Restrukturisasi Utang Garuda Diperkuat dengan Efisiensi Operasional
Garuda Indonesia harus bisa meyakinkan kreditor bahwa restrukturisasi utang akan menjadi katalis positif pemulihan kinerja dan akhirnya berujung pada pemenuhan semua kewajiban dan komitmen terhadap kreditor.
Oleh
Hendriyo Widi
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Opsi restrukturisasi utang yang diambil manajemen PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk dinilai paling rasional. Restrukturisasi melalui penundaan kewajiban pembayaran utang ini harus diperkuat dengan upaya mengefisienkan biaya operasional, terutama dalam renegosiasi biaya sewa pesawat.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abra PG Talattov, Selasa (22/6/2021), mengatakan, opsi restrukturisasi melalui penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) memang menjadi opsi paling rasional saat ini. Terlebih kondisi aliran kas Garuda Indonesia masih tertekan sejalan dengan tingkat keterisian pesawat (seat load factor/SLF) yang terus tergerus menjadi 24,9 persen selama Januari-Mei 2021.
Langkah PKPU itu harus dijalani dengan kesiapan dan soliditas internal perusahaan, terutama terkait proyeksi dan keyakinan terhadap pemulihan kinerja perusahaan ke depan. Artinya, manajemen Garuda Indonesia harus bisa meyakinkan kreditor bahwa restrukturisasi utang akan menjadi katalis positif memulihkan kinerja perseroan dan akhirnya berujung pada pemenuhan semua kewajiban dan komitmen terhadap kreditor.
Kalkulasi yang presisi dan kredibel, lanjut Abra, akan menjadi modalitas manajemen Garuda Indonesia untuk mencapai kesepakatan dengan para kreditor lewat PKPU. Jika kesepakatan itu tercapai, Garuda diharapkan dapat memenuhi kewajibannya dalam masa 270 hari sesuai ketentuan PKPU. Di sisi lain, langkah PKPU tersebut harus diperkuat dengan upaya efisiensi operasional, terutama dalam agresivitas renegosiasi biaya sewa pesawat yang terbukti kelewat mahal.
”Efisiensi biaya harus benar-benar terukur dan disiplin, seperti mengurangi atau menghapus rute-rute yang sudah tidak menguntungkan. Dari sisi pendapatan, inovasi layanan harus terus didorong agar bisa menaikkan SLF dan pangsa pasar Garuda,” kata Abra ketika dihubungi di Jakarta.
Manajemen Garuda Indonesia harus bisa meyakinkan kreditor bahwa restrukturisasi utang akan menjadi katalis positif memulihkan kinerja perseroan dan pada akhirnya berujung pada pemenuhan semua kewajiban dan komitmen terhadap kreditor.
Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat, Senin lalu, manajemen Garuda Indonesia menyebutkan, perseroan akan merestrukturisasi utang melalui PKPU tanpa pengadilan dengan mengedepankan negosiasi.
Dengan skema itu, Garuda melakukan eksistensi pinjaman atau utang agar bisa dibayarkan kembali ke depan setelah kondisi perseroan membaik (repayment capacity). Hal itu akan dibarengi dengan tawaran proposal berisi skema bisnis Garuda Indonesia ke depan pasca-restrukturisasi.
Kementerian BUMN mencatat, total utang Garuda Indonesia membengkak dari Rp 20 triliun menjadi Rp 70 triliun. Hal ini tidak terlepas dari perubahan pengakuan kewajiban pada biaya sewa pesawat dari semula tercatat sebagai biaya operasional (opex), kini diwajibkan dicatat sebagai utang berdasarkan pedoman standar akuntansi keuangan (PSAK).
Sementara dengan pendapatan sebesar 50 juta dollar AS per bulan, beban biaya operasional Garuda Indonesia sekitar 150 juta dollar AS per bulan. Artinya perusahaan merugi 100 juta dollar AS atau sekitar Rp 1,44 triliun (kurs Rp 14.400 per dollar AS) per bulan.
Sewa pesawat
Langkah lain yang akan ditempuh Garuda adalah menegosiasikan pengembalian pesawat dan biaya sewa pesawat. Dalam kondisi pandemi ini, Garuda Indonesia hanya membutuhkan 41 pesawat sehingga sebanyak 101 pesawat dari total 142 pesawat akan dikembalikan kepada lessor atau perusahaan persewaan pesawat untuk menekan kerugian.
Selama ini, Garuda Indonesia wajib membayar biaya sewa dan operasional 142 pesawat itu sekitar 80 juta dollar AS per bulan. Dari total kewajiban itu, biaya sewa pesawat sebesar 60 juta dollar AS per bulan, sedangkan biaya operasionalnya sekitar 20 juta dollar AS per bulan.
Wakil Direktur Utama Garuda Indonesia Dony Oskaria menuturkan, ada tiga opsi yang muncul dalam proses negosisasi pembayaran sewa dan pengembalian pesawat, yaitu early termination, lease holiday, dan pay by the hour. Jika opsi early termination diambil, kontrak Garuda dan lessor putus lebih cepat dari kesepakatan awal.
”Sementara opsi lease holiday adalah penundaan pembayaran sewa pesawat. Adapun dengan opsi pay by the hour, Garuda hanya akan membayar sewa per jam saat pesawat digunakan,” ujarnya.
Ada tiga opsi yang muncul dalam proses negosisasi pembayaran sewa dan pengembalian pesawat, yaitu early termination, lease holiday, dan pay by the hour.
Menanggapi hal itu, Abra berpendapat, kesepakatan renegosiasi itu akan sangat bergantung dengan keputusan lessor. Kendati begitu, manajemen harus terus berupaya menurunkan biaya operasional dari komponen sewa pesawat agar tidak menjadi beban laten perusahaan.
”Agak sulit juga menyimpulkan opsi mana yang paling menguntungkan bagi Garuda Indonesia. Manajemen Garuda harus mengalkulasi dulu dengan cermat ketiga opsi tersebut lantaran ada sisi positif dan negatifnya,” tuturnya.
Menurut Abra, masing-masing opsi harus dihitung dahulu besaran beban yang ditanggung Garuda. Misalnya opsi early terminate itu bisa jadi biayanya besar karena Garuda harus menanggung biaya perawatan dan sewa hingga lessor bisa mendapatkan penyewa baru.
Untuk opsi lease holiday, setelah masa lease holiday selesai, tentu ada biaya sewa selama masa tersebut yang diakomodir oleh lessor ke dalam biaya sewa yang baru. Artinya justru ada potensi kenaikan biaya per bulan yang lebih besar dari biaya sebelum renegosiasi.
Kemudian opsi pay by the hour pasti ada tantangan terkait negosiasi minimum jam dan tarif rata-ratanya. Namun, biasanya, opsi ini tidak populer diterapkan untuk skema penerbangan reguler. Opsi ini biasanya diterapkan untuk penerbangan jangka pendek pada musim-musim tertentu, seperti ibadah haji.
”Tidak kalah penting juga, saat renegosiasi dilakukan, manajemen Garuda harus mampu memberi gambaran yang meyakinkan bahwa ke depan Garuda masih bisa bangkit. Hal ini penting mengingat lessor juga sebetulnya sangat membutuhkan Garuda sebagai penyewa pesawat mereka,” kata Abra.
Dalam laporannya ”Reduced Losses but Continued Pain in 2021”, Asosiasi Transportasi Udara Internasional atau The International Air Transport Association (IATA) menyebutkan, industri penerbangan pada tahun ini masih suram. Pada 2021, kerugian maskapai global diperkirakan sebesar 47,7 miliar dollar AS atau sedikit membaik dibandingkan pada 2020 yang merugi 126,4 miliar dollar AS.
Pada triwulan I-2021, keuntungan atas pendapatan sebelum dipotong bunga dan pajak (earnings before interest and taxes/EBIT margin) masih tumbuh minus 60 persen. Adapun kerugian bersih setelah dipotong pajak mencapati 18,045 miliar dollar AS.
IATA menyambut baik kebijakan Pemerintah Spanyol dan Perancis yang mengizinkan penumpang yang telah divaksinasi menggunakan transportasi udara dan penggunaan tes antigen yang terjangkau di setiap bandara. Namun, di sisi lain, pelonggaran tersebut belum diikuti negara-negara Eropa lainnya.
”Pelonggaran pembatasan perjalan ini memberikan angin segar bagi pertumbuhan industri penerbangan dan perekonomian. Mereka menyadari peluang yang diciptakan oleh vaksinasi dan membuat perjalanan lebih aman dengan penerapan tes antigen dan protokol kesehatan. Namun, masih banyak negara Eropa yang belum secara signifikan melonggarkan perbatasannya,” tutur Direktur Jenderal IATA Willie Walsh melalui siaran pers.
IATA juga menyebutkan, pendekatan yang konsisten di seluruh Eropa diperlukan jika Sertifikat Digital Covid-19 Uni Eropa akan diterapkan secara efektif pada 1 Juli. Sertifikat berbasis kode respons cepat (QR Code) ini akan memungkinkan warga Uni Eropa untuk mengunggah bukti telah menerima vaksinasi, tes negatif Covid-19, dan surat keterangan telah pulih dari Covid-19.
Sementara itu, untuk penerbangan global, pemerintah masing-masing negara perlu membuat sertifikat digital untuk diintegrasikan dalam aplikasi penumpang IATA Travel Pass. Tujuannya guna mengurangi penumpukan penumpang di bandara dan perbatasan seiring dengan peningkatan jumlah perjalanan ke depan.