Kerugian Garuda Indonesia ini terutama lantaran faktor "unutilized asset". Aset pesawat yang disewa dari para "lessor" yang tidak dioperasikan itu tetap dibayar, tetapi pesawat itu tidak menghasilkan pemasukan.
Oleh
Hendriyo Widi
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Manajemen PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk tengah menempuh opsi restrukturisasi utang untuk keluar dari krisis keuangan perusahaan. Selain itu negosiasi pengembalian pesawat sewaan dan biaya sewa pesawat yang juga menjadi beban utama maskapai nasional ini juga terus dilakukan.
Bersamaan dengan itu, maskapai pelat merah ini juga menempuh sejumlah langkah efisiensi. Dua di antaranya adalah penutupan sejumlah rute penerbangan internasional dan memberikan tawaran pensiun dini bagi karyawan.
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra, Senin (21/6/2021), menjelaskan, proses negosiasi dengan 31 lessor ini tidak mudah karena sebanyak 101 pesawat dari total 142 pesawat harus dikembalikan kepada lessor atau perusahaan persewaan pesawat.
Dari jumlah itu, Garuda berhasil bersepakat dengan dua lessor dan sudah mengembalikan 20 pesawat. Garuda juga tengah bernegosiasi dengan satu lessor lagi yang siap untuk menerima pengembalian 7 pesawat dalam waktu dekat ini.
“Dari sisi biaya sewa pesawat, kami sudah berhasil menguranginya sejak tahun lalu, yaitu dari 76 juta dollar per bulan sudah turun rata-rata 30 persennya atau mendekati standar biaya sewa normal. Kami akan berupaya negosiasi lagi agar bisa lebih turun,” kata Irfan dalam rapat dengar pendapat Garuda Indonesia dengan Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat yang digelar secara hibrida (daring dan luring) di Jakarta.
Proses negosiasi ini tidak mudah karena sebanyak 101 pesawat dari total 142 pesawat harus dikembalikan kepada lessor atau perusahaan persewaan pesawat.
Selain itu, lanjut Irfan, Garuda berupaya merestrukturisasi utang terhadap lessor, sejumlah badan usaha milik negara (BUMN), dan perbankan. Restrukturisasi itu ditempuh dengan jalan damai melalui penundaan kewajiban pembayaraan utang (PKPU) tanpa pengadilan dengan menekankan negosiasi.
Dengan skema itu, Garuda melakukan eksistensi pinjaman atau utang agar bisa dibayarkan kembali ke depan setelah kondisi perseroan memulih (repayment capacity). Tentu hal ini harus dibarengi dengan tawaran proposal berisi tentang skema bisnis Garuda Indonesia ke depan pasca-restrukturisasi berjalan dengan baik.
“Kami tengah menyiapkan proposal tersebut dengan tiga konsultan independen. Opsi restrukturisasi dan proposal ini juga nantinya harus mendapatkan persetujuan dari pemegang saham. Di sisi lain, Garuda juga akan berupaya agar proses PKPU berjalan baik dan disepakati debitor dan kreditor, sehingga tidak berujung pada pailit,” ujarnya.
“Unutilized asset”
Wakil Direktur Utama Garuda Indonesia Dony Oskaria menambahkan, kerugian perusahaan secara konsolidasi sebesar 100 juta dollar AS dan khusus Garuda Indonesia sebesar 62 juta dollar AS. Garuda Indonesia mengalami kerugian tersebut lantaran harus menanggung biaya sewa 142 pesawat sebesar 60 juta dollar AS per bulan dengan biaya operasional sekitar 20 juta dollar AS per bulan.
Jadi, Garuda Indonesia wajib membayar biaya sewa dan operasional 142 pesawat itu sekitar 80 juta dollar AS per bulan. Ini secara pembukuan, karena faktanya Garuda hanya mengeluarkan biaya untuk mengoperasikan 41 pesawat di tengah keterbatasan penumpang kala pandemi Covid-19.
“Artinya, kami masih harus menanggung biaya 101 pesawat yang tidak kami operasikan lantaran masih terikat kontrak dengan para lessor. Jadi kerugian Garuda ini karena faktor unutilized asset. Aset pesawat yang tidak dioperasikan itu tetap kami bayar, tetapi pesawat itu tidak menghasilkan pemasukan,” kata dia.
Jadi kerugian Garuda ini karena faktor unutilized asset. Aset pesawat yang tidak dioperasikan itu tetap kami bayar, tetapi pesawat itu tidak menghasilkan pemasukan.
Jika persoalan dasar ini tidak segera diselesaikan, imbuh Dony, Garuda tetap akan menanggung kerugian sekitar Rp 1 triliun per tahun. Oleh karena itu, Garuda mengambil langkah renegosiasi biaya sewa dan pengembalian pesawat, serta restruktursi utang.
"Saat ini, Garuda Indonesia juga masih bertahan atau beroperasi dengan pendapatan sekitar 76 juta dollar AS per bulan. Pendapatan tersebut masih bisa untuk membiayai sewa dan operasional pesawat," ujarnya.
Efisiensi
Dalam kesempatan yang sama, Komisi VI DPR meminta agar Garuda Indonesia segera mematangkan dan memfinalisasi opsi-opsi penyelamatan itu dengan Kementerian BUMN. Garuda juga diharapkan bisa melakukan efisiensi perusahaan untuk meminimalisasi kerugian, terutama melalui penutupan rute-rute yang merugikan dan pengoptimalan kapasatias pesawat dengan tidak memberlakukan lagi penjarakan (distancing) penumpang.
“Manajemen Garuda harus berani bertindak tegas melakukan efisiensi. Salah satunya adalah dengan menutup rute-rute penerbangan yang merugikan,” kata anggota Komisi VI DPR Mukhtarudin.
Menanggapi hal itu, Irfan mengatakan, Garuda telah menutup rute penerbangan dari Jakarta menuju Melbourne, Perth, dan Osaka. Perseroan juga sedang meninjau kembali rute-rute dari Jakarta menuju Amsterdam, Seoul, dan Sidney.
Selain itu, Garuda juga sudah mulai mengurangi secara bertahap pengaturan penjarakan penumpang untuk meningkatkan kapasitas penumpang. Salah satunya adalah memperbolehkan para penumpang yang berombongan atau satu keluarga duduk bersebelahan dengan menawarkan tiket yang lebih murah.
Langkah efisiensi lain yang ditempuh adalah menawarkan pensiun dini kepada karyawan. Saat ini jumlahnya baru 1.099 orang dan masih jauh dari harapan. Oleh karena itu, lanjut Irfan, perseroan akan menggulirkan penawaran-penawaran lain, salah satunya melalui skema cuti di luar tanggungan.
“Ini khususnya bagi mereka yang memiliki kepentingan-kepentingan tertentu, seperti cuti sebelum atau sesudah melahirkan, kuliah, atau meninggalkan perusahaan dalam kurun waktu tertentu. Ini tengah kami bahas dan tentu saja dengan melibatkan karyawan untuk berdialog,” kata dia.
Kementerian BUMN mencatat, total utang Garuda Indonesia membengkak dari Rp 20 triliun menjadi Rp 70 triliun. Hal ini tidak terlepas dari perubahan pengakuan kewajiban pada biaya sewa pesawat dari semula tercatat sebagai biaya operasional (opex), kini diwajibkan dicatat sebagai utang berdasarkan pedoman standar akuntansi keuangan (PSAK).
Sementara dengan pendapatan sebesar 50 juta dollar AS, beban biaya operasional Garuda Indonesia sekitar 150 juta dollar AS per bulan. Artinya perusahaan merugi 100 juta dollar AS per bulan.
Saat ini, Kementerian BUMN tengah mematangkan opsi moratorium pembayaran utang dan standstill agreement atau penghentian pembayaran bunga untuk menyelamatkan Garuda Indonesia. Langkah ini akan dibarengi dengan pemangkasan struktur biaya operasional minimal 50 persen (Kompas, 4/6/2021).