Kesepakatan Tarif Pajak Minimum G-7 Tak Berpengaruh Signifikan pada Perpajakan Nasional
Kesepakatan negara-negara G-7 terkait pajak global minimum sebesar 15 persen terhadap perusahaan multinasional tidak secara langsung memberi pengaruh kepada sistem perpajakan Indonesia.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Negara-negara anggota Kelompok 7 atau G-7 menyepakati proposal pajak global minimum sebesar 15 persen. Pemerintah menilai kesepakatan ini tidak akan berdampak signifikan terhadap peningkatan penerimaan negara. Namun, kesepakatan ini tetap bisa menjadi dasar implementasi ketentuan pajak antarnegara yang lebih adil.
Negara kelompok G-7 merupakan deretan negara dengan produk domestik bruto (PDB) terbesar di dunia, yakni Amerika Serikat (AS), Inggris, Jepang, Jerman, Perancis, Italia, dan Kanada. Dilansir dari Reuters, kesepakatan ini dirancang untuk mengatasi keluhan bahwa perusahaan digital besar dapat menghasilkan uang di banyak negara dan membayar pajak hanya di dalam negeri.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor menilai secara umum, kesepakatan negara-negara G-7 terkait pajak global minimum sebesar 15 persen pada perusahaan multinasional tidak secara langsung memberi pengaruh kepada sistem perpajakan Indonesia.
Tarif pajak korporasi di Indonesia saat ini sebesar 22 persen dan akan turun menjadi 20 persen pada 2022. Artinya, tarif pajak kita sudah lebih tinggi daripada tarif global minimum tax yang disepakati negara-negara G-7.
”Tarif pajak korporasi di Indonesia saat ini sebesar 22 persen dan akan turun menjadi 20 persen pada 2022. Artinya, tarif pajak kita sudah lebih tinggi daripada tarif global minimum tax yang disepakati negara-negara G-7,” ujarnya melalui pesan singkat, Selasa (8/6/2021).
Sejak tahun 2020 pemerintah menurunkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan dari 25 persen menjadi 22 persen yang berlaku hingga 2021. Kemudian akan kembali turun menjadi 20 persen pada 2022. Khusus bagi emiten dengan kriteria tertentu, dapat tambahan diskon tarif 3 persen.
Laporan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menunjukkan sepanjang Januari hingga Desember 2020 penerimaan pajak korporasi atau PPh Badan mencatatkan kontraksi negatif 37,8 persen secara tahunan.
Kementerian Keuangan mencatat realisasi penerimaan PPh Pasal 25/29 Badan di tahun 2019 sebesar Rp 256,74 triliun. Dengan kontraksi 37,8 persen, artinya penerimaan PPh Pasal 25/29 pada 2020 hanya sekitar Rp 159,7 triliun.
Meski begitu, menurut Neilmaldrin, kesepakatan terkait tarif minimum pajak global antara negara-negara G-7 punya sisi baik untuk menjadi menjadi dasar yang kuat untuk konsensus multilateral yang sedang didiskusikan dalam forum Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). Indonesia sendiri tercatat menjadi salah satu anggota forum tersebut.
Hingga saat ini, lanjutnya, negara-negara anggota terus berkomitmen untuk terlibat secara aktif dalam pencapaian konsensus global, tidak hanya terkait pajak global minimum, tetapi pemajakan ekonomi digital secara luas, yang direncanakan tercapai pada pertengahan tahun 2021 ini.
”Konsensus global tersebut terkait adanya tax treaty (kesepakatan pajak) dengan negara lain. Sementara untuk negara non-treaty, pemerintah sudah bisa melakukan pemungutan PPN produk digital dan Pajak Penghasilan (PPh) melalui UU No 2 Tahun 2020,” ujar Neilmaldrin.
Khusus untuk PPh dari negara-negara mitra kesepakatan pajak, pemungutannya dapat dilakukan setelah konsensus global tercapai dan istiahnya bukan PPh, melainkan Pajak Transaksi Elektronik (PTE) atau Electronic Transaction Tax (ETT).
”Apabila konsensus global gagal tercapai, pada akhirnya banyak negara di dunia akan melanjutkan rencana penyusunan ataupun implementasi regulasi yang dibutuhkan untuk secara adil menerapkan skema pemajakan ekonomi digital,” kata Neilmaldrin.
Sementara itu, ekonom Centre of Reform on Economics (CORE), Yusuf Rendy Manilet, menilai bahwa kesepakatan perpajakan global ini meninggalkan sejumlah catatan untuk dievaluasi. Salah satunya terkait besaran tarif yang disepakati masih tidak terlalu jauh berbeda dari tarif pajak multinasional yang dianut negara ”surga pajak”.
”Besaran tarif ini agak berbeda dengan beberapa saran tarif ideal dari yang disampaikan beberapa ekonom sebagai masukan tarif pajak global untuk bisnis multinasional berada di kisaran 21 persen,” ujar Yusuf.
Menurut dia, kesepakatan dan implementasi terkait pajak global ini dinamis dan masih akan berkembang. Perkembangan terdekat, pembahasan ini akan dibawa ke pertemuan menteri-menteri keuangan negara anggota G-20 di Italia pada Juli 2021.
”Setelah itu, baru akan ada pembicaraan jangka panjang antara sekitar 140 negara anggota OECD. Jadi, isu ini masih akan terus berkembang jauh dari selesai,” ujar Yusuf.
Meski begitu, kesepakatan pajak global terhadap perusahaan multinasional dinilainya tetap akan menjadi suatu keuntungan bagi Indonesia. Pasalnya, menurut Yusuf, Indonesia merupakan salah satu negara yang sering dirugikan dengan adanya tarif pajak yang lebih rendah di negara surga pajak.
”Jika sudah ada tarif minimal, setidaknya menutupi ruang gerak perusahaan multinasional yang sering memanfaatkan celah tarif pajak berbeda untuk memindahkan laba mereka ke negara dengan tarif pajak yang lebih rendah,” kata Yusuf.