Gebrakan Kebijakan Pajak Diprediksi Identik dengan ”Sunset Policy”
Kebijakan pajak yang tengah dimatangkan pemerintah untuk mendorong kepatuhan pajak ditengarai akan serupa dengan kebijakan ”sunset policy” yang pernah sukses pada tahun 2008.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berencana mengimplementasikan sebuah gebrakan kebijakan pajak pada 2022 untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak dalam melunasi kewajiban perpajakannya yang belum dilaporkan. Cara ini diyakini bisa mendukung peningkatan penerimaan pajak.
Meski Kementerian Keuangan belum memaparkan secara detail mekanisme dari kebijakan tersebut, banyak yang menduga bahwa kebijakan pajak yang tengah dimatangkan ini mirip dengan kebijakan sunset policy yang pernah sukses di periode tahun 2008-2009.
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak pada Kementerian Keuangan Yon Arsal memastikan otoritas fiskal besama DPR tengah melakukan pembahasan mengenai mekanisme kebijakan untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak dalam melunasi kewajiban perpajakan.
Nanti pembahasan detail rinciannya seperti tarif akan kami bahas berbarengan dengan pembahasan di DPR.
Mekanisme tersebut merupakan bagian dari Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) dan Tata Cara Perpajakan. Namun, ia masih belum dapat memaparkan secara detail mekanisme dari kebijakan yang digadang-gadang sebagai program pengampunan pajak (taxamnesty) jilid kedua.
”Nanti pembahasan detail rinciannya, seperti tarif, akan kami bahas berbarengan dengan pembahasan di DPR,” ujarnya saat dihubungi, Selasa (1/6/2021).
Dihubungi secara terpisah, Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR sekaligus anggota Komisi XI Fraksi PDI-P Said Abdullah menegaskan, program pengampunan pajak hanya akan dilakukan satu kali dalam satu generasi. Adapun kebijakan pemerintah dalam mendorong kepatuhan pajak diharapkannya akan lebih mengarah pada sunset policy.
”Bila kebijakan yang dilakukan adalah sunset policy, maka DPR akan mendukung karena kebijakan ini akan berbeda dengan tax amnesty,” kata Said.
Ia memaparkan, program sunset policy berbeda dengan tax amnesty. Dalam sunset policy, yang dihapuskan adalah sanksi denda administrasi. Adapun pokok pajaknya wajib dibayar penuh sesuai tarif umum yang berlaku bagi wajib pajak orang pribadi dan badan. Dalam kebijakan ini pun tidak terdapat ketentuan mengenai pembebasan atas tuntutan pidana pajak.
Sementara dalam tax amnesty umumnya yang diberikan adalah pengampunan atas pokok pajak, yaitu keringanan dengan penerapan tarif yang jauh lebih rendah dari tarif pajak yang berlaku umum atas utang pajak atau pokok pajak yang kurang atau belum dibayar. Selain itu, dalam tax amnesty diberikan pembebasan dari tuntutan pidana pajak.
Berdasarkan catatan Kompas, sunset policy mulai berlaku 1 Januari 2008 hingga 31 Desember 2008. Namun, belakangan, pemerintah menambah batas waktunya menjadi 28 Februari 2009.
Sunset policy telah menyumbang 15,2 persen atau sekitar Rp 555 miliar terhadap surplus penerimaan pajak pada tahun 2008 yang mencapai Rp 36,57 triliun. Adapun realisasi penerimaan pajak kala itu sebesar Rp 571,1 triliun melampaui dengan target Rp 534,53 triliun (Kompas, 30/1/2009).
Dalam tax amnesty umumnya yang diberikan adalah pengampunan atas pokok pajak, yaitu keringanan dengan penerapan tarif yang jauh lebih rendah dari tarif pajak yang berlaku umum atas utang pajak atau pokok pajak yang kurang atau belum dibayar.
Di samping itu, penerapan sunset policy telah memicu peningkatan wajib pajak. Jumlah wajib pajak terdaftar pada tahun 2009 mencapai 15,91 juta, meningkat 50 persen daripada 2008 yang sebanyak 10,68 juta. Padahal, pada tahun 2005 jumlah wajib pajak hanya 4,35 juta (Kompas, 5/1/2010).
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono memperkirakan rencana kebijakan pemerintah terkait pajak yang saat ini tengah dimatangkan akan mirip dengan program sunset policy yang pernah sukses pada 2008.
”Apa pun nama kebijakan pajak yang tengah ramai diperbincangkan tersebut, secara konseptual, kebijakan pajak tersebut jangka waktunya tidak lama. Ibarat matahari terbenam, serta memunculkan klausul peraturan dengan batas pemberlakuan,” ujarnya.
Defisit anggaran
Prianto menilai, salah satu tujuan dari sunset policy ini adalah untuk mengembalikan defisit anggaran di bawah 3 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Pasalnya, sejauh ini pemerintah juga tidak memiliki banyak pilihan untuk mendulang penerimaan di tengah resesi ekonomi.
Sebelumnya, dalam konferensi pers APBN KiTa edisi Mei 2021, Rabu (26/5/2021), Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, pemerintah akan melihat angka-angka dalam postur APBN jangka menengah, yakni 2021 dan rencana pada 2022 untuk mengukur ketahanan fiskal dalam merealisasikan normalisasi defisit tersebut.
”Akan kami lihat jangka menengah, yakni 2021, dan rumusan 2022 dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal 2022. Sebab, hal itu menjadi landasan apakah 2023 kita seberapa mungkin untuk defisit bisa turun di bawah 3 persen,” kata Suahasil.
Kementerian Keuangan mencatat realisasi penerimaan pajak pada April 2021 sebesar Rp 374,9 triliun atau 30,5 persen dari target dalam APBN 2021 sebesar Rp 1.229,6 triliun. Capaian tersebut masih mengalami kontraksi negatif 0,5 persen secara tahunan. Adapun target defisit yang ditetapkan oleh pemerintah sepanjang tahun ini adalah 5,7 persen terhadap PDB.