Pemerintah Akan Terapkan Skema Multitarif untuk PPN
Kenaikan tarif PPN akan diberlakukan untuk barang-barang yang dikonsumsi kelompok atas yang sifatnya terbatas. Sementara tarif pajak untuk barang yang banyak digunakan masyarakat akan diturunkan.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berencana mengubah tarif Pajak Pertambahan Nilai atau PPN dengan skema multitarif. Dengan skema ini, pemerintah akan mengenakan tarif pajak lebih tinggi untuk barang-barang mewah dan mengenakan tarif pajak yang lebih rendah untuk barang dan jasa tertentu yang dibutuhkan masyarakat berpenghasilan rendah.
Hal itu disampaikan Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo dalam webinar bertajuk ”Ekonomi Pulih Menuju Kebangkitan Nasional”, Kamis (3/6/2021).
Kenaikan tarif pajak, menurut Yustinus, akan diberlakukan untuk barang-barang yang dikonsumsi kelompok atas yang sifatnya terbatas alias barang mewah. Sebaliknya, tarif pajak barang untuk barang publik yang banyak diperuntukkan dan digunakan oleh masyarakat akan diturunkan.
Payung hukum penyesuaian tarif PPN saat ini masih dalam rancangan. Diperkirakan kebijakan tersebut kemungkinan baru akan diterapkan pada 2022 atau 2023. (Yustinus Prastowo)
”Untuk barang publik akan diturunkan dari saat ini sebesar 10 persen menjadi bisa dikenai 7 persen. Sementara besaran tarif PPN yang lebih tinggi masih dalam rancangan agar bisa kompetitif dan menciptakan keadilan,” ujarnya.
Yustinus menambahkan, payung hukum penyesuaian tarif PPN saat ini masih dalam rancangan. Ia memperkirakan kebijakan tersebut kemungkinan baru akan diterapkan pada 2022 atau 2023. Pasalnya, penerimaan pajak tak dapat dikejar secara agresif di tengah pandemi Covid-19 yang masih berlangsung.
”Ke depan memang berbagai reformasi perpajakan masih diperlukan guna menyehatkan kembali kas negara setelah pandemi berakhir,” ujarnya.
Dihubungi secara terpisah, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor masih enggan untuk memberikan keterangan lebih detail terkait perkembangan perumusan tarif PPN baru. Ia pun belum dapat memastikan kapan tarif baru diimplementasikan.
”Perumusan sedang dalam proses kajian dan menunggu pembahasannya dengan DPR. Implementasi juga masih menunggu pembahasan,” ujarnya.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menilai, keputusan pemerintah menaikkan PPN dengan menggunakan skema multitarif punya konsekuensi terhadap penurunan dan peningkatan penggunaan sejumlah produk barang dan jasa.
Skema PPN multitarif sebenarnya telah dianut oleh sejumlah negara, seperti Austria, Perancis, Yunani, dan Turki, karena dianggap menghadirkan rasa keadilan. Namun, jika skema multitarif PPN tidak diperhitungkan secara matang, kebijakan ini tetap bisa berdampak pada penurunan daya beli masyarakat sehingga memberatkan proses pemulihan ekonomi.
Yusuf meminta pemerintah berhati-hati dalam menentukan tarif baru PPN karena kebijakan ini akan berdampak pada seluruh masyarakat, baik kalangan pekerja formal maupun informal. Menurut dia, daya beli pekerja formal ataupun informal saat ini belum benar-benar pulih akibat pandemi.
”Upaya konsolidasi fiskal harus beriringan pada upaya pemulihan. Di sisi lain, pemerintah masih bisa mendorong kenaikan penerimaan pajak melalui cara lain, baik intensifikasi maupun ekstensifikasi,” kata Yusuf.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada 2020 konsumsi rumah tangga menopang 57,66 persen distribusi produk domestik bruto. Artinya, jika konsumsi rumah tangga tertekan akibat tarif baru PPN, jalan pemulihan ekonomi makin menemui jalan terjal.
Sementara itu, Managing Partner Danny Darussalam Tax Center Darussalam menilai, skema multitarif pada PPN sejalan dengan tujuan pemerintah dalam mewujudkan sistem PPN yang lebih adil. Menurut dia, PPN sebagai pajak berbasis konsumsi adalah jenis pungutan yang relatif tahan guncangan di kala krisis.
”Oleh karena itu, upaya meningkatkan penerimaan dari pos PPN di saat pemulihan pascapandemi adalah kebijakan yang tepat,” katanya.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, pemerintah bisa mengubah besaran pungutan.
Dalam UU tersebut telah diamanatkan bahwa perubahan tarif paling rendah berada di angka 5 persen dan paling tinggi 15 persen. Saat ini, tarif PPN yang berlaku untuk semua produk dan jasa sebesar 10 persen.