Imbas Pengetatan PPKM, Pemerintah Rencanakan Realokasi Anggaran
Penerapan pembatasan sosial dengan skala yang lebih besar akan menjadi tantangan karena beberapa pos untuk perlindungan sosial dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2020 dihentikan.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Realokasi anggaran untuk perlindungan kesehatan masyarakat menjadi salah satu opsi pemerintah dalam penanganan dampak pandemi Covid-19 yang kian meluas. Respons kebijakan fiskal dalam penanganan pandemi dilakukan dengan menentukan skala prioritas.
Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu Isa Rachmatarwata mengatakan, lonjakan kasus Covid-19 yang terjadi belakangan ini harus segera dikendalikan. Penanganan pandemi membutuhkan sumber daya APBN yang cukup besar. Di sisi lain, pemerintah punya misi untuk segera menyehatkan keuangan negara.
”Pembatasan sosial menjadi tantangan untuk membuat belanja-belanja negara semakin efektif. Pembatasan masyarakat juga jadi tantangan tersendiri untuk mengejar target penurunan defisit anggaran ke bawah 3 persen pada 2023,” ujarnya, Selasa (22/6/2021).
Pemerintah telah memutuskan untuk memperketat kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) berskala mikro mulai 22 Juni sampai 5 Juli 2021. Kebijakan ini diambil untuk meredam lonjakan kasus positif Covid-19 dalam beberapa pekan terakhir.
Isa menilai, penerapan pembatasan sosial dengan skala yang lebih besar akan menjadi tantangan karena beberapa pos untuk perlindungan sosial dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2020 telah dihentikan pada tahun ini, di antaranya bantuan sosial (bansos) beras untuk keluarga penerima manfaat (KPM) Program Keluarga Harapan (PKH) dan bansos tunai untuk KPM sembako non-PKH.
Isa memastikan pada dasarnya APBN 2021 cukup fleksibel untuk menyikapi perubahan situasi terkait kondisi penanganan pandemi Covid-19. Oleh karena itu, berbagai langkah penanganan dan kebijakan dipastikan akan terus dievaluasi oleh pemerintah.
Sejak tahun lalu, pemerintah menyiapkan dana cadangan untuk penanggulangan Covid-19 yang nilainya mencapai Rp 34,23 triliun. Seluruh dana ini difokuskan untuk pengadaan vaksin. Dari jumlah tersebut senilai Rp 5 triliun dialokasikan pada tahun lalu, sedangkan Rp 29,23 triliun digunakan untuk program vaksinasi pada tahun ini.
Sejalan dengan dampak pengetatan PPKM, lanjut Isa, otoritas fiskal berencana merealokasi anggaran pada pos transfer ke daerah dan dana desa (TKDD).
”Cukup banyak dana TKDD yang diperuntukkan bagi program penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional dan juga lebih relevan dan cocok untuk PPKM,” kata Isa.
Isa tidak merinci nominal anggaran yang akan digunakan untuk menyokong efektivitas pengetatan PPKM, termasuk untuk program kesehatan dan perlindungan sosial. Hingga 31 Mei 2021, penyaluran TKDD sebesar Rp 298,02 triliun atau 37,5 persen dari total alokasi TKDD 2021 sebesar Rp 723,5 triliun.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad memperkirakan beban APBN untuk penerapan PPKM mikro tidak terlalu berat ketimbang jika kebijakan yang diambil adalah pembatasan sosial berskala besar (PSBB) meski keduanya tetap memerlukan gelontoran bantuan sosial dan insentif.
”Penerapan PPKM mikro sebenarnya sudah terbukti tidak terlalu berdampak pada mobilitas masyarakat. Penerapannya pun kalau berkaca dari kebijakan sebelumnya masih sangat longgar,” kata Tauhid.
Ia tidak dapat memperkirakan berapa kira-kira tambahan beban APBN untuk menopang ekonomi saat pemerintah menerapkan PSBB.
Berkaitan dengan alokasi anggaran, Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira menyarankan agar pemerintah memfokuskan alokasi anggaran untuk program kesehatan dan perlindungan sosial sehingga konsumsi tetap terjaga di tengah pemberlakukan pengetatan PPKM.
Bhima berpendapat, jika pemerintah tidak punya banyak opsi instrumen untuk meminimalkan dampak ekonomi dari pembatasan sosial, pemerintah masih bisa menghentikan kucuran anggaran infrastruktur untuk sementara serta mengalihkannya ke pos kesehatan dan bantuan sosial.
Menurut Bhima, pemerintah dapat lebih fleksibel merealokasi anggaran mengingat saat ini sudah ada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19.
Dengan beleid tersebut, pemerintah juga berwenang untuk menggeser alokasi anggaran secara cepat. ”Anggaran infrastruktur senilai Rp 413 triliun bisa dialihkan untuk pemulihan kesehatan. Sekali lockdown efektif, maka ekonomi akan tumbuh solid, tidak semu seperti saat ini,” ujar Bhima.