Strategi Kebijakan Industri Tak Bisa Berdiri Sendiri
Perlu ada kebijakan reformasi struktural komprehensif untuk menguatkan industri dalam negeri. Pemerintah fokus mengembangkan industri kecil-menengah yang jumlahnya 99,7 persen dari total pelaku industri nasional.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Salah satu bagian proses pengerjaan yang sebagian besar berbahan logam antikarat di Pabrik Nayati, Terboyo, Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis (17/9/2020). Krisis ekonomi selama pandemi juga berdampak pada bisnis ini karena sebagian besar konsumennya merupakan industri layanan dan jasa.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berupaya menciptakan iklim usaha kondusif untuk memacu investasi pada sektor manufaktur dan meningkatkan daya saing industri nasional, khususnya yang berskala kecil-menengah. Namun, tanpa strategi kebijakan perdagangan, investasi, dan industri yang terintegrasi, cita-cita itu bisa jadi sulit dicapai.
Kementerian Perindustrian menargetkan investasi sektor manufaktur pada 2021 senilai Rp 323 triliun, meningkat 18 persen dari capaian investasi sektor manufaktur pada 2020 yang tercatat Rp 272,9 triliun. Pada triwulan I-2021 ini, Kementerian Investasi mencatat, investasi sektor sekunder (manufaktur) sudah mencapai Rp 88,3 triliun.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal, Selasa (8/6/2021), mengatakan, di tengah pandemi yang mendisrupsi pasar kerja dan perdagangan global, investasi manufaktur yang bersifat padat karya dan bernilai tambah tinggi memang perlu dipacu untuk menciptakan lapangan kerja lebih banyak serta memacu kinerja ekspor.
Untuk itu, diperlukan kebijakan reformasi struktural yang komprehensif dan bisa mendorong reindustrialisasi. Sebagai langkah awal, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang memangkas sejumlah regulasi dan perizinan untuk membuat iklim usaha lebih kondusif dan menarik investasi.
KOMPAS/ERWIN EDHI PRASETYA
Aktivitas produksi divisi garmen PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex di Sukoharjo, Jawa Tengah, Rabu (13/2/2019). Industri tekstil dan produk tekstil masih memiliki peluang luas di pasar dalam negeri dan ekspor, tetapi menghadapi tantangan efisiensi dan persaingan global.
Namun, iklim usaha yang kondusif tidak hanya ditentukan berdasarkan kemudahan izin saat mendirikan usaha. Dibutuhkan pula kelancaran dalam menjalankan dan mengembangkan usaha.
Menurut Faisal, kebijakan perdagangan masih sering bertentangan dengan cita-cita memacu investasi manufaktur dan menguatkan daya saing industri nasional. Sebagai contoh, kebijakan impor yang longgar kerap menggerus penyerapan produk dalam negeri, terutama yang dihasilkan oleh industri kecil-menengah (IKM).
Salah satu sektor yang paling sering terdampak serbuan produk impor adalah industri tekstil dan produk tekstil (TPT), yang umumnya berskala IKM. Pertumbuhan industri TPT per triwulan I-2021 merupakan yang terendah dibandingkan dengan sektor pengolahan nonmigas lainnya, di angka minus 13,28 persen.
Di sisi lain, strategi perdagangan juga tidak bisa optimal tanpa upaya penguatan daya saing industri nasional dan peningkatan investasi di sektor pengolahan. Perjanjian dagang yang belakangan ditandatangani Pemerintah RI hanya bisa dimanfaatkan maksimal jika negara telah memiliki produk yang siap dipasarkan.
Kompas/Priyombodo
Pekerja mencoba nyala api kompor gas yang diproduksi di PT Selaras Citra Nusantara Perkasa di kawasan Cileungsi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis (10/10/2019). Di tengah perang dagang Amerika Serikat-China, PT Selaras Citra Nusantara Perkasa memanfaatkan peluang dengan melepas ekspor perdana pemurni udara elektrik ke AS. Industri dengan kapasitas produksi 4 juta unit per tahun ini berkembang sebagai original equipment manufacturer (OEM) untuk beragam produk perangkat elektronik rumah tangga ternama ataupun sebagai manufaktur yang memproduksi brand milik sendiri, yaitu Turbo.
Sementara itu, saat ini ekspor Indonesia masih lebih banyak mengandalkan komoditas, seperti kelapa sawit dan batubara. Padahal, sekitar 72 persen transaksi ekspor di pasar global adalah produk manufaktur yang bernilai tambah.
”Jadi, harus ada perubahan paradigma. Tidak bisa lagi berdiri sendiri-sendiri kalau mau dampak optimal. Kalau pemerintah menyadari bahwa reformasi struktural itu penting, seharusnya kebijakan investasi dan penciptaan lapangan kerja juga didukung dengan strategi yang sejalan dari sisi perdagangan dan manufaktur,” kata Faisal, saat dihubungi di Jakarta.
Fokus IKM
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, pemerintah berupaya mereformasi secara besar-besaran ekosistem berusaha untuk memacu investasi dan ekspor. Langkah strategis untuk itu, antara lain, dengan memangkas regulasi yang menghambat usaha dan menciptakan iklim usaha kondusif.
Implementasi kebijakan yang seimbang antara upaya memacu investasi, meningkatkan daya tahan dan daya saing industri dalam negeri, serta menggenjot kinerja ekspor, diyakini akan menguatkan industri Tanah Air. ”Khususnya, untuk pelaku IKM, itu perlu ditingkatkan secara maksimal untuk memenuhi permintaan order,” kata Agus.
Data Kemenperin, IKM mendominasi 99,77 persen industri nasional dengan jumlah 4,4 juta pelaku industri. Tenaga kerja yang diserap oleh IKM 66,25 persen dari total 15,63 juta angkatan kerja yang terserap industri. Namun, dengan jumlah yang banyak itu, nilai output IKM terhadap industri masih 21,22 persen.
KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN/TANGKAPAN LAYAR
Kontribusi industri kecil-menengah terhadap industri nasional
Agus mengatakan, tahun 2022, Kemenperin merencanakan pembangunan material center (pusat bahan baku) dan program restrukturisasi IKM dengan proyeksi anggaran Rp 92,4 miliar. ”Program ini untuk membantu industri kecil yang kesulitan bahan baku dan penolong serta menyerap hasil tani, kebun, dan tangkap ikan lokal sebagai bahan baku industri,” katanya.
Ada sejumlah program yang disiapkan untuk menggenjot daya tahan dan daya saing IKM nasional. Mulai dari restrukturisasi mesin dan peralatan untuk IKM, fasilitasi IKM dalam mengikuti pameran dalam dan luar negeri, fasilitasi penerapan sertifikasi produk, serta fasilitasi program E-Smart IKM yang mengintegrasikan IKM dengan marketplace yang sudah ada.
Direktur Jenderal Ketahanan, Perwilayahan, dan Akses Industri Internasional Kemenperin Eko SA Cahyanto mengatakan, untuk mendorong ekspor, pemerintah juga menyediakan fasilitas pembiayaan ekspor yang bisa dimanfaatkan IKM lewat Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI).
”Yang saat ini bisa dimanfaatkan adalah untuk mendorong ekspor ke negara kawasan Afrika, Asia Selatan, dan Timur Tengah,” katanya.