Indonesia Berambisi Jadi Pemain Baterai Listrik Dunia
Persiapan pengembangan ekosistem industri baterai listrik dari hulu-hilir akan memakan waktu 3-4 tahun. Kerja sama industri dengan lembaga riset dan perguruan tinggi dibutuhkan untuk mengembangkan teknologi sendiri.
Oleh
Agnes Theodora
·5 menit baca
Kompas/Priyombodo
Petugas mencoba pengisian listrik pada mobil saat peluncuran Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) di PLN Unit Induk Distribusi Jakarta Raya, Selasa (29/10/2019), di Jakarta. SPKLU ini sebagai bagian dari implementasi kelengkapan infrastruktur bagi kendaraan bermotor listrik berbasis baterei, sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle).
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia bersiap menjadi pemain utama di rantai pasok kendaraan listrik global dengan membangun ekosistem baterai listrik yang terintegrasi dari hulu ke hilir. Ambisi tinggi itu diiringi pekerjaan rumah besar untuk mengembangkan teknologi secara mandiri serta mendorong pasar dan permintaan yang kuat di dalam negeri.
Langkah pertama dimulai dengan pembangunan pabrik baterai sel listrik pada Juli 2021. Pabrik yang direncanakan dibangun di Karawang, Jawa Barat, itu akan digarap oleh PT Indonesia Battery Corporation (IBC) yang beranggotakan empat badan usaha milik negara, lewat kerja sama dengan konsorsium LG asal Korea Selatan.
Pabrik baterai sel listrik itu akan beroperasi pada akhir 2023 dan memiliki kapasitas produksi awal sebesar 10 gigawatt per jam (GWh). Adapun total investasi yang ditanamkan konsorsium LG senilai 9,8 miliar dollar AS atau Rp 142 triliun untuk pengembangan industri terintegrasi dari hulu sampai hilir.
”Ini investasi terbesar Indonesia pascareformasi dan akan dibangun hulu sampai hilir. Dari proses mining (tambang), smelter, prekursor, katoda, baterai sel, sampai industri daur ulangnya akan terintegrasi di dalam negeri,” kata Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, Kamis (24/6/2021), dalam webinar yang diselenggarakan Universitas Indonesia di Jakarta.
Menurut Bahlil, pengembangan ekosistem industri baterai listrik itu memberi sinyal pada dunia bahwa Indonesia akan menjadi negara yang berkontribusi signifikan dalam rantai pasok kendaraan listrik global. Selain kendaraan listrik, baterai sel listrik juga bisa terserap untuk industri sistem penyimpanan energi (energy storage system/ESS).
Selain dengan konsorsium LG, Indonesia melalui PT Aneka Tambang Tbk atau Antam juga bekerja sama dengan produsen baterai asal China, Contemporary Amperex Technology (CATL). Bersama LG, keduanya merupakan pemain utama industri kendaraan listrik dunia. Adapun nilai investasi CATL 5,2 miliar dollar AS atau Rp 75,03 triliun.
Bahlil mengatakan, pengembangan ekosistem industri baterai listrik sengaja dimulai dari hilir melalui pendirian pabrik baterai sel listrik untuk mendorong kemandirian bahan baku. ”Kita sengaja mendorong hilir duluan, baru hulu, supaya sebisa mungkin menjaga bahan baku nikel kita tidak terus-terusan diekspor setengah jadi,” kata Bahlil.
Direktur Utama PT IBC Toto Nugroho mengatakan, pengembangan industri hulu-hilir akan memakan waktu 3-4 tahun. Keempat BUMN yang tergabung dalam IBC, yakni Antam, Mind ID, PT Pertamina (Persero), dan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), akan berpartisipasi di setiap tahapan rantai pasok.
Antam dan Mind ID akan berperan dalam proses mining (pertambangan), sementara Mind ID dan Pertamina akan berperan dalam produksi katoda dan prekursor. Adapun untuk produksi baterai sel listrik akan dikembangkan oleh Pertamina dan PLN.
”Pada tahun 2024, diharapkan smelter HPAL (pengolahan bijih nikel) dan pabrik prekursor dan katoda kita sudah beroperasi supaya pada tahun 2025 nanti kita sudah bisa punya baterai sel listrik sendiri. Memang waktunya masih panjang, tapi fondasinya kita mulai dari hari ini,” tutur Toto.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Petugas melepas baterai motor listrik saat uji coba stasiun penukaran baterai kendaraan listrik umum (SPBKLU) di Jakarta, Senin (31/8/2020). Adanya SPBKLU ini diharapkan akan menambah minat masyarakat untuk beralih dari kendaraan berbahan bakar minyak ke kendaraan listrik yang lebih ramah lingkungan.
Tantangan harga
Menurut Komisaris Utama PT IBC Agus Tjahjana, Indonesia memiliki potensi besar sebagai pemilik cadangan nikel terbesar di dunia yang diestimasi sebesar 21 juta ton dan mencakup 30 persen dari cadangan nikel dunia.
Indonesia juga memiliki pasar prospektif. Kajian PT IBC memprediksi, pada 2035 penjualan kendaraan listrik roda dua akan mencapai 1,8-2,7 juta unit dan kendaraan listrik beroda empat mencapai 300.000-600.000 unit. Sementara permintaan untuk baterai sel listrik dalam negeri pada 2035 akan mencapai 29 GWh.
”Kita punya keuntungan rantai pasok yang kompetitif. Kita bisa memanfaatkan pasar dalam negeri yang besar dan juga mengekspor ke luar,” katanya.
Kendati demikian, kenyataannya, saat ini pasar dan permintaan terhadap kendaraan listrik di dalam negeri masih terhitung rendah. Hal itu disebabkan harga kendaraan listrik yang masih terhitung mahal.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Mobil listrik DFSK seri Glory E3 dipamerkan dalam gelaran otomotif Gaikindo Indonesia International Auto Show (GIIAS) 2019 di Indonesia Convention Exhibition (ICE) BSD City, Kabupaten Tangerang, Banten, Rabu (24/7/2019). Perpres tentang percepatan program kendaraan bermotor listrik berbasis baterai untuk transportasi jalan telah rampung dan menurut rencana akan disahkan dan diterbitkan pekan ini.
Di China, penjualan kendaraan listrik bisa meledak karena dijual dengan harga terjangkau untuk kebutuhan massal. Ia mengatakan, di China, harga mobil listrik ada pada kisaran Rp 200-Rp 250 juta per unit dan motor listrik sekitar Rp 20 juta, termasuk baterai. Pemerintah China juga memberikan insentif yang menarik.
”Harus ada dukungan insentif dan regulasi dari pemerintah kita untuk menurunkan harga kendaraan listrik dan menaikkan harga kendaraan berbasis BBM. Kalau tidak, baterai listrik yang kita produksi akan lebih banyak diekspor dan kita tidak bisa memaksimalkan pasar dalam negeri,” kata Agus.
Hal itu juga berkorelasi erat dengan upaya mendorong perubahan cara berpikir masyarakat yang masih terjebak pada penggunaan mobil berbahan bakar fosil (BBM). ”Bayangkan, kalau menggunakan BBM, dalam satu tahun, emisi yang dihasilkan sebanyak 4.000 kilogram emisi CO2. Dengan kendaraan listrik, emisinya nol, tidak ada,” ujarnya.
Pengembangan teknologi
Tantangan berikutnya adalah pengembangan teknologi secara mandiri. Toto mengatakan, saat ini kapasitas Indonesia belum maksimal untuk memiliki teknologi produksi baterai listrik sendiri. Oleh karena itu, kerja sama dengan konsorsium LG serta CATL dibutuhkan di awal.
KOMPAS/ERWIN EDHI PRASETYA
Proses produksi baterai ”lithium ion” di Unit Produksi Baterai Lithium Universitas Sebelas Maret (UNS), Solo, Jawa Tengah, Jumat (31/5/2019). Produksi baterai ”lithium” ini merupakan hasil riset tim peneliti UNS.
Namun, ke depan, industri baterai listrik, baik swasta maupun BUMN, perlu bekerja sama dengan perguruan tinggi, akademisi, dan lembaga riset untuk mengembangkan teknologi sendiri.
”Kita beruntung bisa bekerja sama dengan dua perusahaan kendaraan listrik terbesar dunia, tetapi mereka pasti akan menyimpan properti intelektual mereka. Ke depan, kami harap seluruh rantai pasok kita punya teknologi yang betul-betul made in Indonesia dari awal sampai akhir,” tutur Toto.
Terkait itu, Dekan Fakultas Teknik Universitas Indonesia Hendri Budiono mengatakan, pihaknya sudah mengembangkan riset baterai listrik sejak 2015, jauh sebelum pemerintah menjadikan pengembangan industri baterai listrik sebagai prioritas nasional.
Harapannya, pada 2023, Tim Riset Baterai Departemen Metalurgi dan Material UI sudah bisa menghasilkan baterai listrik berkualitas untuk kendaraan listrik.
”Sekarang kami sudah sampai tahap perakitan prototipe baterai sel. Namun, sejauh ini kami masih mengembangkan riset untuk baterai lithium. Untuk nikel baru dimulai, semoga bisa cepat menghasilkan agar sejalan dengan prioritas pemerintah saat ini,” katanya.