Kenaikan PPN telah dilakukan oleh banyak negara untuk mendulang penerimaan sekaligus mendorong roda perekonomian. Namun, tidak semuanya berhasil menggunakan strategi ini.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
Pemerintah telah menegaskan komitmen untuk memulihkan pertumbuhan konsumsi domestik selaku kontributor utama pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Di sisi lain, beredar kabar bahwa pemerintah berencana menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tahun depan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2020 konsumsi rumah tangga menopang 57,66 persen distribusi produk domestik bruto (PDB). Artinya, jika konsumsi tertekan, jalan yang akan dilalui untuk pemulihan ekonomi bisa semakin terjal.
Pada 2022, Kementerian Keuangan berencana menaikkan tarif PPN dari yang berlaku saat ini sebesar 10 persen. Kenaikan ini merupakan bagian dari reformasi fiskal di bidang perpajakan untuk mendukung konsolidasi fiskal yang ditargetkan terwujud pada 2023.
Pekan ini, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam konferensi pers mengatakan, pemerintah akan mengajukan revisi tarif PPN kepada DPR, yang dikaitkan dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Langkah tersebut dikhawatirkan tidak selaras dengan ambisi pemerintah yang menetapkan target pertumbuhan ekonomi pada 2022 berada pada kisaran 5,4 persen-6 persen.
Berkaca dari data BPS tentang pertumbuhan ekonomi pada triwulan I-2021 saja, sumber kontraksi dari pertumbuhan ekonomi pada periode ini disumbang oleh komponen konsumsi rumah tangga yang tumbuh negatif 2,23 persen secara tahunan.
Masih lesunya kinerja konsumsi rumah tangga membuat pertumbuhan ekonomi terkontraksi negatf 0,74 persen secara tahunan. Meskipun pada tiga bulan pertama tahun ini ekspor dan impor secara tahunan tumbuh masing-masing 6,74 persen dan 5,27 persen, pertumbuhan ekonomi tetap terkontraksi.
Memang benar kenaikan PPN telah dilakukan oleh banyak negara untuk mendulang penerimaan sekaligus mendorong roda perekonomian. Namun, tidak semuanya berhasil. Jepang menjadi salah satu negara yang dinilai sejumlah kalangan gagal menerapkan strategi ini untuk menggerakkan ekonomi domestik mereka.
Pada triwulan IV-2019, Pemerintah Jepang telah mengumumkan bahwa Pajak Konsumsi di negara itu naik menjadi 10 persen dari sebelumnya 8 persen. Imbasnya pertumbuhan ekonomi Jepang mengalami kontraksi tajam sepanjang triwulan IV-2019, yakni negatif 6,3 persen secara tahunan.
Butuh waktu setahun lamanya untuk kembali menbangkitkan ekonomi negeri Matahari Terbit itu. Baru pada triwulan IV-2020, ekonomi Jepang untuk periode itu melesat hingga 12,7 persen secara tahunan.
Perlu kita garis bawahi, sekitar 70 persen struktur PDB Jepang ditopang oleh sektor jasa. PDB Indonesia dilihat dari strukturnya memiliki persentase sektor jasa yang lebih kecil, sekitar 44 persen. Bisa jadi Indonesia punya risiko kegagalan lebih besar daripada Jepang soal pemulihan.
Berkaca pada data pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan pertama tahun ini, rencana kenaikan PPN pun mengundang pertanyaan, akankah pilihan kebijakan tersebut dapat menjadi strategi jitu untuk mendukung konsolidasi fiskal. Pasalnya, strategi ini dapat berimplikasi secara langsung terhadap daya beli dan konsumsi.
Konsolidasi fiskal bisa jadi akan lebih efektif jika menggunakan strategi pemangkasan pengeluaran atau spending cuts untuk beberapa sektor yang dianggap bukan prioritas.
Praktik konsolidasi fiskal di beberapa negara yang masih mengandalkan konsumsi domestik sebagai motor roda perekonomian, seperti di India, pun lebih menekankan pada pemangkasan belanja pemerintah dibandingkan dengan upaya untuk meningkatkan penerimaan.
Di Indonesia, konsumsi adalah salah satu unsur untuk menaikkan pertumbuhan ekonomi. Kenaikan PPN, terlebih lagi pada saat pemulihan aktivitas masyarakat dari pandemi belum tuntas, dikhawatirkan dapat makin mengurangi konsumsi sehingga berisiko menekan pertumbuhan ekonomi.
Sebagai negara yang masih merintis sektor jasa untuk diandalkan, konsumsi berdampak besar pada ekonomi Indonesia karena menyentuh semua lapisan masyarakat. Jika sektor ini dibebani tarif PPN yang tinggi, dampak tersebut juga akan dirasakan oleh masyarakat secara luas.
Di sisi lain, mungkin dapat pula dipertimbangkan jika kenaikan dilakukan pada Pajak Penghasilan (PPh) yang hanya menyasar kalangan tertentu masyarakat yang daya beli serta ekonomi rumah tangganya tidak terganggu oleh pembatasan-pembatasan aktivitas ekonomi demi menekan penularan Covid-19.