Aktivitas pabrik di Asia tumbuh pada Mei 2021 berkat pemulihan permintaan global. Namun, kenaikan biaya bahan baku dan kendala rantai pasokan masih membayangi prospek ekonomi ke depan.
Oleh
Agnes Theodora/Benny Dwi Koestanto
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemulihan permintaan global dinilai mendongkrak aktivitas manufaktur di kawasan Asia. Situasi serupa terjadi di Indonesia yang indeks manajer pembelian manufakturnya mengalami ekspansi dalam tujuh bulan berturut-turut dan mencapai angka tertinggi pada Mei 2021.
Aktivitas pabrik di China, merujuk data indeks manajer pembelian (PMI) terbaru, telah berkembang pada laju tercepat tahun ini pada Mei 2021. Hal itu dinilai terdorong oleh permintaan yang solid dari dalam dan luar negeri. Sementara di Jepang dan Korea Selatan, sesuai data PMI terbaru, menunjukkan ekspansi yang moderat.
Dari data yang dikumpulkan pada 12-21 Mei 2021, IHS Markit mencatat, terjadi pertumbuhan permintaan baru yang kuat di sektor manufaktur. Hal itu mendorong kebutuhan produksi lebih tinggi dan kenaikan pertama jumlah tenaga kerja sejak industri manufaktur terdampak pandemi Covid-19 dalam 15 bulan terakhir.
Laporan yang dirilis IHS Markit, Rabu (2/6/2021), menunjukkan, PMI Manufaktur Indonesia pada Mei 2021 di posisi 55,3 atau naik dari level 54,6 pada April 2021, tertinggi selama 10 tahun terakhir dan kenaikan dalam tiga bulan berturut-turut. PMI Manufaktur Indonesia bulan lalu bahkan di atas PMI negara-negara Asia Tenggara lain.
Seiring pulihnya sektor manufaktur, untuk pertama kalinya sejak 15 bulan lalu, ada penambahan jumlah tenaga kerja. Perusahaan mulai berani merekrut pekerja untuk memenuhi kapasitas produksi. Perusahaan juga meningkatkan akuisisi bahan baku dan barang setengah jadi dan memperluas pembelian selama empat bulan berturut-turut. Kendati demikian, masih ada kendala pasokan bahan baku dan logistik yang harus dihadapi.
Pengiriman bahan baku dari pemasok diperpanjang karena kendala pasokan di tengah cuaca buruk, kurangnya bahan baku, dan masalah pengiriman yang terdampak pandemi. Kesulitan itu berdampak pada menipisnya stok pembelian dan barang jadi. Kendala bahan baku juga menyebabkan inflasi biaya input yang berdampak pada kenaikan harga jual.
Direktur Asosiasi Ekonomi IHS Markit Jingyi Pan menilai, perluasan jumlah tenaga kerja untuk pertama kalinya merupakan tanda yang menggembirakan. Hal itu menunjukkan perusahaan mulai optimistis dengan tren pemulihan sehingga mereka mulai kembali berani merekrut pekerja. Namun, ia menyoroti kendala pasokan bahan baku dan logistik.
Menurut Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad, mengacu tren volume bongkar muat di pelabuhan internasional dan domestik per Maret 2021 oleh Badan Pusat Statistik, kendala pengiriman bahan baku umumnya lebih banyak terjadi di pintu masuk pelabuhan domestik.
Selain itu, pemulihan kinerja industri yang ekspansif di hilir belum diiringi perbaikan di hulu sebagai penyedia bahan baku/penolong. Indonesia kehilangan momentum untuk mengurangi impor bahan baku dan melakukan substitusi impor.
Ke depan, pekerjaan rumah yang harus dituntaskan adalah meningkatkan efisiensi logistik dalam negeri serta mempercepat substitusi impor di sektor hulu. Sistem rantai industri dari hulu ke hilir harus diperkuat agar RI tidak bergantung pada bahan baku/penolong impor.
”Kita butuh investasi, teknologi, dan sumber daya manusia di sektor hulu yang bisa cepat mengikuti tren global. Persoalan logistik yang lebih efisien dan lancar juga harus diperhatikan,” kata Tauhid.
Terkait ini, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, pemerintah akan memastikan kendala pasokan bahan baku dan logistik bagi pelaku industri segera diatasi. Hal itu penting untuk menjaga momentum ekspansi industri manufaktur Indonesia agar tetap berada di atas level 50. ”Kami akan terus menyelaraskan dan memperkuat kebijakan, terutama terkait masalah lamanya waktu pengiriman bahan baku dan penolong industri. Arus bahan baku di dalam dan luar negeri yang masuk ke kita akan jadi perhatian,” kata Agus.
Pemerintah saat ini sedang melakukan penataan Ekosistem Logistik Nasional (NLE). Setidaknya, ada tiga hal utama yang akan menjadi perhatian. Pertama, kolaborasi layanan pemerintah dengan platform logistik swasta. Kedua, regulasi yang efisien dan standar layanan yang prima. Ketiga, menyiapkan strategi penataan yang tepat dengan berbasis teknologi informasi dan digitalisasi.
Direktur Jenderal Ketahanan, Perwilayahan, dan Akses Industri Internasional Eko SA Cahyanto mengatakan, dalam era Revolusi Industri 4.0, perlu ada perubahan paradigma yang mendasar dari proses merancang, memproduksi, mendistribusikan, hingga memasarkan produk industri.
”Pandemi ini menunjukkan pentingnya digitalisasi dalam rantai pasok. Melalui pengembangan sistem informasi, itu akan memudahkan produksi, termasuk proses logistik. Dengan demikian, produktivitas dan efisiensi bisa dicapai dengan simultan,” kata Eko.