2021), mengatakan, di satu sisi, tingginya harga gula di sejumlah daerah itu memang lantaran musim giling tebu baru terjadi di sejumlah daerah. Hal ini menyebabkan stok gula petani belum begitu banyak.
Di sisi lain, sejumlah pedagang berupaya mengejar keuntungan dengan menaikkan harga gula di sejumlah daerah. Mirisnya, tingginya harga gula tersebut tidak diikuti dengan tingginya harga gula lelang di tingkat petani yang bisanya terjadi di awal musim giling.
Mirisnya, tingginya harga gula tersebut tidak diikuti dengan tingginya harga gula lelang di tingkat petani yang bisanya terjadi di awal musim giling.
Menurut Soemitro, di sejumlah pabrik gula di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur yang sudah mulai menggiling tebu, harga gula di tingkat petani ditawar di bawah Rp 10.500 per kg. Harga lelang tertinggi ada di DI Yogyakarta, yaitu Rp 10.560 per kg.
Tahun lalu, harga gula di tingkat petani pada awal lelang musim giling bisa Rp 11.000-Rp 12.000 per kg. Namun, tahun ini ditawar mendekati bahkan lebih rendah dari harga serapan yang telah disepakati pemerintah, APTRI, dan PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero) atau RNI, yaitu Rp 10.500 per kg.
Harga lelang di bawah harga serapan tersebut, imbuhnya, kebanyakan terjadi di luar area PT RNI. Padahal, dengan HET Rp 12.500 per kg dan harga serapan Rp 10.500 per kg, pedagang sudah untung lumayan besar Rp 2.000 per kg.
”Kalau nanti dijual di pasaran dengan harga di atas HET, mereka tentu bakal lebih untung, sedangkan petani justru buntung,” kata Soemitro ketika dihubungi di Jakarta.
Soemitro menilai, HET gula senilai Rp 12.500 per kg justru menekan harga gula di tingkat petani dan lebih menguntungkan pedagang. Hal ini terjadi lantaran HET gula tersebut dan harga acuan tetap di tingkat petani yang sebesar Rp 9.100 per kg sudah tidak pernah mengalami kenaikan selama enam tahun. Padahal, HPP tersebut masih jauh di bawah biaya pokok produksi (BPP) yang saat saat ini Rp 11.200 per kg.
Penuhi kesepakatan
Sementara itu, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengemukakan, kenaikan harga gula di atas HET terjadi lantaran pasokan gula kristal putih tingkat petani masih terbatas. Hal ini terjadi karena baru memasuki awal musim giling.
Di Jawa Timur, misalnya, memasuki pekan ketiga musim giling tebu pada Juni 2021, produksi gula di 25 pabrik gula sebanyak 102.023 ton. Namun, dari jumlah itu, yang sudah dilelang sebanyak 24.725 ton atau sekitar 24,23 persen.
”Dengan baru terlelangnya gula sebesar 24,23 persen tersebut, stok gula kemungkinan besar masih banyak berada di gudang pabrik gula atau distributor sehingga masih belum terdistribusi ke pasar,” katanya.
Dengan baru terlelangnya gula sebesar 24,23 persen tersebut, stok gula kemungkinan besar masih banyak berada di gudang pabrik gula atau distributor sehingga masih belum terdistribusi ke pasar.
Untuk menstabilkan harga gula di pasar, menurut Oke, Kementerian Perdagangan telah meminta agar 13 pabrik gula swasta dan pabrik gula badan usaha milik negara mendistribusikan stok gula yang dimiliki. Per 21 Juni 2021, sebanyak 497.077 ton gula telah didistribusikan ke 27 provinsi dengan harga jual terendah Rp.9.556 per kg dan tertinggi Rp 12.459 per kg. Dari jumlah tersebut, penyaluran gula berbasis penugasan pemerintah itu ke DKI Jakarta sebanyak 68.771 ton dan Papua 333 ton.
Pemerintah juga telah meminta agar kesepakatan harga serapan gula Rp 10.500 per kg antara APTRI, PT RNI, dan PT Perkebunan Nusantara III di saat harga gula jatuh dipenuhi. ”Kami juga telah meminta agar pabrik gula swasta di Jawa Timur PT Kebon Agung, PT Rejoso Manis Indo, dan PT Kebun Tebu Mas juga mematuhi kesepakatan itu,” ujarnya.
Sebelumnya, Direktur Utama PT RNI Arief Prasetyo Adi mengatakan, PT RNI akan menjadi offtaker atau penyerap dan pembeli gula petani dengan harga minimal Rp 10.500 per kg. Komitmen ini akan direalisasikan jika harga gula petani jatuh atau berada di bawah Rp 10.500 per kg.
”Namun, jika dalam proses lelang harganya lebih tinggi dari harga minimal jaminan serapan tersebut, RNI tetap akan menyerap dan membeli gula petani sesuai harga pasar atau lelang gula,” katanya dalam siaran pers, Rabu (9/6/2021).
Keputusan itu sesuai dengan arahan Kementerian Perdagangan dan Kementerian BUMN. PT RNI juga telah berkoordinasi dengan APTRI, Asosiasi Gula Indonesia (AGI), Asosiasi Pedagang Gula Indonesia (APGI), dan BUMN PT Perkebunan Nusantara III Holding.