Ada empat opsi yang tersedia, dari suntikan pinjaman ekuitas dari pemerintah, menyatakan Garuda bangkrut secara hukum, restrukturisasi perseroan sembari mendirikan maskapai nasional baru, hingga likuidasi Garuda.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kondisi PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk sedang terpuruk akibat terdampak pandemi Covid-19 dan terlilit utang hingga Rp 70 triliun. Garuda akan mengkaji sejumlah opsi penyelamatan yang ditawarkan oleh pemerintah sembari melakukan langkah efisiensi, dari renegosiasi sewa pesawat sampai pengurangan karyawan.
Terdapat empat opsi penyelamatan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk yang disiapkan oleh Kementerian Badan Usaha Milik Negara. Keempat opsi tersebut disiapkan dengan berkaca pada upaya penyelamatan yang ditempuh negara lain terhadap industri penerbangan mereka.
Opsi pertama adalah pemerintah terus mendukung Garuda melalui pemberian pinjaman ekuitas. Namun, opsi ini berpotensi meninggalkan warisan utang yang besar pada masa depan. Opsi kedua adalah proses legal bankruptcy atau menyatakan perusahaan bangkrut secara hukum untuk merestrukturisasi sejumlah kewajiban Garuda.
Opsi ketiga adalah restrukturisasi Garuda dan mendirikan perusahaan maskapai nasional (national flag carrier) baru yang melayani rute domestik. Maskapai baru itu akan mengambil alih sebagian besar rute domestik Garuda. Sementara opsi keempat adalah melikuidasi Garuda. Namun, akibatnya, Indonesia tidak lagi memiliki maskapai nasional.
Saat dikonfirmasi terkait dengan opsi-opsi tersebut, Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra, Kamis (27/5/2021), mengatakan, berbagai opsi tersebut akan dikaji oleh Garuda. Namun, keputusan tetap ada di tangan pemerintah. ”Tentu kami ikut mengkaji, tetapi itu lebih banyak menjadi urusan Kementerian BUMN, itu ranah mereka,” kata Irfan saat dihubungi di Jakarta.
Ia mengatakan, situasi pandemi yang memukul industri penerbangan mengharuskan perusahaan menempuh langkah-langkah efisiensi. Salah satunya adalah menawarkan program pensiun dini kepada karyawan Garuda.
Irfan mengatakan, sudah ada beberapa karyawan yang setuju mengambil tawaran pensiun dini itu. ”Program pensiun yang dipercepat ini kami tawarkan secara sukarela kepada karyawan yang memenuhi kriteria. Ini langkah terbaik yang dapat kami upayakan untuk karyawan kami di tengah kondisi saat ini,” ujarnya.
Ia menjanjikan para karyawan yang memilih pensiun dini akan dipenuhi hak-haknya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan yang berlaku serta kebijakan perjanjian kerja yang disepakati karyawan dengan perusahaan. ”Ini langkah berat yang harus kami tempuh, tetapi opsi ini harus kami ambil untuk bertahan di tengah ketidakpastian ini,” kata Irfan.
Senada, Komisaris PT Garuda Indonesia Yenny Wahid mengatakan, dari keempat opsi yang ditawarkan Kementerian BUMN, pihaknya masih melakukan kajian. Kondisi saat ini dinilai sangat berat, baik dari segi keuangan maupun layanan penerbangan.
”Nanti dilihat, opsi mana yang terbaik bagi Garuda dan juga bagi negara mengingat Garuda adalah national flag carrier kita,” kata Yenny.
Adapun langkah efisiensi yang ditempuh tidak hanya pengurangan karyawan lewat program pensiun dini. Yenny mengatakan, Garuda juga akan melakukan negosiasi ulang dengan pihak penyewa pesawat (lessor) untuk mengembalikan pesawat yang sudah tidak terpakai.
Dalam negosiasi itu, Garuda juga akan menekankan kontrak power by the hour atau sewa berdasarkan jam terbang (bukan per bulan) mengingat utilisasi pesawat pada masa pandemi masih sangat rendah. Kebanyakan pesawat Garuda saat ini terbang dalam keadaan merugi karena ada kebijakan menjaga jarak di dalam pesawat.
”Kami dari Dewan Komisaris meminta agar renegosiasi dengan lessor ini menjadi salah satu upaya khusus yang ditempuh direksi mengingat biaya sewa pesawat menjadi komponen biaya terbesar Garuda,” katanya.
Langkah bernegosiasi dengan lessor sudah dilakukan sejak tahun 2020. Sebelum ini, pada awal Februari 2021, Garuda juga telah menghentikan secara sepihak kontrak pesawat Bombardier CRJ1000 dari Nordic Aviation Capital. Kontrak pengadaan pesawat itu merugikan Garuda lebih dari 30 juta dollar AS per tahun selama tujuh tahun berturut-turut.
Untuk menambah likuiditas, sebelum ini, Garuda juga sempat menerbitkan obligasi wajib konversi (OWK) atau mandatory convertible bond senilai Rp 8,5 triliun dengan tenor maksimal 7 tahun. Penerbitan obligasi itu dieksekusi melalui PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) atau SMI, yang bertindak sebagai pembeli siaga (standby buyer).
Awalnya, dana yang didapat dari surat utang itu akan digunakan untuk mendukung likuiditas, solvabilitas, dan pembiayaan operasional untuk memulihkan kinerja perseroan.
Namun, Yenny mengatakan, dana OWK itu baru cair Rp 1 triliun dari total yang disepakati dengan pemerintah dan DPR. Garuda belum mendapat informasi lagi terkait dengan pencairan dana tahap berikutnya. ”Masalah pencairan itu semua tergantung dari pemerintah,” ujarnya.